Melakukan kerja survei lapangan tidak semudah teori. Teori tentu tak salah, yang salah ketika dedikasi membuktikan teori tidak dengan sepenuh jiwa dan intelektualitas. Jadi, jangan pernah salahkan teori ketika ketidakcakapan diri menyebabkan gagal pembuktian.
Meskipun pada survei preferensi politik momen elektoral 2019 saya menjadi koordinator pemantau untuk kabupaten, saya melihat juga bagaimana riset melalui praktik wawancara yang dilakukan surveyor di lapangan gampang-gampang susah. Gampang jika kita terus memperbaiki kualitas riset. Susah jika kita tak pernah mencoba. Barangsiapa yang sudah memasang muka susah, maka 50 persen usaha yang sedang dilakukan akan gagal dan masa depan akan suram.
Pagi senin, 30 April saya ikut mengawal survei yang dilakukan Nia Putri Rezeky dan Devanti Sentya. Dua mahasiswa angkatan 2016 ini melakukan survei dengan perasaan gundah. Alasannya medan yang akan ditempuh cukup jauh dan beresiko. Namun kawalan saya menyebabkan mereka mulai nyaman melakukan survei.
Demikian pula, Ayuni angkatan 2017. Awalnya kikuk, tapi ia tak mau menyerah dengan kesukaran, sehingga bisa belajar cepat. Angkatan Prodi Antropologi 2017 memang masih muda sekali untuk terlibat survei ini, tapi rata-rata mereka tekun. Sebut saja Yulia dan Irma Yunita. Mereka menjadikan kesukaran sebagai batu tanjakan untuk ditaklukkan. Mereka akan menjadi pualam jika terus diasah.
Sama juga dengan Ramlan Kasbi dan Agung Harmono, mereka bekerja sekaligus belajar dalam proses. Kasbi, meskipun juga sulit mempratikkan coaching clinic yang disampaikan instruktur saat masih di Lhokseumawe, ia tak bosan menelpon saya agar pekerjaannya tak keliru.
Saya tangkap pancaran usaha keras dan mau belajarnya cukup tinggi. Tanda seorang belajar adalah banyak bertanya. Saya melihat dia sudah merintis karir menjadi peneliti yang memiliki attitude bagus. Zuriana juga masuk kategori ini.
Lain lagi pula Khairina dan Yenni Yunita. Mereka mampu menjadi orang paling terakhir tertawa karena melawan kesukaran. Saya pikir tak ada anggota tim survei yang kuat melawan rundungan (bullying) empat laki-laki berandalan di sebuah kecamatan pelosok di Aceh Utara, seperti Yeyen (Yenni Yunita). Laki-laki yang bermental cumi mencoba menggertaknya ketika melakukan survei. Ternyata keroyokan itu dilakukan empat laki-laki! Bayangkan, mereka takut menghadapi perempuan sendirian. Ketika sendiri, laki-laki yang ngakunya sebagai aktivis politik lokal, tak lebih ayam potong. Pussy!
Untuk Rina Yusdarifa Sembiring saya tak perlu berkata apa-apa lagi. Seluruh tantangan dilahapnya. Ia jenis wonder woman yang mulai susah saya temukan bahkan di antara mahasiswa Antropologi. Ia gabungan sosok yang pintar, rajin, berani, dan periang. Ia pernah menangis ketika dikerjai responden di Aceh Utara pada riset dua tahun lalu. Tapi ia tak pernah menyerah. Ia jenis calon antropolog yang memiliki energi positif yang kuat, sehingga nothing is impossible.
Sikap periang juga bisa menjadi berkah dalam riset lapangan. Belum ada yang bisa menandingi dalam survei ini seperti Jaya Putra Ginting. Sikapnya yang positif telah bertuah pada sajian kopi Gayo oleh responden-respondennya. Berkah antropologi mana lagi yang bisa ditolaknya? Mirip juga pengalaman Della yang ditawari sayur oleh respondennya. Tentu tidak semua pengalaman membahagiakan, tapi kita bisa semakin bijak jika bisa mengolah pengalaman buruk sebagai kebaikan.
Tentu ada yang hebat-hebat lain lagi. Namun yang menyedihkan adanya yang bermental bumbu pecel giling atau kerupuk peyek. Pilihan menjadi pecel atau kerupuk bukan suatu yang baik. Entah mengapa saya melihat lebih banyak perempuan yang tangguh dibandingkan laki-laki. Dengan wujud fisik yang lebih lemah, perempuan kebanyakan lebih berani menantang "alam" daripada laki-laki.
Saya tak tahu rumus psikologi atau DNA apakah berhubungan untuk kasus ini. Apakah ini wujud kurang vitamin otak sehingga pribadi terbentuk menjadi rapuh, atau faktor sosial-lingkungan mereka bertumbuh sehingga pengesahan laki-laki itu cenderung terseret banjir takdir daripada menantang badai masalah.
Untuk riset lapangan, kalian mau pilih yang mana?
30 April 2018
Seperti ada pergeseran di Antropologi Unimal. Perempuan tangguh terus muncul. Laki-laki mental asam sunti juga makin tumbuh subur.. Gejala macam apa ini .. 😆
Gejala diare gak sembuh-sembuh
Ahh bener bener pengalaman yang luar biasahhhh... Kamu gak akan kuatt....aku aja hampir oleng dibuatnya... Tapi secara keseluruhan saya suka tantangan ini... Caiyoo tim RCMG... Thanks untuk bapak @teukukemalfasya.
Makasih @yenniyunita untuk pengorbanannya... Smg bs kerjsama lagi ke depan
Siap bapak @teukukemalfasya , insyaallah ada umur panjang dan kesempatan siap bekerjasama lagi pastinya.
Terima kasih bang @teukukemalfasya untuk bacaan yang saya dapat ini sangat menggembirakan.
Dalam cerita Milea (Dia Mileaku 1991), Dilan bilang bahwa tidak mudah mendapatkan cinta Milea. Meski saat itu dikontrakpolitikkan menggunakan materai.
Namun Dilan harus rela di keluarkan dari sekolahnya, berantam dengan teman-temannya, hingga memukul guru serta mengancam kepala sekolah. Baru mereka (DiMel) punya kesempatan untuk bersama.
Namun sayangnya, kisah cinta DiMel berakhir tragis kan bang. Mereka sama-sama punya pasangan hidup lain. Dilan hanya kenangan Milea dan juga sebaliknya.
Eh kok jadi ngebahas Dilan ya. Hehe Salut deh buat teman-teman interviewer. Semoga selalu berakhir manis.
Semoga semakin banyak pelibatan mahasiswa untuk melakukan banyak riset/research dan sebagainya. Karena ini mampu menguji mental mahasiswa sehingga setelah kuliah mahasiswa mampu beradaptasi dengan baik.
Salam
sampan kecil
Melakukan survei dan berhadapan dgn berbagai karakter manusia membutuhkan jiwa pantang menyerang, ulet, pintar mengambil hati dan harus cuek, jgn mudah dibawa ke hati.