Mati - Hidup Hanya Soal Kasih Sayang Tuhan

in #indonesia7 years ago

Andai saya sudah tidak ada di dunia ini, tulisan ini tak akan pernah hadir.

IMG-20171124-WA0086.jpeg

Pengalaman yang saya tuliskan ini adalah penanda bahwa hidup dan mati sangat sederhana. Semua tergantung dari sisi mana kita memaknainya. Hidup harus menjadikan kuasa Tuhan sebagai yang tertinggi, dan kita harus memaksimalkannya dalam proses waktu menuju kematian (Zeit zum Tode) dengan pengalaman dan perbuatan baik.

Kisah ini dimulai dari perjalanan pulang ke Aceh setelah hampir satu minggu saya berada di Yogyakarta untuk mengikuti Round Table Discussion (RTB) yang diselenggarakan oleh Dian Interfidei. Acara kemudian dilanjutkan dengan Training of Trainer tentang Lobi dan Advokasi untuk isu-isu minoritas dan pluralisme, 20-23 November 2017 di Jogja Plaza Hotel.

IMG-20171124-WA0013.jpeg

Jumat, 24 November saya kembali ke Aceh setelah pada pagi harinya mengisi seminar nasional di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Mengisi seminar di bekas kampus sendiri alangkah indahnya. Sebagian presentasi berbaur dengan romantisme bersama adik-adik kelas yang saat ini telah menjadi pejabat kampus. Di antaranya Dr. Sri Wahyuni yang menjabat sebagai Wakil Dekan III dan Dr. Fathurrohman yang menjabat sebagai ketua Prodi Pascasarjana.

IMG_20171124_090509.jpg

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka sendiri tahun ini memecahkan rekor. 105 lulusannya diterima senagai cakim (calon hakim). Ini sebuah prestasi yang sulit dikejar oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN mana pun termasuk fakultas hukum di perguruan tinggi negeri (PTN). Saya ikut bangga mendengar informasi ini. Kini Fakultas Syariah tak bisa dianggap afkiran dalam melahirkan praktisi hukum yang bekerja di dunia peradilan, baik pengadilan umum atau pengadilan agama.

IMG-20171124-WA0049.jpg

Setelah seminar dan melakukan Salat Jumat di mesjid baru di UIN Suka - mesjid dahulu sudah hilang dan hanya tertinggal di memori- saya melanjutkan perjalanan ke Bandara Laksda Adisucipto, Yogyakarta. Kota Sultan Hamengkubuwono ini memang sedang dirundung hujan, sehingga penerbangan saya sempat delay. Ketika take off dan kemudian hampir tiba di Jakarta, pesawat berputar-putar di langit sebelum tiba pukul 16.40 WIB.

IMG-20171124-WA0082.jpg

Perjalanan dengan GA 142 menuju Banda Aceh dari Cengkareng sempat tertunda 15 menit sebelum penumpang dipersilakan masuk. Sedianya pesawat akan take off pukul 17.50. Di dalam pesawat jadwal terbang pun harus antri. Itu adalah konsekuensi ketika penerbangan sudah tidak on schedule. Di tengah waktu antri saya melihat senja sudah menawan, dan wakti menunjukkkan pukul 18.30. Masih ada kesempatan untuk Salat Jamak Taqdim (salat Magrib dan Isya yang digabung pada waktu magrib). Saya bertayamum dan melakukan salat di tengah lampu yang meredup sebelum terbang.

IMG_20171125_184252.jpg

Setelah terbang, makan malam pun disediakan. Entah karena saya tidak lapar atau menunya kurang menarik - saya mengambil menu nasi dengan ikan - menu saya banyak tertinggal. Setelah makan seadanya saya tertidur.

Selepas 1 jam perjalanan, terjadilah kejadian yang mengerikan itu. Pesawat mengalami turbulensi hebat. Arah bantingan pesawat ke kanan dan ke bawah dan kemudian mencoba naik lagi. Body pesawat terasa seperti ditekan awan atau atmosfir ke arah bawah. Namun pilot mencoba menjaga ketinggian pesawat. Tidak ada pengumuman di tengah kepanikan dan suara orang berzikir. Terasa seolah-olah itu adalah waktu terakhir hidup. Pramugari juga mungkin sedang kalut dengan dirinya sendiri. Piring makan saya terlempar ke arah kanan dan berhamburan di lorong pesawat.

Saya mencoba waras. Terlihat di monitor televisi jadwal terbang telah satu jam lima belas menit. Berarti kami sedang berada di antara langit Sumatera Selatan atau Jambi. Saya mengingat bahwa telah melaksanakan Salat. Andai saya mati dalam perjalanan, saya sudah melakukan beberapa hal. Salah satunya saya telah salat dan juga bersedekah untuk hari terakhir di dunia. Saya ingat telah mengeluarkan sejumlah uang untuk orang-orang baik yang telah membantu saya. Cukup lega karena keputusan itu dilakukan bukan saat kalut seperti saat itu.

