AQIDAH SEBAGAI PENANGKAL RADIKALISME

in #indonesia6 years ago (edited)

PhotoGridLite_1534237295808.jpg

Kajian ini membahas tentang aqidah sebagai penangkal radikalisme. Aqidah adalah perisai utama yang harus dimiliki oleh setiap manusia, dan merupakan kepercayaan, keyakinan, yang tercantum dalam rukun iman . Aqidah merupakan dasar yang mempengaruhi keimanan dan kekuatan hati sesorang karena menyangkut kepada kepercaan. Kemantapan aqidah yang benar dan Pemahaman agama yang baik sejatinya harus melekat didalam diri setiap umat islam untuk membendung segala pemikiran yang dapat mempengaruhi keyakinan.

Aqidah merupakan suatu keyakinan hidup yang dimiliki oleh manusia. Keyakinan hidup ini diperlukan manusia sebagai pedoman hidup untuk mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk alam. Pedoman hidup ini dijadikan pula sebagai pondasi dari seluruh kenyataan yang ada pada kehidupan manusia.

Pada dasarnya aqidah yang kuat akan membentengi diri seseorang dari semua pengaruh, seperti fakta yang sudah banyak terjadi di era modern ini, banyaknya muncul isu radikalisme. Radikalisme merupakan aliran yang memaksakan kehendaknya dengan cara apapun untuk menuju perubahan yang menurut versi mereka itu baik. Aqidah mempunyai peran yang sangat penting yang harus diperhatikan, karena apabila aqidah (dasar keimanan) tidak dimiliki dan tidak secara sempurna maka radikalisme akan mudah masuk, faktor penyebabnya adalah kurangnya pemahaman beragama yang baik sehingga akidah sangat mudah dipengaruhi.

Sejauh ini, kajian radikalisme telah dilakukan oleh beberapa sarjana yaitu Emna Laisa yang mengupas tentang Islam dan radikalisme. Selain itu kajian lain juga dikupas oleh Inayatul Ulya yang berjudul Radikalisme Atas nama Agama , disamping itu shobirin mengkaji juga yang berjudul interpretasi paham radikalisme Terhadap hukum islam berkaitan dengan itu M. Saekan Muchith yang mengkaji tentang Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan dan juga Dede rodin yang mengkaji tentang Islam Dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat “Kekerasan” dalam al-Qur’an .

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Radikalisme merupakan paham atau ideologi yang menghendaki adanya sistem sosial dan politik dengan cara kekerasan serta perubahan besar untuk mencapai taraf kemajuan, yang bersifat memaksa dan tajam tanpa menghiraukan hak-hak orang lain. memperjuangkan hak sendiri dengan mengabaikan hak orang lain merupakan tindakan yang tidak manusiawi. Kurangnya pemahaman tentang aqidah dan keagamaan yang baik disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya radikalisme.

Selanjutnya, setelah pendahuluan, kajian ini akan membahas tentang aqidah sebagai penangkal radikalisme. yang dimana salah satu cara yang ditawarkan agar terhindar dari radikalisme dan membendung radikalisme berawal dari keteguhan aqidah dan iman yang kuat , pemahaman yang baik secara emosional akan mengakibatkan sesorang dapat hidup dengan aman. seseorang difasilitasi untuk dapat mengoptimalkan potensi keteguhan akidah yang dimiliki dengan berbagai kenyamanan yang menumbuhkan kebahagiaan yang hakiki dalam hidupnya.

Salah satu upaya yang harus dilakukan ialah memperkuat akidah dan keimanan serta ilmu agama yang kuat. Setelah itu akan diuraikan penyebab radikalisme, yang kebanyakan orang hanya terobsesi bahkan banyak yang tidak memahami apa yang sebenarnya diperintahkan oleh agama sehingga cara kekerasanpun dianggap kebaikan ,yang dijadikan sebagai pengabdian kepada agama (JIHAD), disamping itu akan diuraikan pula penyebab radikalisme menurut beberapa pendapat yang sebagian merujuk kepada pendapat sarjana yang telah membahas tentang radikalisme.

Adapun bagian berikutnya adalah membedah fungsi akidah untuk melihat apa saja pengaruh yang signifikan dari Akidah untuk membendung radikalisme, Beberapa hal yang menjadi temuan dalam kajian ini akan disajikan pada bagian kesimpulan.

Definisi Aqidah
Didalam istilah umum “Aqidah” dipakai untuk menyebut keputusan pikiran yang mantap, benar maupun salah. Jika keputusan pikiran yang mantap itu benar, maka itulah yang disebut aqidah yang benar, seperti keyakinan umat Islam tentang ke-Esa-an Allah. Dan jika salah, maka itulah yang disebut aqidah yang batil, seperti keyakinan umat Nashrani bahwa Allah adalah salah satu dari tiga tuhan (trinitas).

