Agustus, adalah bulan yang identik dengan serba-serbi bertemakan kemerdekaan, karena di bulan ini Bangsa Indonesia pernah melahirkan sebuah negara yang sampai saat ini telah berusia 73 tahun. Berbagai macam perayaan tersaji tidak hanya di pusat kota, bahkan di pelosok-pelosok desa perayaan tak kalah seru dan menarik. Ada juga yang merayakannya diatas ketinggian rata-rata, yang menjadikan puncak ketinggian sebagai refleksi dari sebuah kemerdekaan. Entah, tapi perjalanan saya ke dataran tinggi dieng pada liburan kali ini, saya rasa hanya simbolisasi dari kemerdekaan jiwa. Lalu, kontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia? Hehehe, sepertinya saya belum punya andil apapun untuk kemerdekaan Indonesia, duh, maafkeun.
Meneruskan postingan sebelumnya tentang Gunung Batu, kali ini saya akan mereview perjalanan saya ke dataran tinggi Dieng:
Dieng merupakan sebuah desa wisata yang masuk pada 2 wilayah administratif, yaitu Dieng Kulon, yang berada di kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dengan luas wilayah sekitar 338 Ha, dan Dieng wetan yang berada pada kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo dengan luas sekitar 282 Ha. Jika menilik dari sejarahnya, menurut beberapa informasi, Dieng berasal dari bahasa sanskerta, yaitu _Di _yang berati ketinggian/tempat yang tinggi, dan Hyang yang berati dewa, surga atau kahyangan. Ada lagi yang mengatakan bahwa Dieng berasal dari bahasa Jawa, yaitu: Adi yang berati bagus, dan Aeng yang berati unik atau lucu. Entah mana yang paling benar, tapi jika melihat dari konstruksi wilayah Dieng, maka tak ada yang salah dari pengertian diatas, karna Dieng yang disebut-sebut sebagai negeri atas awan, diibaratkan sebagai negerinya para dewa, yang menyimpan sejuta keindahan dari alamnya, juga misterinya yang unik dan sangat direkomendasikan untuk dikunjungi dan digali potensi sejarahnya. Mengapa Dieng lebih terkenal sebagai negeri atas awan? Hal itu karena, hampir seluruh dataran tinggi di dieng mencapai ketinggian 2000 mdpl, selain itu, Dieng merupakan dataran tinggi terluas di dunia setelah Nepal. Keren ya? Masih belum tertarik buat kesini?
Perjalanan menuju destinasi wisata di Dieng dan sekitarnya, saya mulai dari sepulang kerja pada pukul 17.30 hari Kamis, perjalanan dimulai dengan rombongan yang terdiri 7 orang; 2 orang dari Bogor, 2 orang dari Pontianak, dan 2 orang lainnya rekan kerja satu kantor. Dari aJkarta, kami menuju ke Bogor untuk menjemput seorang teman. Dari Bogor menuju Dieng kami memulai perjalanan dari jam 22.18, karena disepanjang perjalanan saya lebih banyak tidurnya, jadi langsung saja lompat cerita hingga pada akhirnya kami sampai di kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara pada pukul 13.00, kami langsung disambut, dipeluk, di cumbui oleh nikmatnya udara dingin yang menusuk di daerah tersebut, mata kami juga di manjakan dengan tanaman khas dataran tinggi; kol, kentang, wortel, daun bawang, dan masih banyak lainnya. Indah! Indah! Pokoknya indah! Hehe. Bagaimana tidak indah, setelah beberapa lama berkutat di Jakarta yang sesak polusi dan penuh bangunan-bangunan tinggi, sekarang Tuhan mengijinkan kami berada pada tempat yang sangat bertolak belakang.
Kami memilih perjalanan di bulan Agustus, karena pada bulan Juli-Agustus suhu udara di Dieng bisa mencapai 0°celcius bahkan pagi hari bisa mencapai -4°celcius. Tak heran jika embun pagi di beberapa tempat di dataran tinggi Dieng dan sekitarnya bisa membeku, fenomena langka yang mungkin terjadi hanya satu tahun sekali, yaitu saat musim kemarau yang biasa disebut sebagai Bun Upas, atau para petani menamakannya sebagai embun racun, hal itu karena embun yang membeku ini sangat mematikan tumbuh-tumbuhan, seperti beberapa lahan pertanian kentang yang kami lihat, banyak daunnya berubah warna menjadi kecoklatan, dan mati, karena bun upas itu sendiri. Namun disisi lain, bun upas juga mampu meningkatkan persentase wisatawan yang datang karena rasa penasaran terhadap fenomena alam yang belakangan ini gencar di publikasikan di medsos.
