Selain memberi nutrisi bagi kepala dan melatih kemampuan dialektika, Gerakan Surah Buku oleh para pegiatnya diklaim sebagai bentuk apresiasi bagi penulis. Para penulis buku telah mengorbankan banyak waktu untuk menyelesaikan karyanya. Berbilang bulan bahkan bertahun-tahun dihabiskan oleh si pengarang untuk menulis buku, alangkah jahatnya jika kita hanya membedah habis itu buku dalam waktu semalam.
Itulah alasan yang disampaikan Presiden Lempap, Iskandar Ishak kepadaku saat kutanyai soal gagasannya membentuk Gerakan Surah Buku (GSB). Iskandar atau yang lebih ku kenal dengan nama Tu-ngang ini merupakan salah satu mahasiswa Aceh yang menempati asrama Sabena di jalan Taman Siswa Jogjakarta. Kepadaku ia mengaku pertama kali menginjakkan kaki di Jogja tahun 2004 dan kini telah menyelesaikan studi esdua nya di Institut Seni Indonesia (ISI).
@kitablempap, Presiden GSB
Kalau dipikir-pikir, ada benarnya apa yang di sampaikan Tu-ngang. Lazimnya, sebuah buku dibedah dalam waktu hanya beberapa jam dan menghasilkan sebuah resensi. Resensi tersebut jika diibaratkan adalah ekstrak; Saripati. Sebuah buku yang berisi ratusan halaman diperas dan disaring hingga menghasilkan beberapa paragraf resensi saja. Tak jarang, ekstrak itu justru mengaburkan keseluruhan isi buku, tergantung sudut pandang orang yang mengekstraknya. Meski cukup membantu untuk mengetahui pandangan umum soal keseluruhan isi buku, tapi hal tersebut jauh panggang daripada api jika diharapkan bisa mendeskripsikan gagasan-gagasan penting yang tertera dalam buku itu sendiri.
Pengalaman pertama hadir dikelas GSB serta merta menyeret ingatanku ke tahun dimana balai mengaji adalah satu-satunya aktivitas kami lepas magrib. Saat itu, usiaku masih belasan dan oleh kedua orang tua aku di antar ke sebuah dayah tak jauh dari rumah untuk mengkaji ilmu agama. Saban malam, selain belajar membaca Al-Qur’an kami juga mempelajari kitab-kitab berbahasa melayu dengan aksara Arab-Jawi. Saat itu, seorang guru yang kami panggil Teungku duduk dihadapan kami dan mulai membaca kalimat per kalimat yang tertulis di dalam kitab. Usai menyelesaikan satu kalimat, Teungku kami lantas menjelaskan makna dari kalimat yang baru dibacanya.
Bagi kau yang pernah merasakan perihnya diseupot rotan milik Teungku akibat tingkah bak Ulat Panah (Ulat di dalam Nangka) saat mengaji di dayah, maka pasti akan langsung paham seperti apa suasana surah kitab yang kumaksud di atas. Itu tidak sama dengan metode mengaji ala Te Pe A yang belakangan ini mulai banyak bertebaran di Masjid atawa Meunasah. Di dayah, Surah Kitab merupakan salah satu agenda utama selain belajar membaca Al-Qur’an.
Sidang pembaca rahimakumullah,
Metode yang digunakan dalam GSB ini mirip dengan surah kitab di dayah. Mungkin karena secara bahasa kitab juga berarti buku dalam bahasa Arab. Atau mungkin karena penggagasnya adalah mahasiswa-mahasiswa Aceh yang kutebak juga pernah merasakan seperti apa pendidikan di Dayah. Yang jelas, dalam GSB seseorang di tugaskan membaca isi buku lalu kemudian isi tersebut ditanggapi secara bersama-sama oleh para hadirin. Bedanya, jika di dayah yang berhak menjelaskan isi kitab adalah teungku seorang, maka di GSB setiap orang boleh menyampaikan argumentasinya.
Jika komunikasi antara Teungku dan santri dalam surah kitab adalah interaksi tanya-jawab, maka di GSB komunikasi yang terjadi antar hadirin dan hadirat adalah saling tukar pikiran yang tak haram hukumnya menjadi perdebatan. Hal itulah yang kukatakan sebagai sarana melatih kemampuan berdialektika bagi para pesertanya. Keberanian menyampaikan pendapat dan berbicara di muka umum kiranya lebih penting daripada salah-benar pendapat yang disampaikan. Sebab seperti kata pendakwah dan sekalian tukang ceramah, kebenaran hanyalah milik Allah SWT semata.
