Hutang Adalah Neraka Dunia
Pawning a piece of land that is a source of livelihood such as rice fields is not the right choice. However, when the need is urgent and there is no other way out then pawning the ground despite the risk of losing income has to be done. Pawn-pound goods, especially the land is commonly done by the people of Aceh, especially those who live in rural areas. Urgent needs such as when entering the new school year, entering the month of fasting and before the feast day is a time-need a lot of money. People with unpredictable income are sometimes forced to mortgage their rice fields for the sake of the needs of families, especially children.
Menggadai sebidang tanah yang menjadi sumber mata pencaharian seperti sawah bukanlah pilihan yang tepat. Namun, ketika kebutuhan mendesak dan tidak ada jalan keluar lain maka menggadai tanah walaupun beresiko kehilangan pendapatan terpaksa dilakukan. Gadai-menggadai barang terutama tanah sudah lumrah dilakukan oleh masyarakat Aceh terutama yang berdomisili di pedesaan. Kebutuhan mendesak seperti ketika memasuki tahun ajaran baru, memasuki bulan puasa dan menjelang hari raya merupakan masa-masa butuh uang banyak. Masyarakat yang berpenghasilan tudak menentu terkadang terpaksa menggadaikan sawahnya demi kecukupan kebutuhan keluarga, terutama anak-anak.
Pardoning an item is a shameful act, but in a state of urgency this shame must be set aside to meet the needs of the family. Pawning goods especially derived from inheritance, carried out in a very urgent and felt very important. Like entering a new school year, if there is not some amount of money available for school purposes, it is feared that children can not continue their education. Things like this sometimes can not be met by most of the rural poor and cause every year drop out of school every year. Thus, the villages in Aceh became the granary of poverty and gave birth to an uneducated generation. Folly and poverty are like a husband and wife, these two problems are very closely related.
Menggadai suatu barang merupakan perbuatan memalukan, akan tetapi dalam keadaan mendesak perasaan malu ini terpaksa dikesampingkan demi memenuhi keperluan keluarga. Menggadai barang-barang apalagi yang berasal dari warisan atau harta pusaka, dilakukan dalam keadaan yang sangat mendesak dan dirasa sangat penting. Seperti memasuki tahun ajaran baru, jika tidak tersedia beberapa jumlah uang untuk keperluan sekolah, dikhawatirkan anak-anak tidak dapat melanjutkan pendidikan. Hal-hal seperti ini terkadang tidak bisa dipenuhi oleh sebagian besar penduduk miskin di pedesaan dan menyebabkan setiap tahun anak-anak putus sekolah semakin meningkat. Maka, desa-desa di Aceh menjadi lumbung kemiskinan dan melahirkan generasi yang tidak berpendidikan. Kebodohan dan kemiskinan ibarat sepasang suami istri, dua masalah ini sangat erat kaitannya.
Pawn-mortgage is the last solution of the necessity of life, very rarely people want to do it. Pawn is the same as debt, while debt in the eyes of the people of Aceh is a disaster in a world they often refer to as "Nuraka Dônya" (Hell in the World). Pawning a good in the order of life of the people of Aceh is the same as selling a good. At first to be offered to relatives, if no one is interested then to the neighbor domicile object to be pawned, if also not interested then to the villagers where the object is located. If this stage has been passed and no interest, then the object is offered to anyone.
Gadai-menggadai adalah solusi terakhir dari desakan kebutuhan hidup, sangat jarang orang mau melakukannya. Gadai sama dengan hutang, sementara hutang dalam pandangan masyarakat Aceh adalah bencana di dunia yang sering mereka sebut sebagai "Nuraka Dônya" (Neraka di Dunia). Menggadai suatu barang dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh sama dengan menjual suatu barang. Mula-mula yang harus ditawarkan kepada sanak famili, jika tidak ada yang berminat maka kepada para tetangga domisili objek yang akan digadai, jika juga tidak berminat maka kepada penduduk desa tempat objek berada. Jika tahapan ini sudah dilalui dan tidak ada peminat, barulah objek tersebut ditawarkan kepada siapa saja.
