Tertiblah Berbahasa Indonesia! (17)

in #indonesia7 years ago (edited)

Tentang Kata-kata yang Salah Nalar

Dear steemians.

Setelah sering membahas tentang ejaan baku dan cara benar menuliskan bilangan bertingkat, kali ini kita bahas tentang kata-kata yang salah nalar.
Apa itu nalar? Nalar adalah aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis. Nalar disebut juga akal budi atau pertimbangan tentang baik buruk, logis tak logis.
Dalam konteks kebahasaan, banyak pengguna bahasa Indonesia yang terjebak dalam situasi salah nalar. Dalam pemikiran atau perasaannya ia sudah tepat menggunakan suatu kata, istilah, atau frasa, tapi ternyata kalau dipikir-pikir dan ditimbang-timbang secara mendalam, ternyata apa yang dia gunakan itu justru salah atau jungkir balik logikanya.
Berikut ini beberapa contohnya.

IMG-20180605-WA0006.jpgPada setiap lomba penulisan pastilah aspek bahasa ikut dinilai. Bobotnya sekitar 20% dari total kualitas karya. Sumber: Himmah Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

TKP
Contoh yang paling sering saya sebut dalam ceramah-ceramah saya adalah TKP. Semua polisi dan sebagian besar wartawan menganggap istilah TKP sudah pasti benar jika dituliskan dalam laporan atau pemberitaan. Padahal, TKP yang merupakan singkatan dari tempat kejadian perkara tidak selalu berakhir sebagai tempat kejadian perkara. Bisa saja ia hanya sekadar tempat kejadian peristiwa; lokasi tempat terjadinya insiden, kecil, sedang, maupun besar.
Perlu dicamkan bahwa di KBBI, kata perkara selain diartikan sebagai persoalan, masalah, dan urusan, juga bermakna tindak pidana atau perdata. Nah, pertanyaannya kemudian, apa benar semua kasus atau kecelakaan lalu lintas (termasuk kecelakaan tunggal) di lokasi tertentu berakhir menjadi perkara hukum? Survei membuktikan, banyak kasus dan insiden yang pada akhirnya diselesaikan secara damai di tempat atau bahkan "dilapanenamkan" oleh oknum tertentu, sehingga tak pernah sampai ke tahap penyidikan, apalagi menjadi perkara di pengadilan. Dengan kata lain, fakta sosial di suatu tempat kejadian, belum tentu berakhir menjadi fakta hukum. Bahkan kasus tabrak lari saja yang korbannya tewas belum tentu bisa menjadi perkara jika polantas tak pernah berhasil menemukan pelakunya. Nah, oleh karenanya lebih nyaman dan lebih logis apabila tempat peristiwa tertentu kita sebut dengan lokasi atau tempat kejadian saja. Tapi sebutlah ia TKP manakala penyidik mendatangi tempat itu (lagi), misalnya, dengan menghadirkan tersangka untuk menjalani reka ulang (rekonstruksi) perkara. Pada saat itulah istilah TKP menjadi sangat tepat dan diterima nalar.

IMG-20180608-WA0007.jpgKorban tabrak lari di Lampung, Kamis (7/6/2018). Foto: Tribun Lampung

Mengejar Ketertinggalan
Frasa ini pun sering saya contohkan dalam ceramah saya tentang bahasa Indonesia ragam jurnalistik. Sejauh yang saya amati, mulai presiden, menteri, gubernur hingga camat kerap menggunakan frasa ini dalam pidatonya. Maksud mereka sih ingin menyemangati audiens atau rakyatnya agar selalu proaktif mengejar capaian tertentu sehingga Indonesia atau wilayah kuasa sang orator menjadi maju. Dalam artian, setara dengan negara, provinsi, kabupaten/kota, atau kecamatan yang sudah maju.
Tapi cobalah timbang-timbang, apakah tepat frasa "mengejar ketertinggalan" dipakai di situ? Bukankah orang yang mengejar ketertinggalan pasti semakin tertinggal, semakin jauh dari zona kemajuan? Oleh karenanya, pembaca yang budiman, Anda jangan ikut-ikutan lagi "mendoakan" Indonesia atau daerah tempat Anda bermukim agar selalu tertinggal--melalui pengejaran yang intens--tapi gantilah upaya itu dengan sesuatu yang positif. Solusinya hanya ada dua: mari bersama mengejar kemajuan atau mari mengatasi ketertinggalan. Biarkan orang-orang pandir saja yang sangat serius mengejar ketertinggalan dengan segala akibatnya.