Sesampainya di Dieng, kami langsung mencari homestay untuk penginapan kami bertujuh, beberapa homestay yang kami kunjungi telah penuh, karena kami tidak memesan jauh-jauh hari. Akhirnya setelah beberapa kali ditolak penjaga homestay karena kamarnya yang telah penuh, sampailah kami pada sebuah penginapan sederhana yang masih memiliki beberapa kamar kosong, kami memesan 3 kamar untuk 7 orang. Selain dinginnya udara yang serasa menampar wajah kami keras-keras, dinding-dinding rumah penginapan juga berasa seperti balok-balok es. Bahkan setelah kami memasuki kamar masing-masing, selimut yang sangat tebal juga masih tak mampu menghalangi kami dari dinginnya udara di dataran tinggi dieng. Waktu itu suhu di dieng sedang berada pada 18°celcius. Siang hari lho. Nggak usah dibayangin, betapa kuatnya orang-orang yang tinggal di wilayah dieng dan sekitarnya.
Selepas ashar, setelah kami membersihkan diri dengan air hangat yang tersedia di penginapan, kami memutuskan untuk mulai mengeksplor tempat wisata, tempat yang pertama kali kami kunjungi adalah kompleks percandian arjuna, karna lokasi yang dekat dengan penginapan, kompleks ini masuk pada wilayah Batur-Banjarnegara. Pada kompleks percandian ini, selain terdapat candi arjuna terdapat pula beberapa candi, yaitu; candi semar, candi skrikandi, candi puntadewa, dan candi sembadra. Nama-nama candinya mirip dengan tokoh pewayangan ya? Hehe.
Karena kompleks candi tutup pukul 17.00 maka setelah puas mendokumentasikan perjalanan dikompleks candi, kami memutuskan untuk keluar dan menikmati minuman khas dieng yang banyak di jual di warung-warung didepan kompleks wisata candi arjuna. Adalah purwaceng, minuman penghangat badan dan sejuta manfaat lainnya, yang juga terkenal dengan ehm... obat vitalitas, menurut beberapa sumber. Tapi memang setelah meminum purwaceng yang diseduh dengan campuran susu, badan kami berasa hangat dan nyaman. Setelah itu, kami genen atau mendekatkan diri disekitar perapian yang disediakan untuk menghilangkan sedikit rasa dingin yang kami rasakan.
Selain purwaceng, kudapan khas daerah Dieng adalah carica, dengan bahan dasar buah carica yang mirip dengan buah pepaya tapi bentuknya lebih kecil, disini biasanya diolah menjadi manisan carica, dengan teksturnya yang kenyal dan manis, dikemas sedemikian rupa hingga banyak wisatawan yang tertarik dan mudah membawanya sebagai buah tangan. Ada yang belum pernah mencoba manisan carica? Cobain deh sesekali, manis, segar dan kenyal. Apalagi disajikan dalam keadaan dingin. Dijamin ketagihan. Hehe.
Malam harinya kami mencicipi makanan khas wonosobo yaitu mie ongklok dan tempe kemul, menurut saya pribadi, ada yang kurang jika mengunjungi wonosobo tapi tidak mencicipi mie ongklok dan tempe kemulnya yang gurih, renyah dan bikin ketagihan. Mueheh, beneran enak, sampai-sampai sekali duduk tak sadar saya sudah menghabiskan 4 buah tempe kemul, drasanya bikin nagih!
Karena sudah gelap, kami pulang menuju penginapan, di depan rumah, pemilik penginapan menyambut kami dengan perapian yang terbuat dari arang, tepat di depan rumah, kami ditawari untuk ikut bergabung menghangatkan diri. Selain baik, warga masyarakat disini juga terkenal dengan keramahannya yang aduhai, susah di ungkapkan. Berbeda jauh dengan masyarakat perkotaan yang lebih terkesan apatis.
Beberapa saat setelah ikut menghangatkan diri di depan perapian, kami bertiga (cewek-cewek) pamit untuk beristirahat di kamar, dikamar kami susah memejamkan mata karena suhunya yang ektrim, malam hari itu suhu udara sudah turun menjadi 12°celcius. Saya lalu berinisiatif untuk menempelkan salonpas di hidung agar tidak meler cairan ingus yang berasa seperti mau terjun bebas dari kedalaman hidung. Hehe.
Paginya, tepat pukul 4.00 pagi dengan suhu yang menunjukkan pada angka 6°celcius, kami bertujuh menuju ke destinasi wisata di desa Sembungan, pemilik golden sunrise terbaik di Asia Tenggara (kabarnya begitu), yaitu Sikunir, dengan ketinggian lebih dari 2300 mdpl; tepatnya saya lupa. Sesak, penuh sesak, jalan menuju Sikunir seperti pasar, mau naik aja pake ngantri segala, haha. Mungkin karena bertepatan dengan libur nasional, mudahnya akses menuju Sikunir dan godaan akan kabar tentang golden sunrisenya, jadi banyak wisatawan yang tertarik “mencoba” Sikunir.
