Bila disuruh pilih oleh anak-anak antara bermain dan belajar, hampir seratus persen anak memilih bermain. Terutama bagi anak usia prasekolah (3-6 tahun) dan sekolah (6-12 tahun).
Mereka lebih antusias ketika mendengar kata bermain dibandingkan belajar, bahkan ada anak yang tidak menyukai sekolah lantaran disuruh belajar. Apakah anak salah dengan perilakunya ini?
Justru orangtua yang memaksakan anak untuk belajarlah yang harusnya belajar dan mengerti tentang kehidupan anak, bahwasanya bermain adalah pekerjaan anak. Kok, bisa?
Ya, begitulah adanya, karena tumbuh kembang anak pada usia prasekolah dan sekolah membutuhkan bermain untuk menunjang proses tumbuh kembang mereka.
Teori-teori perkembangan kepribadian anak yang dikemukakan oleh pakar psikologi seperti Freud dan Erickson, kemudian Piaget tentang perkembangan mental, Kohlberg perkembangan moral, dan Fowler perkembangan spiritual setuju bahwa bermain dapat meningkatkan perkembangan kepribadian, mental, moral, dan spiritual anak.
Melalui media bermain, anak belajar tentang dunia mereka dalam menghadapi lingkuangan, waktu, ruang, struktur, dan orang di sekitarnya. Mereka juga bisa belajar tentang diri mereka sendiri yang ada di lingkungan tersebut, menghubungkan sesuatu dengan situasi, dan beradaptasi dengan keadaan sosial yang ada di sekelilingnya.
Kenyataannya sekarang, anak terus-terusan disuruh belajar sehingga kebutuhannya untuk bermain pun tidak tercukupi. Mulai pukul 07.00 WIB berangkat ke sekolah untuk belajar, sepulang sekolah anak disuruh untuk ikut les ini dan itu, kemudian pergi belajar mengaji, dan ketika malam pun juga disodorkan dengan pekerjaan rumah (PR) yang membuat anak bertambah stress.
Pola pendidikan kita yang menuntut anak untuk bisa menguasai semua mata pelajaran, membuatnya jenuh untuk belajar. Waktunya untuk bermain pun tidak tercukupi, padahal setiap anak mempunyai keunikan tersendiri. Tidak semua anak mampu menguasai semua mata pelajaran, ada satu mata pelajaran yang menonjol pada dirinya dan itulah yang harusnya terus diasah dan dipelajari.
Pemahaman yang Keliru
Orang tua berfikir dengan anaknya juara 1 maka dia berhasil mendidik anaknya, sehingga yang terjadi sekarang orangtua sibuk mempersiapkan anaknya untuk menjadi yang pertama. Memaksa anak untuk mampu di semua mata pelajaran yang hingga akhirnya, mereka tidak tahu apa yang menjadi spesifik kemampuan anaknya.
Aku sering mendapat keluhan dari murid-muridku di tempatku mengajar mengaji, bahwa mereka terlalu lelah di sekolah. Belajar ini dan itu, menghafal, dan pulang ke rumah pun diberi PR. Sehingga anak terlihat murung dan tanpak bosan ketika disuruh mengaji.
Jadi, akhirnya aku menyuruh mereka untuk melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan, setelah mereka puas baru belajar mengaji Al-Quran. Di antaranya ada yang menggambar, berlari-lari, melompat-lompat, jajan, dan sebagainya. Setelah itu mereka bersemangat kembali menyetor hafalan dan ngaji mereka.
Anak-anak yang ada dikelompokku lebih aktif dan berani dibandingkan dengan anak-anak di kelompok lain. Sangking aktifnya aku pun ditegur oleh direktur TPA karena anak-anakku terlihat sering bermain dibandingan mengaji. Tambahnya lagi anak-anakku tidak mau diajarkan oleh guru lain, selain aku.
Sebenarnya aku mengajar berorentasikan kepada kebutuhan anak. Empat tahun belajar di keperawatan dan memahami berbagai teori tentang tumbuh kembang anak, tentu aku tahu betul bagaimana manfaat bermain itu bagi anak. Sayangnya pendidik sekarang mengabaikan itu karena lebih terfokus untuk mengejar target dan kurikulum.
Bermain dapat meningkatkan perkembangan fisik melalui keterampilan gerakan halus dan kasar. Perkembangan kognitif melalui sentuhan, penglihatan, bau dan rasa. Perkembangan emosional, mengenai salah benar. Perkembangan moral tentang penerimaan mereka terhadap lingkungan sekitarnya.
Sekolah Alam
Menurutku sekolah yang telah memahami konsep bermain sebagai kebutuhan anak adalah sekolah alam. Aku sempat berkunjung ke Sekolah Alam Aceh Islamic Nature School (SAAINS) yang berada di Jl. Kerukunan, Desa Pango Deah, Kec. Ulee Kareng, Banda Aceh.
