Media online menjadi salah satu sasaran empuk bagi para jurnalis untuk menulis dan mempublikasikan informasi yang di dapatkannya kepada publik. Media online juga menjadi tempat tumpukan berita yang banyak dinanti oleh khalayak. Sekecil apapun berita yang disajikan oleh media online dengan semenarik mungkin, maka akan menjadi informasi yang akan di baca oleh banyak orang.
Perkembangan media online sekarang ini yang sedang tumbuh pesat tidak diimbangi dengan kepatuhan aturan yang telah ditentukan oleh dewan pers. Banyak media online di Indonesia mempraktekkan jurnalisme tanpa akurasi dan melanggar kode etik jurnalistik. Padahal seharusnya media online yang memiliki medium bisa disimpan lama dalam data internet harusnya lebih disiplin untuk memverifikasi sebuah berita. Anggota Dewan Pers, mengungkapkan, ada enam jenis pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh media online (media siber, cybermedia) :
- Media online tidak menguji informasi atau melakukan konfirmasi. pelanggaran initerjadi karena media siber mengutamakan kecepatan tanpa dibarengi denganverifikasi. Dilema kecepatan menimbulkan kesalahan pemberitaan.
- Berita tidak akurat.
- Mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi.
- Tidak berimbang.
- Tidak menyembunyikan identitas korban kejahatan susila.
- Tidak jelas narasumbernya.
Pelanggaran media online yang pertama adalah “tidak akurat”. Ini merupakan pelanggaran terberat karena tanpa adanya verifikasi dapat menyebabkan kredibilitas menjadi rendah. Jika verifikasi terus diabaikan, yang dapat menyebabkan tersebarnya informasi tidak akurat, makan media online akan dianggap tidak kredibel, tidak bisa dipercaya dan akhirnya mata karena ditinggalkan pembaca. Selain itu pemberitaan tanpa verifikasi juga dapat menyebabkan kerugian terhadap pihak yang diberitakan.
Sebagai contoh pemberitaan tentang Ahmad Dhani yang memberitakan dirinya bukan pemilik karaoke Masterpiece dan dipecat dari tempat itu pada agustus 2017. Kasus ini, Dhani melaporkan 9 media online karena salah memberitakan dirinya akibat sumber informasi yang tidak kredibel yang menurut Dhani berasal dari sebuah akun instagram. Insan media online yang melihat tersebut, sebuah foto yang isinya Ahmad Dhani bukan lagi pemilik (Masterpiece) langsung menjadikan sebagai sumber berita di media online. Jika seperti ini, pemberitaan tanpa menguji informasi ataupun melakukan konfirmasi tidak hanya menjadikan dilema bagi korban tetapi media online tersebut juga bisa mendapatkan masalah.
Media online sekarang ini sering kita dapatkan mengabaikan atau melanggar desiplin verifikasi hanya karena lebih mementingkan kecepatan dibandingkan dengan akurasi. Lebih mengedepankan menjadi yang pertama dibandingkan menjadi yang akurat. Disebabkan media online yang merupakan sebuah media tercepat dalam penyebaran informasi, membuat media online berlomba-lomba untuk menjadi yang tercepat. Padahal mengabaikan verifikasi sebagai jalan terbaik untuk akurasi berita adalah “dosa besar’’ dalam pedoman jurnalistik.
Melakukan verifikasi tentang sebuah informasi tidah hanya menjadi pembeda antara fiksi ataupun gosip, tetapi juga menjadi pembeda antara mana jurnalis yang profesional dan mana jurnalis yang “amatiran”. Jurnalis yang profesional selalu mengkonfirmasikan setiap informasi yang di dapatkan.
Dalam menulis berita, wartawan media online sering menulis hanya berdasarkan wawancara via telepon, sms, Whatsapp ataupun melalui kicauan Twitter. Bukannya langsung datang ke tempat kejadian untuk observasi dan memastikan kalau berita yang dipubliskan adalah sebuah fakta. Hanya karena beranggapan bahwa media oline bisa dengan mudah, kapan, dimanapun, diedit, di update atau bahkan men-deletenya tampaknya insan media mengabaikan aturan untuk memverifikasi sebuah kebenaran. Selain itu, media online juga sangat mudah untuk dikoreksi dan juga di komentari oleh pembaca (audience control).
Kebenaran dalam dunia jurnalistik adalah fakta (fact) yang disajikan secara akurat(accuracy). Untuk mencapai akurasi dan kebenaran itulah dibutuhkan verifikasi (discipline of verification). Media online jangan mengabaikan verifikasi jika ingin "bertahan hidup". Pembaca juga jangan mudah percaya dengan berita di media online.
Singkat cerita bijaklah dalam mengunakan media sosial , cermatlah dalam memahami berita dan tentang dan darimana asal usulnya , terlebih jaman sekarang akun-akun media sosial dan media pers hobi menyajikan berita dengan tajuk yang kontroversial , seumpama membubuhkan tanda tanya di akhir tajuk (pak RT kuta sijuk , melakukan korupsi ?)
Hahahaha cara yang sudah tidak asing untuk menarik minat pembaca , namun sayang nya media massa lupa ada beberapa manusia yang hobi membaca tajuk namun enggan membaca caption , nah dari situlah timbul virus fitnah karena kesalah pahaman , sedikif kutipan "jangan terlalu pintar sehingga melupakan bahwa ada orang yang tidak paham, dan tidak ingin memahami seperti anda" untuk media massa
Upvote yah..