Sebagaimana yang dituliskan M. Amin Sihabuddin didalam tulisannya menyebutkan bahwa ”Al-Aqidah secara bahasa adalah bentuk tunggal (mufrad), sedangkan bentuk jamaknya aqa’id berarti kepercayaan, keyakinan. Sayid Sabiq dalam pemahamannya menyamakan aqidah dengan iman, lebih lanjut dia menjelaskan.

”Pengertian keimanan atau aqidah itu tersusun dari enam perkara yaitu; ( 1). Ma’rifat kepada Allah; (2). Ma’rifat dengan alam yang ada dibalik alam semesta (Malaikat); (3). Ma’rifat kepada Kitab-kitab Allah; (4). Ma’rifat dengan Nabi-nabi serta Rasul-rasul Allah; (5) .Ma’rifat dengan Hari-hari akhir dan pristiwa-peristiwa terjadi disaat itu;(6). Ma’rifat kepada takdir ( qadha dan qadar)”.

Definisi ini secara nash agama atau dalil naqli termuat pada hadits Rasulullah saw. riwayat Imam Muslim, artinya.”Hendaklah engkau beriman kepada Allah. Malaikat-malaikay-Nya, Kitab-kitab-Nya,Rasul-rasulNya, hari akhir, dan beriman pula pada qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk” (HR. Muslim). aqa’id juga merupakan ”Perkara-perkara yang hati anda membenarkannya, jiwa anda menjadi tenteram karenanya, dan ia menjadikan rasa yakin pada diri anda tanpa tercampur oleh keraguan dan kebimbangan”.

Dari paparan tersebut tampak bahwa aqidah adalah kepercayaan yang mantap dan keputusan tegas yang tidak bisa dihinggapi kebimbangan sesungguhnya demikian itu adalah apa-apa yang dipercayai oleh seseorang, diikat kuat oleh sanubarinya, dan dijadikannya sebagai madzhab atau agama yang dianutnya, tanpa melihat benar atau tidaknya.

Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan “Dia mempunyai aqidah yang benar” berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya.

Aqidah secara syara’ yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, Para RasulNya dan kepada hari akhir serta kepada qadar yang baik mupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman. Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (بِقُوَّةٍ الرَّبْطُ) yang berarti mengikat dengan kuat.

Sedangkan menurut istilah (terminologi), akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, aqidah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepadaNya, beriman kepada para malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari para ulama , serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ para ulama.

Allah SWT Berfirman dalam surat Yunus Ayat 3, yang berbunyi :
Artinya : “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. yunus : 3).

●Aqidah Islamiyyah
Aqidah Islamiyyah adalah aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat, Tabi’in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sinonimnya aqidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di antaranya, at-Tauhid, as-Sunnah, Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari’iah dan al-Iman. Nama-nama itulah yang terkenal menurut Ahli Sunnah dalam ilmu ‘aqidah. Aqidah merupakan suatu keyakinan hidup yang dimiliki oleh manusia. Keyakinan hidup ini diperlukan manusia sebagai pedoman hidup untuk mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk alam. Pedoman hidup ini dijadikan pula sebagai pondasi dari seluruh bangunan aktifitas manusia.

Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah ayat : 186
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

■Pembagian Akidah Tauhid
Walaupun masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf Shalih yang mereka itu senantiasa menempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha’ dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:

  1. Tauhid Al-Uluhiyyah
    (al-Fatihah ayat 4 dan an-Nas ayat 3) mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.

  2. Tauhid Ar-Rububiyyah
    (al-Fatihah ayat 2, dan an-Nas ayat 1) mengesakan Allah dalam perbuatanNya, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.

  3. Tauhid Al-Asma’ was-Sifat,
    mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya, artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah, dalam dzat, asma maupun sifat. Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmadberkata: “Qadar adalah kekuasaan Allah”. Karena, tak syak lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh.

Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.

Tauhid itu ada tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah semata.

=> Firman Allah pada surat Yusuf ayat 40.
Artinya: “Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama- nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S.Yusuf: 40).

*Dapat ditarik kesimpulan bahwa aqidah merupakan shahadah (kesaksian) yang diikrarkan oleh lidah, dan dibenarkan oleh hati bahwa Allah itu satu tidak ada sekutu baginya, sebagaimana Hasan al-Banna ( 1998 : 213) mendifinisan aqa’id, yaitu.”Perkara-perkara yang hati anda membenarkannya, jiwa anda menjadi tenteram karenanya, dan ia menjadikan rasa yakin pada diri anda tanpa tercampur oleh keraguan dan kebimbangan”. *

◇Penyebab Radikalisme
Secara sederhana “Radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan orang kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan” . Radikalisme akan mudah timbul apabila salah dalam memahaminya dan salah dalam pengaplikasian didalam kehidupan sehari-hari.

