Tertiblah Berbahasa Indonesia! (19)

in #indonesia7 years ago (edited)

Tentang Nama-nama Unik

Dear steemians.

Luczisman Rudy Polandi, George Toisutta, dan Fardelyn Hacky, nama Acehkah itu? Kesannya tidak. Orang Acehkah mereka? Bisa jadi sebagiannya ya, sebagian lagi tidak. Lalu, apa hubungan nama itu dengan Aceh? Oh, jelas ada.

IMG-20180612-WA0022.jpg

Luczisman Rudy Polandi (Mayor Jenderal TNI) lahir di Bandung, Jawa Barat, 25 Januari 1961, adalah perwira tinggi TNI Angkatan Darat. Sebelum menjabat Pa Sahli Tingkat III Bidang Banusia Panglima TNI, Rudy adalah Panglima Kodam Iskandar Muda. Malah sebelumnya Rudy menjabat Kasdam Iskandar Muda yang berkedudukan di Banda Aceh.

George Toisutta juga bukan orang Aceh, tapi ia punya hubungan dengan Aceh. Jenderal TNI (Purn.) kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 1 Juni 1953 ini menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat sejak 29 November 2009 hingga 30 Juni 2011. Sebelumnya ia Panglima Kostrad (2007-2009). Sebelumnya lagi, lulusan Akademi Militer, Magelang, tahun 1976 ini menjabat Pangkoops TNI di Aceh. Dari Aceh ia dipromosi menjadi Panglima Divisi-1/Kostrad, jadi Pangdam XVII/Trikora, Pangdam III/Siliwangi, dan terakhir menjabat KSAD.

Lalu siapa pula Fardelyn Hacky Irawani? Wanita kelahiran Aceh Selatan ini lulusan Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh. Namun, ia tak bekerja sebagai perawat, melainkan sebagai dosen di almamaternya. Ia menyebut dirinya, "perawat pengajar".😅 Hobinya menulis.

Saat pertama mengenalnya Juli tahun lalu di kelas Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh, saya duga dia bukan orang Aceh. Namanya jauh sekali dari kesan keacehan (seperti nama Pocut Halimah, Pocut Baren, Nyakti Umaimah, Nyak Rinda, Nyak Umamah, Cut Maneh, Cut Hananan, Cut Nyak Phonna, bahkan Cut Tari Rupa)

Lalu, apa perlunya tiga nama tadi (Luczisman, George, dan Fardelyn) saya cantumkan di awal tulisan ini? Saya sebetulnya ingin menulis tentang orang-orang Aceh dan orang-orang luar yang pernah bertugas di Aceh, tapi punya nama unik. Saya berharap, seunik dan serumit apa pun nama tersebut jangan sampai kita salah menuliskannya walau satu huruf pun.

Saya pernah dengar kisah bahwa Pak Jakob Oetama, salah satu pendiri Harian Kompas tak akan membaca atau ogah lanjutkan membaca media yang salah menulis namanya. Itu tanda, dia ingin orang lain menghargainya; antara lain, dengan menulis namanya secara benar.

IMG-20180611-WA0036.jpgNama jalan tertulis Ali Hasyimi. Perlu koreksi.

Tiap kali saya ke luar atau pulang dari kantor saya di Meunasah Manyang, Pagar Air, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, lalu naik ke Jembatan Pango yang tinggi, perasaan saya selalu tak nyaman. Penyebabnya adalah nama jalan yang diadopsi dari nama tokoh Aceh yang pernah jadi gubernur, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh, dan Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) itu tertulis salah. Sedianya Jalan Ali Hasjmy, tapi yang tertera di sana sejak tiga tahun lalu adalah Jalan Ali Hasyimi. Para pedagang di sepanjang jalan itu pun menuliskan nama yang salah di alamat toko atau warungnya. Google Map pun ikut salah.

IMG-20180612-WA0002.jpgSalah tulis, Jalan Ali Hasyimi. Seharusnya, Ali Hasjmy.

