Merujuk pada postingan kurator Indonesia @levycore, saya mencoba memberikan pandangan pribadi saya soal steemit. Harap maklum jika pandangan saya ini agak sedikit juling. Sebab sebenarnya saya bingung mau memulai tulisan ini darimana. Tapi yasudah, saya coba saja. Mudah-mudahan bisa. Saya berharap tulisan ini nantinya layak dibaca dan mudah-mudahan berakhir dengan bahagia. Amiin...
Awal mula saya berkenalan dengan steemit ini yaitu pada suatu malam di markas Komunitas Kanöt Bu. Saat itu, dari mulut @bookrak lah saya pertama kali mendengar kata #steemit. Dan blio hanya menjawab "Facebook berbayar" untuk pertanyaan "Steemit itu apa?" yang saya ajukan. Untungnya jawaban itu kemudian ditambah dengan sedikit penjelasan soal reward yang akan diberikan untuk setiap like pada postingan kita.
Otak tumpul saya -- meski dengan susah payah -- mencoba mencerna dan menyederhanakan definisi singkat tentang steemit tersebut. "Buat status + upload foto + dapat like = duit", begitu batin saya saat berhasil memecahkan rumus dari definisi singkat itu. Wow! Betapa mudahnya mencari uang. Sekarang minyak goreng bisa diminum! Eh? Sebentar, maksud saya, sekarang main Sosmed bisa dibayar!
Pemahaman lebih lanjut soal steemit ini saya dapatkan pada hari-hari berikutnya di tempat yang sama pada jam yang berbeda. Steemit jadi perbincangan sebab hampir semua teman-teman di sana seperti @fooart, @marxause, dan @zeds sudah punya akun steemit. Hanya saya dan @homalamba yang masih planga-plongo tak menentu.
Hingga akhirnya pada malam itu juga, saya browsing sana-sini mencari informasi soal perkara yang satu ini. Dan tepat pada tanggal duapuluh tiga september dini hari saya mendaftarkan akun sambil melawan insomnia yang terlalu sulit untuk dikalahkan. Semua tahap pendaftaran saya selesaikan tak lama sebelum azan subuh dikumandangkan oleh bilal, didukung oleh corong segitiga merk TOA yang terpasang di atap masjid sebagai kurir pengantar suara. Lepas subuh, mata ini baru mau terpejam.
Menjelang siang saya terbangun dan langsung memeriksa gawai. Saya mendapat beberapa notifikasi dan diantaranya adalah sebuah pesan yang berisi pemberitahuan verifikasi akun steemit saya telah selesai, berjejalan dengan macam ragam siaran pers dalam kotak masuk surel pribadi saya. Usai membuka tautan yang diberikan, saya mendapat password steemit saya dan voila!, hari-hari baru sebagai seorang steemian dimulai!
JENG... JENG... JENG...!
Sudah saya katakan sebelumnya, bahwa ada sedikit motif ekonomi dalam niat awal saya mendaftarkan akun di steemit. Untuk hal ini, saya jujur saja. Buat apa menjadi munafik dengan membuat pengakuan serupa ingin belajar menjadi kreator konten yang profesional, berintegritas, santun, dan bersahaja, atau beralasan seperti ingin menjalin serta mempererat silaturrahmi dengan warga steemian jika hanya untuk terlihat keren dan paten di hadapan banyak orang? Sungguh, sesuatu yang konyol untuk menipu diri sendiri demi hal-hal sederhana seperti itu. Pun saya yakin, banyak steemian yang pada awalnya seperti saya, tergiur dengan iming-iming meraup dollar dari steemit. Terlepas di akui atau tidak, faktor ini menjadi motivasi banyak orang menjadi steemian. Meski bukan alasan utama, minimal alasan ini ada di urutan kedua. Benar, kan? Ayo, jujur saja... Gak ngaku juga? Udah, sini SBD nya buat saya aja.