Kata radikalisme ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix yang artinya akar (pohon). Bahkan anak-anak sekolah menengah lanjutan pun sudah mengetahuinya dalam pelajaran biologi. Makna kata tersebut, dapat diperluas kembali, berarti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan ketenteraman, dan makna-makna lainnya.
Kata ini dapat dikembangkan menjadi kata radikal, yang berarti lebih adjektif. Hingga dapat dipahami secara kilat, bahwa orang yang berpikir radikal pasti memiliki pemahaman secara lebih detail dan mendalam, layaknya akar tadi, serta keteguhan dalam mempertahankan kepercayaannya.

Memang terkesan tidak umum, hal inilah yang menimbulkan kesan menyimpang di masyarakat. Setelah itu, penambahan sufiksisme sendiri memberikan makna tentang pandangan hidup (paradigma), sebuah faham, dan keyakinan atau ajaran. Penggunaannya juga sering disambungkan dengan suatu aliran atau kepercayaan tertentu.

Namun demikian, dalam perkembangannya pemahaman terhadap radikalisme itu sendiri mengalami pemelencengan makna, karena minimnya sudut pandang yang digunakan, masyarakat umum hanya menyoroti apa yang kelompok-kelompok radikal lakukan (dalam hal ini praktek kekerasan), dan tidak pernah berusaha mencari apa yang sebenarnya mereka cari (perbaikan). Hal serupapun dilakukan oleh pihak pemerintah, hingga praktis pendiskriminasian terhadap paham yang satu ini tak dapat dielakkan.

Minimnya sudut pandang yang digunakan serta melencengnya makna radikalisme menyebabkan didalam dunia radikalisme peristilahan kata irhab “teroris” dan jihād “jihad” lazim digunakan.pada hakikatntya Jihad merupakan salah satu ajaran Islam, dan akibat sudut pandang yang minim jihadpun selalu menjadi sorotan dari berbagai golongan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai persepsi yang ada tentang jihad. jihad harus dilakukan dengan kekerasan, pemaksaan, dan perang. Istilah tersebut sering dipahami sebagai perang suci. Pemahaman tersebut muncul dari para ilmuan Muslim dan non Muslim, terutama dari kalangan pengamat Barat, yang memahami jihad sebagai tindakan pemaksaan dan penyerangan kepada orang lain agar masuk Islam.

Dalam konteks ini, Islam dipahami sebagai agama yang disebarkan melalui perang dan pertumpahan darah. Salah Pemahaman terhadap makna-makna yang ada dalam peristilahan radikalisme penting, karena kesalahan terhadap makna mengakibatkan perubahan atau membentuk sebuah sikap dan akan mempengaruhi orang-orang yang memang awam dalam hal ini.

Besarnya pengaruh bahasa terhadap sikap ini sudah menjadi salah satu kajian penting dalam antropolinguistik. Salah satu hipotesa yang terkenal dalam hal ini adalah adalah hipotesa yang mengemukakan bahwa, bahasa suatu kaum atau kelompok berfungsi untuk membentuk persepsi, pikiran, dan pada akhirnya cara seseorang melakukan sesuatu. jihad juga seringkali dipahami tidak sebagaimana mestinya. Kondisi ini dipicu oleh beberapa sebab, salah satunya interpretasi yang salah terhadap makna jihad, baik yang dipahami oleh beberapa Kaum Muslim atau non-Muslim.

Dengan kata lain, jihad dijadikan sebagai ideologi gerakan radikalisme. Atas nama jihad, seseorang dibenarkan melakukan aksi radikal. Inilah yang terjadi di hampir semua gerakan radikal Islam. Jihad menjadi ideologi dan instrumen yang menggerakan untuk melakukan aksi radikal demi mengubah tatanan yang sekuler menjadi tatanan yang islami.

Ironis sekali jika kita termasuk orang yang seperti ini, aqidah yang kurang dan pemahaman yang lemah terhadap agama menjadikan sesuatu yang harusnya menjadi kebaikan dan menjadi amal shaleh oleh kebodohan dijadikan sebagai alat dari kejahatan. Ini dipicu oleh beberapa sebab, salah satunya interpretasi yang salah terhadap makna jihad, baik yang dipahami oleh beberapa Kaum Muslim atau non-Muslim.

Terjadinya kesalah pahaman kaum radikalisme terhadap hukum Islam sehingga melahirkan sikap radikal dan terorisme. Karena, semangat tinggi untuk memperjuangkan Islam, tetapi kurang pertimbangan, sebab kurangnya ilmu pengetahuan tentang hukum Islam, pemahaman terhadap al-Qur’an dan hadis sepotong-potong, tidak komprehensif (tidak menyeluruh) dan jauh dari bimbingan para ulama yang mumpuni dalam pengetahuan Agama Islam.