Di Kota Subulussalam, jalan protokolnya malah bukan bernama Teuku Umar, melainkan Teungku Umar. Saudara-saudara saya di sana mengira T itu adalah singkatan teungku. Padahal, di Aceh teungku disingkat Tgk, sedangkan teuku disingkat T. Yang pertama merujuk pada sosok ulama, sedangkan yang kedua merupakan gelar kaum ningrat/bangsawan Aceh. Mereka disebut juga kaum uleebalang. Teuku itu pasangannya adalah "cut".

Tapi di Aceh ada juga sosok yang ogah disebut Teungku. Dia malah menyebut dirinya Tengku. Orang itu adalah Tengku Malik Mahmud Al-Haythar. Sejak 2013, mantan ketua tim juru runding GAM ini menjabat Wali Nanggroe Aceh. Di baliho, spanduk, dan materi iklan di koran, nama Malik Mahmud selalu diawali Tengku. Dianggap salah kalau kita ubah jadi Teungku. Saya pernah ditegur Kahumas Wali Nanggroe sekali karena lancang mengubahnya dalam materi iklan selamat Idul Fitri Lembaga Wali Nanggroe.

Gelar tengku biasanya dipakai di bekas Kerajaan Deli, Sumatera Utara atau di Aceh Tamiang yang berbatasan langsung dengan Sumut. Contohnya ada Tengku Malinda (penyiar TVRI), juga ada Tengku Rizal Nurdin (mantan gubernur Sumatera Utara), dan Tengku Erry Nuradi (Dr. Ir. H., S.E., M.Si.), Wakil Gubernur Sumatera Utara yang sejak 16 Juni 2013 menjabat Gubernur Sumatera Utara menggantikan Gubernur Gatot Pujo Nugroho.

Nama unik lainnya di Aceh adalah Daud Beureueh, mantan gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Orang luar Aceh umumnya kesulitan mengeja nama keduanya, (Beureueh) yang ditabalkan dari nama kampungnya di Pidie. Akar kata ini agak mirip dengan Beureuneun di Pidie atau Bireuen yang dijuluki "Kota Juang".

Nama unik lainnya adalah Daud Joesoef (S.H., M.H.) Ini nama mantan dekan saya di Fakultas Hukum Unsyiah. Nama pertama dia tanpa oe, tapi nama keduanya "banjir" oe, karena itu nama ayahnya. Ya mau bilang apa. Itulah kalau nama orang tempo doeloe disatukan dengan generasi zaman now.

Di UIN Ar-Raniry, tetangga Unsyiah, juga ada beberapa dosen bernama unik. Pertama Yusny Saby (Prof. Drs. H. Ph.D., M.A.), mantan rektor saat UIN masih bernama IAIN Ar-Raniry. Kedua akhir namanya pakai huruf y, tapi banyak orang menulis asal, sehingga sering saya baca jadi Yusni Sabi. Untung saja guru besar yang satu ini tak ambil peduli.

Berikutnya adalah Alyasa' Abubakar (Prof. Dr. H., M.A.). Kekhasan nama dia terletak pada tanda diakritik. Ada tanda (') di ujung namanya. Tapi saya pernah dapati nama ilmuwan asal Gayo ini ditulis Alyasak, Al-Yasa, atau Alyasa saja. Bagi saya, ini bagian dari perlakuan kurang menghargai orang lain, hal yang tak disukai Pak Jakob Oetama, seperti yang saya cerita di awal tadi.

Tokoh lain yang memakai tanda (') di namanya adalah Illiza. Lengkapnya, Illiza Sa'aduddin Djamal. Nama ayah dari mantan wali kota Banda Aceh ini ya memang begitu. Jadi, jangan nafikan tanda diakritiknya. Hal itu juga berlaku untuk nama sahabat saya, Jasman J. Ma'ruf (Prof. Dr., S.E., M.B.A) yang saat ini menjadi Rektor Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh.

