Tulisan yang lalu, saya sebutkan beberapa program zakat yang dirumuskan Baitul Mal Aceh (BMA) tahun 2004: program zakat produktif, becak motor, beasiswa, fakir uzur dan pelatihan keterampilan. Selanjutnya BMA menghadapi masa transisi rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami. Dalam kondisi ini, manajemen BMA tidak fokus pada program pendayagunaan, melainkan mengurus hal-hal yang lebih utama misalnya pengadaan gedung kantor, melengkapi regulasi (dampak pengesahan UUPA tahun 2006) dan ketersedian anggaran operasional.
Tahun pertama pasca tsunami, BMA lebih mengutamakan konsolidasi internal: memanggil kembali amil yang masih selamat untuk bekerja, membentuk posko peduli, melaporkan dampak tsunami, serta merumuskan langkah-langkah bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Drs H Nurdin Abdurrachman, MSi, program yang menonjol ketika itu seperti dukungan terhadap relawan pengangkat mayat, dakwah di barak pengungsian, bantuan untuk Ormas Islam dan mencetak Buku Iqra’ untuk dibagikan kepada anak-anak di barak pengungsian. Tahun 2005 sama sekali tidak mengacu pada program sebelumnya.
Pada tahun 2006, BMA dibawah kepemimpinan Drs H Amrullah “melanjutkan” program zakat produktif yang tak jauh beda dengan tahun rintisan (2004). BMA bekerjasama dengan tiga BPR Syariah (Baiturrahman, Hareukat dan Hikmah Wakilah), dengan menempatkan dana zakat masing-masing BPR Syariah Rp 100 juta untuk disalurkan dengan pola pinjaman qardhul hasan (tanpa bunga) kepada mustahik. BPR sendiri yang menentukan mustahik dan menyalurkan pinjaman modal usaha mikro tersebut.
Tahun berikutnya, BMA melakukan inovasi Program Zakat Produktif dengan mengelola sendiri zakat produktif dan membentuk Unit Pengelola Zakat Produktif (UPZP). Tidak lagi bekerjasama dengan BPR Syariah. Hal ini dilakukan setelah BMA mengadakan survey lapangan, dengan temuan, bahwa program zakat produktif akan lebih efektif apabila dikelola langsung oleh BMA. BMA yang melakukan pendataan calon mustahik, verifikasi lapangan, dan pengelolaan dananya.
Perbaikan Program Zakat Produktif tak berhenti sampai disitu, sebab setiap program zakat di Aceh terkait dengan pengesahan Dewan Pertimbangan Syariah (DPS), regulasi yang ada dan kepemimpinan BMA. Pada periode kepemimpinan Drs Marthin Desky MM tahun 2012, UPZP diubah menjadi LKMS (Lembaga Keuangan Mikro Syariah). Lembaga ini diharapkan dapat berdiri sendiri dan berbadan hukum. Dana yang dikelola bersumber dari zakat dan infak.
Inovasi tiada henti benar-benar dilakukan. Buktinya, dibawah kepemimpinan Dr Armiadi Musa MA, LKMS berubah lagi menjadi Unit ZIS Produktif (ZISPRO), yang langsung di bawah koordinasi pimpinan. Hingga sekarang ini, ZISPRO telah menyalurkan pinjaman tanpa bunga untuk usaha mikro sektor perdagangan dan pertanian sekitar Rp 18 miliar. Pinjaman (berkelanjutan) ini tiap mustahik memperoleh Rp 1 juta hingga Rp 10 juta.
Saya memperkirakan Program ZISPRO akan terus berubah seiring penyempurnaan regulasi, kepemimpinan dan kemampuan amil melakukan inovasi. Yang menjadi catatan disini, apakah inovasi yang dilakukan dengan maksud membuat program semakin seksi atau lebih pada tuntutan regulasi atau selera pimpinan. Semestinya inovasi program dilakukan berorientasi pasar (disukai muzakki), bukan pertimbangan-pertimbangan internal organisasi semata. Dan, inovasi pun tak selamanya sama dengan perubahan atau perbaikan program.
Banda Aceh, 24 April 2018
Sayed Muhammad Husen
Zakat dan wakaf mampu memperbaiki ekonomi umat asalkan lembaga pengelolanya profesional. Alhamdulillah soal itu kita semakin baik dari tahun ke tahun.
zakat untuk perubahan