Menyingkat Waktu
Sangat mungkin Anda pernah mendengar frasa ini diucapkan oleh pewara atau pengarah acara (master of ceremony). Moderator dalam berbagai diskusi pun sering mengucapkannya sebagai wanti-wanti agar waktu yang ada dimanfaatkan seefisien mungkin oleh para narasumber dan penanya. Tak boleh ada yang boros atau buang-buang waktu.
Tapi sadarkan Anda bahwa sesungguhnya tak ada orang yang mampu menyingkat waktu? Bahkan si Rambo sekalipun! Waktu yang dihidangkan Allah untuk kehidupan kita adalah 24 jam sehari semalam. Tak ada yang kuasa menyingkat atau memperpendeknya sehingga, misalnya, menjadi 20 atau 23 jam saja sehari semalam.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan terhadap waktu yang abstrak itu? Ya, hargailah waktu, hemat waktu, dan jangan boros. Jadi, frasa yang tepat untuk menggantikan "menyingkat waktu" adalah menghemat waktu. Itu lebih realistis dan logis.

Membabi Buta
Frasa ini juga sering digunakan dalam ragam tulis maupun cakap. Terlebih saat seseorang ingin menggambarkan ada orang yang kalap luar biasa dan bertindak agresif bahkan brutal. Istilahnya seruduk sana-seruduk sini.
Tapi pernahkah kita berpikir kritis bagaimana sebetulnya tindak tanduk babi yang buta? Survei membuktikan, babi buta adalah makhluk yang tahu diri. Saat dia buta, apalagi buta total, dia lebih memilih menyendiri di pojok kandang atau di pojok hutan. Dia tidak lasak dan sembarang seruduk, karena dia sadar dirinya buta, tak bisa melihat. Duduk diam adalah cara ternyaman baginya. Saat lapar, dia akan mengandalkan penciumannya untuk mengendus makanan atau air.
Yang justru sering ganas dan bertindak agresif adalah babi terluka. Jadi, jangan pojokkan terus babi yang buta, padahal yang paling sering mengamuk itu adalah si babi melek atau babi yang terluka kena bacok, tombak, atau peluru.
Saking tak dianggapnya babi buta itu berbahaya, sampai-sampai di KBBI V tidak dicantumkan frasa babi buta. Tapi kalau babi yang lain ada disebutkan. Misalnya, babi alu, babi dara, babi jaran, babi ngepet, bahkan babi jadi-jadian.

Dini Hari
Hampir semua percakapan kita selama ini tentang waktu di atas pukul 00.00 kita simpulkan sebagai "dini hari". Tak pernahkah Anda berpikir bahwa apa yang Anda anggap benar itu ternyata keliru?
Ya, Anda memang keliru kalau menganggap rentang waktu di atas pukul 00.00 itu adalah dini hari. KBBI jelas mencatat bahwa yang namanya dini hari itu adalah waktu antara pukul 03.00 hingga pukul 05.00. Artinya, waktu dini hari atau pagi-pagi sekali itu durasinya hanya dua jam. Waktu sebelumnya kita sebut larut malam, sesudahnya kita sebut pagi. Jadi, akhirilah segera kekeliruan ini sebelum mentari terbit dari barat.

IMG-20180511-WA0005.jpg

Sekian saja dulu. Tunggu ulasan kebahasaan berikutnya.

Banda Aceh, 8 Juni 2018

Saleuem,

YD
Pembina FAMe dan Redaktur Pelaksana Harian Serambi

Sort:  

Terima kasih bang @yarmen-dinamika. Tulisan ini menjadi pelajaran berharga dari hal-hal sepele tapi keliru

Ya semoga bermanfaat bagi @yaisardinarto dan para Steemian lainnya yang sempat membaca postingan ini.

Terima kasih infonya pak. Sebuah kata itu memang harus sesuai dengan maknanya ya pak? Seperti membabi buta dan menyingkat waktu, padahal faktanya tidak sesuai dengan apa yang kita maksudkan.

Wah terimakasih pak ilmunya.

Terima kasih juga @zhusahali, sudah membaca postingan saya. Semoga bermanfaat.

  1. Alhamdulillah, saya sudah membaca postingan ini. (tidak memakai kalimat "sampai selesai") karena postingan ini ada awal dan akhir, kalau sudah dibaca berarti sudah dari awal sampai akhir. Benarkah begitu bang ?
  2. Terkait sub judul menyingkat waktu, saya saya sering mendengar MC mengucapkan "waktu dan tempat saya persilahkan" apakah kalimat ini benar ?

Terimkasih atas petunjuknya. Barakallah