http://aceh.net/news/detail/mengenal-makna-dayah-dan-teungku-di-aceh
Selamat malam sahabat steetmit semuanya. Nah malam ini saya kembali lagi dan lagi melanjutkan mereview buku Acehnologi yang kali ini terdapat di dalam bab 31 mengenai tentang Masa Depan Dayah di Aceh.
Yang menjadi titik fokus pada bab ini adalah apakah dayah tetap mempertahankan apa yang sudah ada atau melakukan adaptasi dengan perkembangan zaman dalam melakukan ilmu pengetahuan terhadap generasi baru di Aceh. Sebelum muncul perguruan tinggi, dayah atau pesantren sudah dulu menghasilkan para ilmuan yang telah mengukir sejarah peradaban di Nusantara. Dayah sudah menjadi bagian dari memahami sejarah orang Aceh. Dahulu, sebelum kedatangan penjajah ataupun setelah merdeka. Dayah sudah mendarah daging dan menjadi pusat peradaban di Aceh, meskipun belakangan ini jati dirinya sudah menurun, tetapi pengaruhnya masih bisa kita rasakan sampai sekarang. Seperti tokoh, pejabat, menteri mereka pasti terlebih dahulu akan melakukan silaturrahmi ke dayah baru setelah itu mengenal kehidupan agama masyarakat. Karena mereka mengetahui bahwa salah satu spirit masyarakat Aceh terdapat di dalam dayah.
Pada bab ini spirit dayah dikatakan sebagai eleume endatu yang masih sangat kental keaslianya. Oleh karena itu jika dayah sudah tidak ada lagi maka bisa kita katakan spirit eleume endatu perlahan-lahan akan hilang di Aceh, dan tidak bisa kita bayangkan bagaimana jadinya Aceh tanpa dayah. Untuk mempertahankan tradisi di dayah bukanlah perkara yang mudah. Karena, disamping sebagai bagian dari reproduksi keulamaan, juga sebagai bagian dari bagian dari ketahanan masyarakat Aceh terhadap tantangan dari luar, jadinya menjadi tantangan sendiri bagi orang Aceh. Dayah pada masa yang akan datang akan terancam punah yang diakibatkan oleh dari perubahan modernisasi dan juga sistem global yang merusak tatanan dayah itu sendiri. Disini tampak bahwa gerakan keagamaan di masa yang akan datang akan lebih banyak membawa misi sakralitas keagamaan.
Di dalam bab ini juga memaparkan peluang agama di masa yang akan datang, mau tidak mau dayah harus mengikuti jejak gejala-gejala yang ada tersebut. Memaksa dayah untuk merespon dan menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman. Seperti yang kita ketahui di Cina ilmu pengetahuan dan teknologi perkembangannya begitu pesat tetapi tidak menjadikan kehidupan rohaniawan disekitar kuil tidak berubah sama sekali. Jadinya muncul pertanyaan apakah dayah di Aceh memiliki fungsi seperti keagamaan di kalangan umat non-Muslim? Ini tentu saja kembali lagi kepada masyarakat dayah Aceh sendiri. Ada beberapa pilihan bagi dayah dimasa yang akan datang (terdapat di halaman 923) yaitu: pertama, terus bertahan dengan tradisi keilmuan yang telah berjalan selama ratusan tahun. Kedua, melakukan adaptasi terhadap perkembangan terkini di dunia. Ketiga, melibatkan diri dalam setiap perubahan dengan cara melakukan re-desain kurikulum. Keempat, membiarkan dayah seperti adanya, tanpa perlu mengajak masyarakat di sekitarnya untuk memikirkan perubahan global, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Jadi intinya dayah itu adalah tradisi yang sangat melekat pada masyarakat Aceh. Tanpa adanya dayah Aceh sama sekali tidak mempunyai khas. Jika dayah larut dengan perkembangan zaman ditakutkan dayah akan hilang jati dirinya. Jadinya dayah harus bisa mempertahankan diri sebagai aset tradisional ilmu pengetahuan di Aceh. karena dayah itu satu mutaira peradaban di Aceh. Jika kita tidak bisa menjaganya, maka peradaban di Aceh akan hilang.