GSB sendiri yang pada januari lalu telah berusia genap satu tahun dalam perjalanannya telah melahap beberapa buku. Tak kurang dari lima buku telah habis dibahas oleh para pegiatnya. Dan yang luar biasa, buku pertama yang disurah di GSB adalah Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) karya Tan Malaka. Buku ini saat era Orde Baru oleh penguasa merupakan salah satu buku yang diharamkan untuk dibaca apalagi dijual. Jikapun ada yang curi-curi baca, maka tak semua orang bisa memahami secara keseluruhan isi buku tersebut.
Aku sendiri membutuhkan waktu lebih dari setahun untuk mengkhatamkan buku yang karena tebalnya, bisa dipakai sebagai bantal itu. Sumpah, isinya benar-benar bikin mumet dengan banyak istilah njelimet yang bisa bikin muntah mencret pembacanya. Tapi didalamnya, banyak sekali pengetahuan penting yang ditulis oleh bapak Republik Indonesia yang namanya dihapuskan dari buku-buku sejarah keluaran pemerintah sebab terlibat dalam organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia itu. Jadi bagaimanapun juga, dengan kemampuan yang amat terbatas kupaksakan diri menamatkan buku ini sambil sesekali bertanya sana-sini jika ada sesuatu yang tak ku pahami.
Di GSB, anak-anak muda yang semangat belajarnya sungguh luar biasa ini rupanya telah berhasil membuat sebuah panduan kecil sebagai alat bantu pembaca Madilog. Isinya adalah penjabaran beberapa istilah sulit yang tertera di dalam buku. Saat melihat @tukangseduh menenteng kertas fotokopian panduan singkat tersebut, aku jadi merasa iri betapa beruntungnya mereka. Terbayang bagaimana aku dulu susah payah memahami buku sialan itu tanpa tempat berbagi sakit kepala karenanya. Bahkan seorang teman yang saat itu mulai membaca Madilog pada waktu yang sama denganku, hingga saat ini tak pernah menyelesaikan membaca itu buku sebab tak mampu mencerna keseluruhan isinya.
Oleh karena itu, kurasa beruntung sekali kawan-kawan aktivis GSB memiliki @kitablempap ditengah-tengah mereka. Tu-ngang dengan lempap-nya berhasil mengajak anak-anak muda Aceh yang bermukim di Jogja untuk peduli terhadap buku. Tapi selempap-Lempapnya si @kitablempap itu, kalian jauh lebih lempap kawan-kawan. Jika tanpa kemauan belajar dan kesungguhan kalian semua, maka GSB yang lempap itu tidak akan pernah ada. Ga mungkin kan @kitablempap melakukan surah buku berdua dengan Rambo Deuk yang gemar pamer titit saat sedang tidur itu? Kecuali ianya adalah pengidap animalphillia yang nafsu melihat nuga Rambo yang terpacak di selangkangannya. Sekian!
Simak Juga Cerita Sebelumnya:
SteemiTrip #1 : Get Lost In Pulo Aceh
Part 1: DAY 1: Hari Keberangkatan
Part 2: DAY 2: Lapeng: Sekeping Surga Yang Tercecer Kedunia
Part 3: DAY 2: Berburu Gerhana Di Ujung Paling Barat Indonesia
Part 4: DAY 3: Demi Sotong: Pulang Untuk Kembali!
Part 5: DAY 4: Max, Beer, Dan Terduga Ganja
Part 6: 5 Persiapan Penting Sebelum Traveling
SteemiTrip #2 : 1st KSI National Meet Up
Part 1: Halo-Halo Bandung!
Part 2 : Bahar Malaka; Seniman Cimahi Yang Rendah Hati
Part 3 : Karena Sesungguhnya Kita Semua Adalah Kampungan
Part 4 : Viral! Protes Bangkai Tank di Jalan Aceh, Pemuda Ini Digelandang Ke Rumah Sakit Jiwa Bandung
SteemiTrip #3 : Jogjakarta: Habis Meet Up Terbitlah Meet Pap
Part 1 : Jugijagijugijagijug! Malam di Lodaya
Hahaha foto kita mana?
Sama akbar kk... Aku ga punya 😞
Awak kah mangat, ganteng! 😂
Bek tanyoeng... Beukah neukira ju.