IMG-20171124-WA0072.jpeg

Namun ingatan saya kembali menerawang. Di dalam pesawat ini hanya sendikit orang penting yang ikut. Biasa pesawat yang terlibat bencana atau kecelakaan, hanya diisi sedikit orang terkenal. Satu-satunya pesawat yang berisi banyak orang penting mengalami kecelakaan adalah Mandala Air pada 5 September 2005. Kecelakaan itu menewaskan gubernur dan mantan gubernur Sumatera Utara. Saat itu saya baru keluar dari Medan setelah melaksanakan acara seminar. Ratusan orang meninggal termasuk warga di darat Jalan Muhammad Jamin Ginting, Medan, sebanyak 49 orang.

Syarat pesawat ini jatuh sudah ada jika memakai perspektif itu. Yang jelas pandangan ini berbau spekulatif dan klenik, karena unsur objektifnya terlalu sedikit.

IMG-20171115-WA0041.jpg

Namun ketika situasi kembali aman saya berpikir bahwa mungkin tidak mati hari itu. Seketika saya ingat bahwa Tuhan Maha Sayang dan Pemurah kepada umatnya. Jika saya mati hari itu, anak-anak saya akan yatim ketika mereka belum berdaya untuk mengarungi hidup. Nasehat-nasehat saya masih terlalu dini terkristal dalam pikiran mereka. Apalagi Cut Ilma Navia yang belum lagi dua tahun.

IMG-20171115-WA0040.jpg

"Crash", pesawat kembali terjadi goncangan kira-kira selepas Medan. Saya lihat perjalanan sudah melaju dua jam, dan setengah jam lagi akan tiba Banda Aceh. Penumpang tidak terlalu kalut dengan goncangan ini, karena kita sudah merasakan yang terdahsyat. Saya aman saja dengan dentuman itu.

Setiba Banda Aceh, waktu telah menunjukkan pukul 21.10 WIB. Banda Aceh hujan dan saya IMG-20171115-WA0023.jpegmemutuskan untuk terus berangkat ke Lhokseumawe malamnya. Saya telah memesan mobil Hiace terakhir dari Banda Aceh untuk ke Lhokseumawe. Salah seorang komisioner Panwaslu Aceh Utara yang ikut bersama, @yahqan, meminta saya berangkat besok pagi bersamanya. Saya menolak karena sudah tinggalkan anak istri hampir dua minggu. Dengan "kiamat" yang saya alami, hanya memeluk istri dan anak-anak menjadi pengobat jiwa.

Sekelumit kisah ini membuat saya memahami bahwa hidup dan mati hanya seperti tisu tipis. Ia bisa tembus kapan saja untuk melewati dua dunia itu, tanpa alasan. Maka bersyukurlah setiap menit kehidupan yang ada, dan jangan menambah dengan rasa dendam dan pikiran jahat. Live as like a swan to be!

26 November 2017

TKFUN.gif

Sort:  

Dengan 'kiamat' yang saya alami, hamya memeluk istri dan anak anak menjadi pengobat jiwa.

suka sekali dgn kalimat romantis itu pak @teukukemalfasya

Tulisan nya mantap pak. . Harus belajar ni sama @teukukemalfasya. 👍

Wahh wah, keingat pas penerbangan kami dari Jakarta ke Kuala Namu kemaren bang, cuaca yang kurang bersahabat membuat saya berdzikir dan ingat keluarga di rumah.

tulisan yang menarik, pak. salam kenal dari saya, satrio arismunandar (mantan wartawan Kompas dan trans TV)

Salam mas Satrio.... Keep in touch

Paling mules kalau kejadian begitu di pesawat dan bagi kita yang mungkin sering naik kendaraan pesawat terbang, jadinya suka was-was juga ya?

Saya ada dalam situasi 3 menit yang sangat was was... Apalagi ketika ia menghunjam ke bawah.... Tapi kejadian itu harus diambil hikmah, kalau tidak sama seperti keledai

Upvote you pak Dosen

Oleh-olehnya Pak @teukukemalfasya sambil ngopi kita

Cuaca belakangan ini memang sangat buruk Bro @teukukemalfasya. Semoga tidak ada kecelakaan transportasi meski turbulensi sering terjadi.

Btw, saya dan @zainalbakri serta sejumlah anggota AJI Lhokseumawe juga sempat ke pada 23 November 2017. Saya ikut Festival Media dan Seminar di Solo. Tapi jalan darat ke Yogyakarta.