Jodoh memang tidak terduga, ada saja cara mempertemukan dua anak manusia yang membuatnya bersatu. Seperti halnya aku yang menemukan jodoh di forum kepemudaan Aceh Global Helath Youth Forum (AGHYF). Kala itu, aku tidak mengenal dirinya, begitu juga dia. Walau kami duduk di kelompok yang sama dan berasal dari kabupaten yang sama, yaitu Aceh Selatan, tapi baru hari itu aku berjumpa dengannya.
Tidak ada cinta dalam pandangan pertama, aku biasa saja saat melihatnya. Sama halnya saat melihat pemuda lainnya, hanya saja aku sedikit kesal kepadanya karena sikapnya yang terlalu mendominasi di dalam kelompok. Begitu juga dengan baju yang digunakannya berwarna merah, sedangkan orang lain menggunakan baju berwarna hitam.
Memang dia selalu tampil beda dari kebiasaan banyak orang, mungkin itu pula yang membuat rasa sukaku muncul setelah beberapa kali pertemuan usai forum itu.
Entah kenapa, aku pun juga menggunakan pakaian yang berbeda di antara yang lainnya memakai baju berwarna gelap dan soft. Aku malah menggunakan blazer batik ungu dengan jilbab merah jambu, sehingga saat di foto terlihat begitu kontras perbedaan kami berdua. Mungkin inilah pertanda aku dan dia berjodoh.
Tidak banyak pembicaraan di antara kami berdua, hanya sebatas menanyakan asal daerah berasal dari kampung mana di Aceh Selatan. Itu pun ditanya saat perkenalan di dalam kelompok.
"Perkenalkan nama saya Yelli Sustarina, biasa dipanggil Yelli, mahasiswa Fakultas Keperawatan, Unsyiah. Saya berasal dari Aceh Selatan," ujarku di dalam forum saat sesi perkenalan.
"Aceh Selatan di mananya," tanyanya kepadaku secara antusias. Padahal tidak ada sesi tanya jawab dalam perkenalan. Suasana yang tadi hening, tiba-tiba dikagetkan dengan pertanyaanya.
"Kayaknya ada yang mau kunjungan ke rumahnya ne," ujar peserta lain dipenuhi gelak tawa.
"Air Sialang, Samadua, Aceh Selatan," jawabku singkat.
"Bang, bang tanya statusnya, nomor HP nya, nomor sepatunya," timpal yang lain sambil menoleh kepada si dia.
Lelaki berbaju merah itu berhasil mengolok-olok di sesi perkenalanku. Benih benci mulai muncul di kesan pertama saat berjumpa dengannya.
Tiba saatnya dia memperkenalkan diri. Hampir lima menit waktu yang dihabiskan untuk mengenalkan dirinya yang sebenarnya jatah per orang hanya dua menit. Mulai dari namanya, asal kampus, kampung asalnya, alamatnya di Banda Aceh, kegiatannya, dan lain sebagainya.
"Kenapa nggak dikenalin sekalian nomor sempakmu bang," ungkapku dalam hati.
Lelaki yang katanya berasal dari Meukek, Aceh Selatan itu semakin mengesalkan di mataku, apalagi saat diskusi kelompok terlalu banyak ngomong dan mengutarakan pendapat, sampai-sampai aku tidak kebagian berbicara.
Saat dia mengutarakan pendapat, tiba-tiba terlintas dalam pikiranku.
"Bagaimana ya, kalau dia jadi suamiku? Tampangnya sih oke juga, tapi oh, tidak, tidak, tidak. Aku tidak mau lelaki kayak dia, apalagi orang Meukek yang udik. Apa kata keluargaku nanti kalau mempunyai suami yang berasal dari daerah pacah paghang naghi bakiak itu." *1 sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.
Konsentrasiku buyar karenanya. Aku jadi malas aktif terlibat dalam kelompok, bahkan saat diberikan sebuah pekerjaan tim berupa menyusun menara lidi, aku hanya menjadi pengamat saja. Sedangkan dia sibuk dengan beberapa anggota kelompok lainnya menyusun menara tersebut sampai jadi.
"Buat sama kamu itu, kan dirimu pandai," kataku dalam hati sambil tersenyum getir melihat susah payahnya dia menyusun menara.
Peserta AGHYF Oktober 2014 yang terdiri atas 25 pemuda Aceh dari berbagai daerah
Hmmmm, ini toh awal permulaannya. Uniiikkkk klen yell 😂
Hahaha, iya Fit.