Pengorbanan lelah, dan dingin yang telah kami lalui sejak perjalanan dari Jakarta berasa hilang setelah berada diatas, walaupun diatas juga penuh sesak dengan manusia-manusia pemburu sunrise, tapi tetap saja, puncak adalah sebuah kemerdekaan diri bagi orang-orang seperti kami, entah merdeka atas apa, pokoknya merdeka saja, sudah. Jangan tanya kenapa. Hehe. Bonus pemandangan yang menakjubkan menjadikan kami selalu mensyukuri nikmat Tuhan yang begitu luas. Begitu indah.
Setelah puas menikmati sunrise beserta arunikanya, juga dengan dokumentasi yang tak pernah absen, kami memutuskan untuk turun pukul 07.25, karena kami masih memiliki destinasi wisata yang masuk dalam list perjalanan kami. Dalam perjalanan turun, kami mendapati beberapa perkemahan yang didirikan di samping danau cebong (kaki bukit Sikunir), dulu; sempat pada tahun 2015 saya mendirikan tenda di samping danau cebong, dinginnya ekstrem, sampai tidak bisa tidur semalaman, karena hal itu juga kemarin kami tidak membawa perlengkapan camping, dan lebih memilih untuk menginap di penginapan untuk mengurangi resiko terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, seperti penyakit khas gunung; hipotermia, atau kram yang berlebihan, karena beberapa dari kami belum pernah mendaki, jadi kami “cari aman” saja.
Destinasi selanjutnya yang kami kunjungi adalah Telaga warna, konon, telaga ini memiliki beberapa warna pada airnya, ada beberapa cerita yang berkembang di masyarakat, mungkin suatu saat saya ceritakan di postingan lain karena postingan ini sudah terlalu panjang dan gak jelas. Namun saat ini warna air dari telaga warna ini hanya memiliki 3 warna, hijau, putih dan biru. Itu saja kemarin kami kesana telaga sedang surut karena musim kemarau. View yang kami dapat kurang bagus, dari awal perjalanan yang niatnya mau kami lanjutkan ke telaga pengilon yang berada tepat di samping telaga warna, jadi kami gagalkan karena kami kira mungkin _view_nya akan kurang bagus karena surutnya air di dalam telaga. Ah iya, di atas telaga warna juga ada flying fox nya lho. Sedikit memacu andrenalin bagi anda yang menyukai ketinggian. Wajib dicoba kalau sampai sini yaa.
Destinasi terakhir sebelum benar-benar pulang karena waktu yang sudah mepet, adalah Kawah sikidang, kawah yang memiliki nama sesuai dengan aktivitas kawah yang suka berpindah-pindah tempat. Nah, didaerah kawah sikidang ini, terdapat tempat untuk merebus telur di kawah, kalian, ada yang pernah mencoba telur rebus kawah? Kalau belum, cobain deh sesekali. Mungkin rasanya tetap saja telur, tapi prosesnya yang berbeda, akan membuat sensasi makannya lebih “greget”.
Karena waktu kami yang sedikit, maka untuk objek wisata lain seperti; kompleks batu ratapan angin yang dari atas kita bisa melihat pemandangan telaga warna dan telaga pengilon dengan bagus, lalu petak sembilan, sumur jalatunda, kawah-kawah yang lain dan candi-candi yang lain, juga berbagai macam objek wisata di dieng dan sekitarnya belum sempat kami jelajahi satu persatu, semoga suatu saat kelak Tuhan mengijinkan saya untuk kembali menjelajahi pesona Negeri atas awan, lagi.
Peluk hangat dari saya;
Dieng terbaiiik
Posted using Partiko iOS
Iyah mbak...
Pernah mengunjungi Dieng kah?
Jadi pengen lihat langsung Telaga warna-nya. Baguss ya...😍
Ayuk mbak, sesekali; main-main ke Dieng. :)
Pernah ke jogja tp ga sampai ke dieng. 🤦🏾♂️ nyesaaal.
Posted using Partiko iOS
Besok realisasikan buat ke dieng ya kak. 😍
🖤🖤🖤
Posted using Partiko iOS
Selalu mau kesini.
Apa daya masih ada Balita.
Nunggu besaran dulu supaya enjoy menyusuri Dieng...
Idem mbak 😅✌️
Nunggu gede dulu ya mbaaak. Nanti diajak main-main sama tante yuli. 🤣😅
Congratulations @yul14stuti! You have completed the following achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of upvotes received
Click on the badge to view your Board of Honor.
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
To support your work, I also upvoted your post!
Do not miss the last post from @steemitboard:
SteemitBoard and the Veterans on Steemit - The First Community Badge.
Thanks!. 😊