Mengkaji sejarah Aceh pada prinsipnya adalah kajian tentang masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang di Aceh.Pengkajian sejarah Aceh memang tidak masuk dalam kurikulum pendidikan sejarah di Indonesia. Sehingga literatur sejarah Aceh jarang sekali dikenali atau dipahami secara mendalam oleh generasi muda Aceh. Pada hakikatnya memahami sejarah menjadi sesuatu yang harus terpatri kuat didalam dada dari generasi ke generasi bahkan regenerasi nantinya, untuk memperkokoh identitas dan jati diri rakyat Aceh. Ada kalanya posisi sejarah Aceh adalah sejarah kebudayaan Islam di Nusantara. Terkadang juga, sejarah Aceh dikaitkan dengan sejarah melayu. Pada saat yang bersamaan, sejarah Aceh dikerdilkan sebagai sejarah lokal di dalam konteks sejarah Indonesia. Sangat disayangkan ketika sejarah Aceh seharusnya melekat kuat di dalam jati diri rakyat Aceh malah dengan begitu mudah terlupakan, terlindas waktu, bahkan suatu saat akan terkubur rapi dan ditelan masa. Terlebih lagi, literatur yang berwujud hikayat-hikayat yang lahir ditanah Aceh. Tidak ada satupun yang dijadikan sebagai rujukan didalam tradisi pembelajaran sejarah disekolah dan perguruan tinggi. Akibatnya, hikayat-hikayat tersebut menjadi ‘asing’ bagi sebagian rakyat Aceh. Didalam bukunya Acehnologi, kamaruzzaman Bustamam-Ahmad mengambil kutipan dari penuturan Ibrahim Alfian yang menuturkan bahwa:
Hikayat adalah sastra Aceh yang berbentuk puisi diluar jenis panton, nasib, dan kisah. Bagi orang Aceh hikayat tidak hanya cerita fiksi belaka, tetapi juga berisi hal-hal yang berkenaan dengan pengajaran moral dan kitab-kitab pelajaran sederhana, asalkan ditulis dalam bentuk sanjak. Bagi orang Aceh mendengar atau membaca hikayat merupakan hiburan utama, terutama sebagai bentuk hiburan yang bersifat mendidik.
Terhadap sejarah kebudayaan Islam, Aceh diletakkan sebagai negara yang berdaulat dalam sistem kerajaan. Terhadap sejarah melayu Aceh disebut sebagai penjajah bagi dunia Melayu. Sementara terhadap Indonesia, Aceh dipandang sebagai daerah rawan yang hendak memisahkan diri dari wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia. Tentu saja dengan posisi seperti ini akan sangat mempersulit dalam penulisan sejarah Aceh. Pembabakan sejarah Negara-Bangsa, memang banyak dikaji pasca abad ke-19 M. Padahal sejarah Aceh sebelum abad tersebut adalah sejarah Bangsa yang memiliki tata kelola pemerintahan tersendiri. Oleh karena itu, rakyat Aceh tidak jarang menjadikan sejarah Bangsa mereka sebagai bukti bahwa tidak ada hubungan dengan sejarah Indonesia. Demikian pula, ketika sejarah Aceh Darussalam menjadi Sejarah nasional di Aceh sebelum abad ke-19 M, maka sejarah-sejarah dinegeri kecil di Aceh sering tidak ditulis secara komprehensif. Padahal, hampir seluruh negeri-negeri Aceh juga memiliki sejarah tersendiri, baik sebelum bergabung sebagai Aceh Darussalam, maupun setelah bergabung dengan Indonesia. Demikian pula, sejarah Aceh dipulau jawa yang masih belum banyak tersentuh dalam penulisan sejarah Aceh.
Sejarah bukanlah hanya semata-mata masa lalu, tetapi juga masa kini dan masa depan. Kita mengatakan kalau kita mencintai negeri Serambi Mekkah ini, namun pada dasarnya kita tidak mengetahui kisah alur-mundurnya dari sejarah negeri kita . Sekarang sama-sama kita ketahui bahwa kita sebagai putroe nanggroe awam dibidang sejarah dinegeri kita sendiri, bangkitlah dan bakar kembali semangat juang yang telah mengalir didalam peredaran darah yang diwariskan oleh Endatu kita, bangun dan kaji lebih dalam lagi bagaimana sebenarnya metamorfosis negeri kita. Maka yakinlah cinta kita akan bertambah seiring dengan jejak-jejak kecil yang kita buat untuk menemukan sejarah Aceh yang sebenarnya.
Sort: Trending