Menulis nama Rektor Unsyiah saat ini kita juga harus ekstrahati-hati. Tulislah Samsul Rizal (Prof. Dr. Ir., M.Eng.), jangan Syamsul Rizal (Prof. Dr., M.Sc.) karena itu adalah orang yang berbeda. Profesor yang satu ini memang akademisi Unsyiah juga, tapi dia justru mantan dekan di FMIPA. Jangan pula salah tulis menjadi Syamsul Rijal (Prof. Dr. Drs., B.A., M.Ag.), karena profesor yang satu ini merupakan Wakil Rektor III di UIN Ar-Raniry.

IMG-20180609-WA0013.jpgFOTO: NASRULLAH RCL. Rektor Unsyiah, Prof Samsul Rizal berjabat tangan dengan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.

Juga jangan keliru menulis nama Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara karena ada beberapa nama yang agak mirip. Namanya yang benar adalah Apridar (Prof. Dr., S.E., M.Si). Nama ini beda tipis dengan Afridal, lengkapnya Afridal Darmi (S.H., L.L.M.), Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Nama Afridal dibayang-bayangi oleh Afrizal, lengkapnya Afrizal Tjoetra, Ketua Komisi Informasi Aceh. Nama yang mirip Afrizal adalah dan Amrizal, Karo Hukum Setda Aceh yang baru. Agar lebih beda dengan semua orang, tokoh Aceh yang satu ini menambahkan J. Prang di belakang namanya. Bisa saja Amrizal yang satu ini anak atau cucu dari seorang Jenderal Perang pada zamannya. Hehe.

Tiga nama unik lainnya dalam pantauan saya adalah Adnan Ganto. Nama Penasihat Menhan Bidang Ekonomi ini pada beberapa kesempatan diganti-ganti orang menjadi Adnan Gantoe atau Adnan Gantou. Jelas salah dan tak etis.

IMG-20180612-WA0021.jpg

Nama unik lainnya adalah Nourhalidyn, mantan pemimpin umum di tempat saya bekerja, Harian Serambi Indonesia. Nama uniknya telah abadi karena beliau sudah mendahului kita sebelum tsunami melanda Aceh.

Nama terakhir adalah Nur Djuli. Nah, keluhan mantan juru runding GAM di Helsinki, Finlandia, inilah yang menginspirasi saya menulis risalah lumayan panjang ini.

Tahu kenapa? Simak keluhan Om Nur Djuli berikut ini:

[1/6 15:46] Nur Djuli: Assalamualaikum Pak Yarmen, senang sekali ada pakar (editor) yang sependapat dengan saya dalam hal pentingnya ejaan dan tata bahasa dalam penulisan. Kelihatannya sekarang, bahasa Indonesia sudah sangat rusak, sudah jadi bahasa rujak, campur-aduk antara bahasa gaul, bahasa koran, dan bahasa resmi. Tidak ada perbedaannya lagi. Waktu di BRA dulu, karena tak sanggup marah-marah ketika diminta tanda tangan surat-surat resmi yang ejaan dan tata bahasanya salah hampir di tiap baris, saya terpaksa mendraft dan mengetik sendiri.

Satu lagi yang umum di Indonesia adalah orang sangat sembarangan dalam menulis nama. Ejaan nama saya bermacam-macam (bahkan di surat-surat dan plaque penghargaan dari pemerintah dan universitas), umpamanya: Nurdjuli, Nurjuli, Nur Dzuli, walaupun dalam formulir saya sudah tulis nama saya dengan terang. Apakah mungkin orang menyangka saya salah tulis nama sendiri?

[1/6 16:09] Yarmen Dinamika: Nanti akan saya tulis sekali tentang nama-nama tokoh yang sering ditulis salah di Aceh.

[1/6 18:28] Nur Djuli: Ini soal sikap. Sebenarnya dengan ketidakpedulian soal nama itu kita sepertinya tidak menghargai orang tsb. Kalau bule, terus tanya: How you spell it? Seperti umpamamya Stephen dan Steven, dua-duanya dipanggil Steve, tapi dalam tulisan kan berbeda.