Selain motif ekonomi tadi, saya memang sudah bertekad untuk belajar menulis. Dalam postingan sebelumnya saya sudah menjelaskan perkara ini. Berawal dari kesadaran betapa bodohnya saya tak ikut belajar menulis saat pertama kali AtjehLINK.com di dirikan, hingga akhirnya saya dan kawan-kawan mendirikan tabloid kampus sendiri sebagai sarana belajar. Tapi steemit ini adalah puncaknya.
Learning by doing, itulah kalimat bijak yang saya anggap tepat untuk menjawab pertanyaan "bagaimana cara belajar menulis?". Mau belajar nulis, ya nulis. Mau belajar jalan, ya jalan. Mau belajar sepak bola, ya main sepak bola. Mau belajar lupain dia, ya cari pacar lagi!
Nah, di steemit tiap tulisan yang kita posting akan mendapat reward sesuai dengan jumlah vote yang kita terima. Gimana ga enak, belajar nulis, terus dapat duit. Media sosial mana yang bisa kayak gini? Dan iming-iming reward itu -- meski hanya nol koma duapuluh sekian -- menjadi sebuah motivasi tersendiri bagi saya. Setiap hari, tak enak hati rasanya jika tak ada satupun postingan yang bertengger di blog saya. Hingga akhirnya saya sadar, sejak menjadi kreator konten di steemit produktifitas menulis saya meningkat pesat. Dan sampai sekarang, ditengah kemarau upvote yang dialami para pengguna aplikasi #esteem semenjak bang gudkarma hilang entah kemana, kebiasaan menulis itu terus saya lakukan. Tak peduli ada-tidaknya reward, yang penting hari ini ada satu postingan di steemit. Pikiran tenang, hatipun jadi riang.
Dari @bookrak dan @fooart lah, saya belajar tentang penggunaan kata 'di', berguru soal kalimat aktif dan pasif, dan banyak sekali hal-hal lainnya terkait dunia tulis-menulis. Setiap harinya, saya terus mengasah kemampuan bagaimana caranya membuat sebuah tulisan yang bagus. Dan perlahan, motif ekonomi tersebut digeser oleh keinginan agar bisa menulis dengan lebih baik lagi.
Tapi sungguh celaka, seperti halnya narkoba, menulis adalah candu! Celakanya lagi sekarang saya jadi ketagihan menulis fiksi! Saya mulai menulis "Arifin" series dan kini sudah sampai pada babak ke 4. Juga cerita bersambung "Maria" yang kini sudah selesai hingga bagian kedua dan Insya Allah ada kelanjutannya. Ada juga beberapa cerita mini lainnya. Bahkan jika dilihat-lihat, postingan fiksi lebih mendominasi blog saya ini tinimbang esay pendek, opini, atau puisi. Saya yang menyadari kemajuan yang telah saya alami selama dua bulan duapuluh hari belajar tulis-menulis di steemit tentu sangat senang sekali. Sulit membayangkan saya yang dulu level menulisnya kelas kibang-kibut, sekarang bisa menulis fiksi. Meski tak bagus-bagus benar, tapi ini sebuah pencapaian yang tidak boleh tidak saya syukuri. Alhamdulillah...
Oleh karena itu, saya senang sekali bisa berkenalan dengan steemit. Senang bisa memetik pelajaran yang luar biasa berguna dari orang-orang hebat dalam komunitas ini. Dan semoga, kehadiran Steemit bisa menjadi pemicu menggeliatnya budaya literasi di Indonesia.
Demikian saja pandangan saya soal steemit dari sudut pandang kacamata kuda Agus Fernanda, terima kasih sudah mau-maunya baca. Sampai berjumpa-litan!
Postingan yang keren kawan @senja.jingga
Hehe... Terima kasih sudah berkunjung @getachan
Sama - sama ka. Hehe
penulis kcangan???!!,... hmmmm,.....
jgn sprt kacang lupa kulitnya
Kalo aku kacang, steemit ini kulitnya bg. Hehehe