Kebetulan kepala sekolahnya temanku yang usiannya sebaya denganku, masih sangat mudah untuk usia kepala sekolah. Dia menceritakan bagaimana tantangannya untuk terus berkomitmen melanjutkan sekolah yang konsepnya berbeda dengan sekolah umum lainnya.
Anak-anak di sekolah ini tidak menggunakan seragam sekolah seperti sekolah pada umumnya. Kelasnya pun terbuka, karena mereka lebih sering belajar di alam yang membutuhkan banyak gerakan seperti berlari dan melompat.
Jika pun belajar seperti belajar berhitung. mereka tidak harus duduk dan menghafal, karena mereka dibiarkan menghitung benda-benda yang ada di sekitar mereka. Jika belajar bahasa Inggris, mereka menyebut nama benda-benda yang ada di sekitarnya dengan bahasa Ingrris. Semua itu butuh bergerak karena mereka diminta mengeksplor benda-benda di sekeliling mereka.
Menurut Nora selaku kepala sekolah di sekolah alam, ada anak yang dimasukkan kemari karena di sekolah umum dianggap nakal dan bandel. Dia tidak mau duduk diam di kelas karena selalu saja ingin bermain, tapi setelah dimasukkan kemari dia menemukan tempat yang sesuai dengan keiinginannya. Kata bandel yang disematkan oleh gurunya di sekolah sebelumnya tidak menunjukkan indikasi bahwa anak itu bandel kata Nora.
Menurutku inilah tempat dunia anak, di mana mereka bebas mengkespresikan keinginannya untuk bermain tanpa harus terbebani dengan kata belajar. Padahal di setiap permainan mereka ada banyak pelajaran yang mereka dapatkan, namun mereka tidak menyadari hal ini.
Saat ujian pun mereka merasa enteng-enteng saja karena tidak dibebani dengan belajar secara teks book, tapi belajar di alam. Dengan konsep seperti ini wajarlah anak-anak yang sekolah di sini selalu merindukan sekolah, tidak seperti sekolah pada umumnya yang membuat anak selalu ingin cepat pulang ke rumah.
Semoga kita sebagai orangtua dan calon orangtua, memahami kehidupan anak-anak bahwa yang mereka butuhkan adalah bermain, bukan belajar sebagaimana yang digembor-gemborkan oleh dunia pendidikan kita saat ini.
Nantikan tulisanku berikutnya ya, tentang Apa Pentingnya Bermain Bagi Anak?
"Non scholae, sed vitae discimus..."
Wow sebuah penulisan yang mengajak kita mengetahui sebuah pengorbanan ibu terhadap anak2 nya mantap. Semangat teruslah berkarya kak @yellsaints24
Yups, semoga kita bisa mengerti apa yang dibutuhkan anak.
That's a really good article. HI, I'm new. I hope to be a good friend in the steemit :) I would like to introduce Korean culture, K-Pop, and food etc. Please follow me then I will follow you :)
Hi, welcome to steemit. Nice to visit my blog.
mantap...sebuah tulisan dan pencerahan yang sangat berguna
Terima kasih Pak sudah berkunjung.😊
Sangat bagus artikel anda @yellsaints24. Semua orang terlahir dengan kemampuan yang berbeda dan pendidikan yang tepatlah akan membuat anak tersebut menjadi hebat dikedepannya.
Jika semua orangtua tahu tentang hal ini, tentu banyak anak yg akan menjadi sesuai dengan keinginannya.
Setuju sekali, kadang orang tua menuntut anak bisa membaca atau memahami matematika dengan cepat di usia TK tanpa memperdulikan hak anak untuk bermain
Semoga kita tidak menjadi orang tua seperti itu ya kak.
Saya bangga kepada anda dalam melakukan pendidikan belajar sambil bermain,
Tolong bantu saya dalam bermain steemit.
Tolong follow saya
Bermain steemit memang harus saling membantu memotivasi. Terima kasih sudah datang berkunjung.
Closingnya itu lho Yell, ketika anak merindukan sekolah udah macam dongeng aja ya. Suka sekali dengan tulisan ini.
100% saya dukung pola asuh dan pembelajaran via bermain yang Yelli laksanakan. Tetap semangat Cek Gu.
Hehehe, Alhamdulillah kak, walau ditentang oleh direktur, tapi kami secara sembunyi2 tetap bermain. Kalau ada direktur yang datang meninjau ya, kembali belajar seperti biasa hehehe
Ini beneran loh. Usia anak-anak memang penting bermain, kalau mau belajar pun harus main sambil belajar, bukan di balik.
Anak-anak kalau dipaksakan belajar, bakalan stress sendiri dia. Dulu pas kecil juga ngerasain gitu. Orientasi jadi nilai..sampai takut kalau ga dapat rangking. Hehe
Iya, pendidikan kita sangat menoton karena kita dibentuk untuk menjadi sama semua, padahal setiap orang tentunya berbeda dan mempunyai kemampuan masing-masing.
Semoga kita tidak mendoktrin anak kita seperti pendidikan kita dulu ya kak.
cek gu ya