Antara Turki, Aceh dan Lada Sicupak
In the 16th century, the kingdom of Aceh under the reign of Sultan Ali Riayat Syah Al Qahar (1537 - 1571) grew stronger. Under his leadership, Aceh became the most dominant political and economic force in the region of Sumatra and the Malacca Peninsula. Sultan Al-Kahar considered that the time had come to introduce his kingdom to the world. In 1562, the Sultan sent messengers to open diplomacy with the Ottoman Empire (Turkey). He commanded the pepper (the main commodity of Aceh at that time) a large ship to be dedicated to Sultan Sulaeman I, as a mark of respect.
Pada abad ke16, Kerajaan Aceh dibawah pemerintahan Sultan Ali Riayat Syah Al Qahar (1537 - 1571) bertambah kuat. Di bawah kepempimpinannya, Aceh menjadi sebuah kekuatan politik dan ekonomi yang paling dominan di wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaka. Sultan Al-Kahar menganggap bahwa sudah tiba waktunya untuk memperkenalkan kerajaannya ke penjuru dunia. Pada tahun 1562, Sultan mengirim utusan untuk membuka diplomasi dengan Kesultanan Ottoman (Turki). Diperintahkannya memuat lada (komoditi utama Aceh waktu itu) satu kapal besar untuk dipersembahkan kepada Sultan Sulaeman I (Selim), sebagai tanda penghormatan.
Arriving to the envoy of Aceh to Istanbul (Constantinople), Sultan Sulaeman was leading troops in battle against Hungary in the battlefield of Szigetwar, Eastern Europe. Waiting for the war to last for two years and the war ended with the Sultan's death, causing the Acehnese delegate to spend longer in Istanbul. On their own, they rented lodging and provided for themselves by selling the commodities they brought with the prizes to be presented to the Sultan. Thus they waited for several years and because their finances were thinned out, they gradually had to sell pepper to meet the necessities of life.
Sesampainya utusan Aceh ke Istanbul (Konstantinopel), Sultan Sulaeman sedang memimpin pasukan dalam peperangan melawan Hungaria di medan perang Szigetwar, Eropa Timur. Menanti masa berlangsungnya peperangan tersebut hingga dua tahun lamanya dan perang berakhir disertai dengan mangkatnya sang Sultan, menyebabkan utusan Aceh itu menghabiskan waktu lebih lama di Istanbul. Dengan usaha sendiri, mereka menyewa penginapan dan menafkahi diri mereka sendiri dengan menjual komoditas yang mereka bawa bersama dengan hadiah yang akan dipersembahkan kepada Sultan. Demikianlah maka mereka menunggu beberapa tahun dan karena keuangan mereka cepat menipis, maka berangsur-angsur mereka harus menjual lada untuk memenuhi keperluan hidup.
After Selim II, the crown prince finished inaugurated as sultan, then the envoy of Aceh had the opportunity to make an official visit to the Palace, and the opportunity was two years after their arrival in Turkey. All gifts and offerings have been exhausted to finance life while in the kingdom and the only remaining "Handful of Pepper" (Lada Sicupak). The jubilant feeling of the Aceh envoys as they succeeded in facing the sultan was mixed with great shame as the prizes had been sold for living expenses.
Setelah Selim II, putra mahkota selesai dilantik menjadi sultan, barulah utusan Aceh memperoleh kesempatan untuk melakukan kunjungan resmi ke Istana, dan kesempatan tersebut dua tahun setelah kedatangan mereka di Turki. Segala hadiah dan persembahan telah habis untuk membiayai hidup selama berada di kerajaan tersebut dan yang tersisa hanya "Segenggam Lada" (Lada Sicupak). Perasaan gembira utusan Aceh karena berhasil menghadap sultan bercampur dengan rasa malu yang sangat besar karena hadiah telah habis dijual untuk biaya hidup.
When they went to Sultan Selim II, they told of the kingdom in Aceh and said that as their first honor they had wanted to offer some pepper, but they had to sell it so that on this occasion they could only offer a handful of pepper for example. The Sultan received the gift with all his hospitality and asked about the situation in Aceh, the distance from Aceh to Istanbul, the difficulty of traveling and so forth. Finally, to reciprocate their grant, the Sultan ordered to give a large cannon and from here the name "Lada Sicupak" - and according to their request, the Emperor instructed a number of skilled trainers to join them in order to teach lessons in Aceh about military training and the skills of using guns and other weapons.
Ketika menghadap Sultan, mereka menceritakan tentang kerajaan di Aceh dan mengatakan pula bahwa sebagai penghormatan pertama mereka tadinya ingin mempersembahkan sejumlah lada, tetapi mereka terpaksa menjualnya sehingga pada kesempatan ini mereka hanya dapat mempersembahkan segenggam lada saja sebagai contoh. Sultan menerima hadiah itu dengan segala keramahan dan bertanya tentang keadaan di Aceh, jarak dari Aceh ke Istanbul, kesukaran dalam perjalanan dan lain sebagainya. Akhirnya, untuk membalas pemberian mereka, Sultan memerintahkan untuk memberikan sebuah meriam besar dan dari sinilah nama "Lada Sicupak" — dan sesuai dengan permintaan mereka, Sultan menyuruh sejumlah pelatih yang terampil ikut mereka supaya dapat memberi pelajaran di Aceh tentang pelatihan militer serta keterampilan menggunakan meriam dan persenjataan lainnya.
Historically, that some of the trainers came from Syria, Jerusalem and Turkey, they lived near the Royal House of Aceh (Dalam) to commemorate them to their homeland, the village called Bitay (Aceh: Betal, short for Baitulmaqdis = Jerusalem). In Bitay there is still a saint's grave, Teungku in Bitay, which traditionally belongs to a foreign village. After the incident lada sicupak Sultan Selim II argued that it is not appropriate to obligate the kingdoms who became his followers to send regular missions or offerings (tribute) because the distance far cause many difficulties.
Menurut sejarah, bahwa sejumlah dari pelatih itu datang dari Suriah, Yerusalem dan Turki, mereka tinggal di dekat Istana Kerajaan Aceh (Dalam) untuk mengenang mereka kepada tanah airnya, desa itu dinamakan Bitay (Aceh: Betal, kependekan Baitulmaqdis = Yerusalem). Di Bitay masih terdapat kuburan seorang suci, Teungku di Bitay, yang menurut tradisi tergolong dalam perkampungan orang asing. Setelah kejadian lada sicupak Sultan Selim II berpendapat bahwa tidaklah tepat untuk mewajibkan kerajaan-kerajaan yang menjadi pengikutnya untuk mengirimkan secara teratur misi atau persembahan (upeti) sebab jarak yang jauh menimbulkan banyak kesulitan
Postingan yang sangat bagus dengan mengingat sejarah aceh dengan negara turki.
Sebagai bahan renungan atas kejayaan masa lalu.