Dulu saya pernah bisnis travel agency sebentar. Kalau abang saya di Medan transfer uang melalui bank, waduh susah sekali saat hendak saya ambil. Akhirnya, saya buat surat sumpah di “Pesuruh Jaya Sumpah” (Oath Commissioner alias Notaris), bahwa nama: M. Nur Djuli, M. Nur Djoeli, M. Nur Djuly, adalah orang yang sama dengan seperti yang tertulis di KTP Malaysia No: xxxx: Muhammad Nur Djuli bin Ibrahim.

[1/6 18:33] Yarmen Dinamika: Hehe. Menarik. Dalam waktu dekat saya ulas tentang ini. Contohnya kasus Om. Terima kasih sudah menginspirasi.

Nah, pembaca sekalian, untuk maksud inilah risalah ini saya tulis. Untuk menghormati para pemilik nama, seunik dan serumit apa pun namanya, kita tak boleh salah menulisnya.

Banda Aceh, 12 Juni 2018

Saleuem,

YD
Pembina FAMe dan Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia

Sort:  

Bagaimana dengan tokoh cerdas aceh ini pak ??

T.M Hasbi ash Shiddieqy.
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddiqi
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddiqy

Mohon pencerahan ?

Bung @khaimi, yang paling berhak menjawab ini adalah teman-teman stemian yang bermukim di Kota Lhokseumawe. Sebab, di kota ini ada Museum dan Perpustakaan Prof. Dr. Hasbi. Pastilah nama dia yang paling benar atau paling akurat yang dicantumkan sebagai nama gedung ini.

Saya karena sedang tak berada di Lhokseumawe, hanya bisa mengecek nama tersebut di Wikipedia. Dan inilah hasilnya:

Profesor Doktor Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904 – meninggal di Jakarta, 9 Desember 1975 pada umur 71 tahun. Wikipedia
Meninggal: 9 Desember 1975

Dengan demikian, versi yang paling benar adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.

Terimakasih Pak, disini banyak sekali versi penulisan Ash Shiddieqy, As-Shiddiqie, Ash Shiddieqi. Apa bang @kba13 tahu ya ?? Soalnya beliau ada memberikan komentar terhadap tokoh ini dalam bukunya. Sekali lagi terimkasih, barakallah pak

sangat bermanfaat 👍🙏

Congratulations @yarmen-dinamika! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of posts published

Click on the badge to view your Board of Honor.
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

To support your work, I also upvoted your post!

Do not miss the last announcement from @steemitboard!

Do you like SteemitBoard's project? Then Vote for its witness and get one more award!

Hahaha, sangat mencerahkan pak...

Sy sangat2 sering kena protes ketika menulis nama Ali Hasjmy

Terkadang kita lebih enak menulis dg yg sesuai bacaan, yaitu Ali Hasyimi.... Tp ya itu, rupanya itu sesuatu yg salah dlm berbahasa hehehe

Kalau ragu lagi nanti Bung @teukuzulkhairi, silakan buka dan baca lagi postingan saya hari ini. Hehe

Hahaha, siap pak yarmen. InsyaAllah

Hahaha, nggak ragu lah pak. Prof di kampung jg menyatakan seperti yg pak Yarmen tulis hehehe

Wah... Ini bikin kalut para disleksik. Salah satu kelemahan individu disleksia adalah mengingat ejaan yang benar dalam kata per kata. Kalau Aini kebetulan banyak dibantu dengan terapi menulis dan ditambah sering Bapak 'bantai' di kelas editing, tapi teman Aini yang lain selalu salah menyebut nama atau selalu ada ejaan yang salah.

Contohnya, dokter yang menangani anak kami juga seorang disleksik. Setiap kali bertemu atau mengontak beliau, selalu tak luput dari salah eja nama. Sudah puluhan kali dikatakan namanya Akib, nanti akan dipanggil Aqib, Aqil, whatever yang terlintas diingatannya. 😅😅😅😅😅

Aini benar. Ada sebagian dari kita yang mengalami disleksia, susah mengingat kata-kata. Bahkan susah mengingat nama orang. Tapi dengan tekun berlatih, seperti yang @dyslexicmom lakukan selama ini, semoga permasalan ini bisa teratasi. Aktif di FAMe insyaallah bisa menjadi obat mujarab kaum disleksik.