Semua orang yang berjumlah 38 pegiat literasi dari seluruh penjuru tanah air diperiksa ketika memasuki empat pintu pengamanan istana negara. Wajah-wajah sumringah tidak berubah, meski sedikit tidak nyaman karena penjagaan ketat tim keamanan kepresidenan.
Satu Minggu sebelumnya, "Kriiiing ...." gawai yang diletakkan di atas meja sebuah kedai berbunyi.
Aku tidak memperhatikan gawai sejak kedua mahasiswa UPI Kampus Tasikmalaya mengajak berdiskusi di pojok kedai. Mereka meminta konfirmasi materi yang akan disampaikan pada saat peluncuran buku "Sepucuk Surat dari Sunyi" yang aku tulis setebal 500 halaman. Sebuah buku bermuka gelap tentang esai, artikel, dan jurnal gerakan literasi, mulai dari jalanan hingga kantoran selama 7 tahun pergerakan.
Wajar saja tidak memperhatikan gawai karena percakapanku dengan kedua mahasiswa panitia peluncuran buku beradu dengan musik sebuah band di atas panggung kedai Pergola Coffee Corner. Padahal, jarum waktu menunjukkan pukul 13.45 WIB. Band yang tengah memainkan beberapa lagu itu ternyata hanya latihan saja. Sebab mereka bermarkas di Pergola Coffee Corner. Sebelum tampil malam hari, mereka rajin latihan siang hari.
Ngomong-ngomong, gawai yang terus berdering mengalihkan mataku yang sibuk berdiskusi dengan kedua mahasiswa UPI.
"Selamat siang, Pak Vudu. Saya Yudha dari sekretariat negara, bermaksud konfirmasi kehadiran bapak pada tanggal 2 Mei 2017 di istana negara," suara laki-laki asing dari balik gawai menjelaskan panjang lebar.
"O, ya?" jawabku pendek. Sedang keningku mengerut seketika. Selain itu, tidak memercayai lelaki yang terus
berusaha menjelaskan. Sepertinya, ia paham dengan keherananku yang tidak langsung percaya.
"Sebentar, Pak Yudha tahu namaku dari mana?" tanyaku memancing.
"Bapak tidak percaya! Jika Bapak tidak percaya catat nomor telepon kesekretariatan negara!" Pak Yudha mulai naik pitam.
"Saya hanya bertugas menghubungi Pak Vudu agar hadir pada tanggal yang sudah saya jelaskan. Menggunakan pakaian batik lengan panjang, celana bahan, dan sepatu pantopel," dengan nada tinggi, Pak Yudha semakin emosi.
Aku terdiam. Antara ingin bangga, tetapi belum percaya. Sebagaimana saran Pak Yudha, nomor istana negara yang panjang pun tidak kuhubungi.
"Baik, Pak. Kalau tahu nomor teleponku dari mana?" aku memastikan sekali lagi.
Pak Yudha pun terdiam, hanya terdengar menarik-embuskan napas yang cepat. Aku memang belum percaya hingga Pak Yudha pun terus menjelaskan, "Baik. Mohon maaf, Pak Vudu. Saya mendapatkan nomor bapak dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," katanya.
Aku semakin mengerutkan kening, tercenung, dan terdiam lebih lama dari Pak Yudha. Percakapan yang membuat perasaanku tergantung hari itu adalah antara percaya dan tidak. Sebenarnya, aku ingin melambungkan perasaan ke atas awan. Namun, tidak ingin euforia begitu saja, sebelum konfirmasi ke sana ke mari untuk memastikan kebenarannya.
Tidak terasa, ternyata aku telah mengabaikan kedua mahasiswa, tamuku sore itu. Hujan semenjak percakapan dengan Pak Yudha yang mengaku dari staff kepresidenan pun mulai reda. Sebenarnya, agenda di kedai hanya untuk bertemu dengan kedua mahasiswa UPI untuk memastikan acara peluncuran. Tiba-tiba telepon berdering lagi, "Mohon maaf, Pak Vudu ...." suara Pak Yudha dari balik gawai.
Bersambung dulu, ya ....
luar biasa, Rio Juga mau lah di undang kemari
Aku ngga pernah mimpi ke istana, Kawan. Hehehe. :)
Selamat ya atas undangan istana
Udah tahun lalu, Mas. Hehehe. :)
Congrats Kang @vuduabdulrahman
Terima kasih, Mas.