Mortgage of land for daily livelihoods such as rice fields should have written agreements and usually in the presence of witnesses, usually witnesses consisting of "Keujreuen Blang" (Waterworker) and Keuchik (Village Head) ie the location of the wetland land. With the condition, the land remains in the hands of the pawnbroker as long as it is not yet due in accordance with the agreement and is absolutely prohibited from transferring the object of the improper object. Written agreement items include profit sharing if agreed, but revenue share is rarely approved by the pawns. Due to a mortgaged object must be redeemed a sum of money pawned, without interest, therefore, the result of the paddy field becomes the profit of the pawnshop. However, when the harvest season arrives, the pawdry usually gives some of the results in the form of grain.
Menggadaikan lahan yang menjadi mata pencaharian sehari-hari seperti sawah harus ada perjanjian tertulis dan biasanja dihadapan saksi-saksi, biasanya saksi terdiri dari "Keujreuën Blang" (Petugas Pengairan) dan Keuchik (Kepala Desa) setempat yaitu lokasi tanah sawah dimaksud. Dengan syarat, tanah tetap berada di tangan pihak penggadai selama belum jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan dan sama sekali dilarang memindah tangankan objek tergadai dimaksud. Item-item perjanjian tertulis termasuk bagi hasil jika disepakati, namun bagi hasil jarang disetujui oleh pihak penggadai. Dikarenakan objek tergadai harus ditebus sejumlah uang yang digadaikan, tanpa bunga, oleh sebab itu, hasil dari sawah tersebut menjadi keuntungan pihak tergadai. Namun, ketika musim panen tiba, pihak penggadai biasanya memberikan sebagian hasil berupa biji padi atau gabah.
"Ngui pulang, utang bayeuë" (Loans are returned, debt payable) is a term in the life of the people of Aceh.This proverb is advisory not to forget the obligation to pay the debt.Payment maturity is usually not written in the pawn agreement, because the mortgage in Aceh done fellow residents and the stolen object is productive land Sometimes there are one two people who behave less well by trapping the owner of the rice field, usually offered money continuously, and at the right time will force the owner of the rice field to redeem by reason of urgent need as well. the owner of the rice field releases the paddy field ownership rights to the pawns with a little extra money as a sign of oelunasan over the price of the land, but rarely occurs even if there are one or two people who behave like that.
"Ngui pulang, utang bayeuë" (Pinjaman dikembalikan, hutang dibayarkan) merupakan istilah dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pepatah ini merupakan nasehat untuk tidak melupakan kewajiban membayar hutang. Jatuh tempo gadai biasanya tidak ditulis dalam surat perjanjian gadai, karena gadai di Aceh dilakukan sesama penduduk dan objek yang tergadai merupakan lahan produktif. Terkadang ada satu dua orang yang berperilaku kurang baik dengan cara menjebak pemilik sawah, biasanya ditawarkan uang secara terus menerus, dan pada saat yang tepat akan memaksa pemilik sawah untuk menebus dengan alasan kebutuhan mendesak juga. Hal seperti ini membuat pemilik sawah melepaskan hak kepemilikan sawah kepada pihak penggadai dengan tambahan sedikit uang sebagai tanda oelunasan atas harga tanah. Namun, jarang terjadi walaupun ada satu dua orang yang berperilaku seperti itu.
Adat in the life of the people of Aceh does not allow the pledge agreement with the sound "that if the goods in this pledge are not redeemed for so many years, it becomes the property of the pawnbroker". This kind of agreement is extortion and deviates from the purpose of helping people in distress. Since however pawnshops are deemed contemptible and embarrassing, some people ignore the shame for the needs of their children. And one more thing, the people of Aceh greatly avoid dealing with the banking, in the eyes of their banks are like loan sharks and at one time, his property will be confiscated for not being able to pay the debt and interest.
Adat dalam kehidupan masyarakat Aceh tidak memperbolehkan membuat perjanjian gadai dengan bunyi "bahwa jika barang dalam gadai ini tidak ditebus sekian tahun lamanya, maka menjadi hak milik pemegang gadai". Perjanjian seperti ini merupakan pemerasan dan menyimpang dari maksud menolong orang yang sedang kesusahan. Karena bagaimanapun perbuatan gadai dipandang hina dan memalukan, sebagian masyarakat mengabaikan rasa malu demi kebutuhan anak-anaknya. Dan satu hal lagi, masyarakat Aceh sangat menghindari berurusan dengan pihak perbankan, dimata mereka perbankan tak ubahnya seperti rentenir dan pada suatu waktu, hartanya akan disita karena tidak sanggup membayar hutang beserta bunganya.