Dengan demikian untuk mencegah terjadinya radikalisme agama dengan model kekerasan, perlu upaya: menyebar luaskan ajaran Islam yang benar dan konprehensif, khususnya mengenai hal hal yang sering disalah-pahami dan menimbulkan sikap radikal seperti tentang masalah hukum (merubah kemunkaran), tentang masalah hukum jihad fi sabilillah, dan tentang masalah hukum negara Republik Indonesia (bukan negara Islam), melakukan pendekatan rohani kepada generasi muda dan memberikan bimbingan keagamaan, sekaligus mengawasi mereka dari pihak pihak yang akan menyesatkan mereka, khususnya pendekatan oleh para kiyai atau pendidik dan harus dilakukan kordinasi dengan berbagai pihak yang terkait.

Berbicara tentang radikalisme, lebih-lebih fundamentalisme, tak mungkin menafikan adanya aksi-aksi yang memang berasaskan kekerasan, pemakasaan, bahkan pembinasaan. Salah satu contohnya adalah Pemboman-pemboman yang dilakukan di Paris oleh kelompok-kelompok Islam Aljazair seperti pegawai islam bersenjata telah memperburuk ketegangan-ketegangan di Prancis dan menambah jumlah dukungan untuk mereka yang mempersoalkan apakah islam sesuai dengan budaya Prancis, entah itu budaya yahudi-kristen atau budaya sekuler, dan apabila muslim dapat menjadi warga negara Prancis yang sejati dan loyal. Penasehat menteri dalam negeri tentang imigrasi mengingatkan, “Sekarang ini, memang benar-benar terdapat ancaman Islam di Prancis itu adalah bagian dari gelombang besar fundamentalisme muslim dunia.

Di tengah-tengah perdebatan Prancis terhadap suatu kecenderungan untuk melihat islam sebagai agama asing, menempatkannya sebagai agama yang bertolak belakang dengan tradisi Yahudi-Kristen. Sementara banyak orang menekankan proses asimilasi yang menyisakan hanya sedikit ruang untuk pendekatan multikultural, sebagian yang lain berpendapat bahwa muslim harus diizinkan untuk mengembangkan identitas muslim Prancis yang khas yang mencampur antara nilai-nilai asli kePrancis-an, dengan akidah dan nilai-nilai islam.

Realita lain yang dikenal sebagai awal berkibarnya bendera perang terhadap terorisme oleh AS, yaitu peristiwa 11 September yang merontokkan Gedung WTC dan Pentagon merupakan tamparan berat buat AS. Maka, agar tidak kehilangan muka di dunia internasional, rezim ini segera melancarkan “aksi balasan” dengan menjadikan Afghanistan dan Irak sebagai sasarannya (maaf, kambing hitamnya).
Jika benar “benturan peradaban” antara Barat dan Islam terjadi tentu aksi koboi AS (dan Inggris) ke Afghanistan dan Irak disambut gembira oleh umat Kristiani. Faktanya ribuan rakyat (entah Kristen atau bukan) di berbagai belahan dunia Barat justru menggalang solidaritas sosial untuk menentang aksi keji dan biadab ini. Begitu ketika WTC dan Pentagon diledakkan, ribuan umat islam turut mengutuknya. Meskipun reaksi di beberapa negara Amerika Latin banyak yang tidak simpati terhadap peristiwa 11 September itu.
Sebab, selama berpuluh-puluh tahun, rakyat di sana tidak pernah menikmati kemajuan sekalipun sumber daya alam mereka yang sudah habis dikuras. China juga bersikap kurang lebih sama dengan Amerika Latin ini. Pasalnya mereka justru menganggap adalah AS sendiri yang bersikap hostile karena surplus perdagangan bilateral memang berada di pihak China. Akhirnya China, oleh AS, justru dianggap sebagai pesaing strategis ketimbang mitra strategis dalam ekonomi.

Kita tahu bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang pluralis bukan hanya dari segi agama semata namun dari adat istiadat, suku bangsa, ras bahkan budaya. Sebagai konsekuensi dari penerimaannya terhadap agama-agama yang beragam, bangsa Indonesia, sesekali harus menghadapi perselisihan, Karenanya mereka dituntut untuk terus menerus mencari upaya dalam menciptakan kerukunan dan harmoni yang menjadi syarat persatuan bangsa. Kita dapat menilai bahwa sesungguhnya masalah-masalah yang menyangkut hubungan antar umat beragama bukan problem yang terjadi dengan sendirinya tetapi erat juga kaitannya dengan kondisi politik, sosial dan ekonomi.

Di Indonesia perbedaan agama merupakan salah satu keragaman bangsa. peperangan dan kekerasan dalam agama selalu bermula dari faktor keimananan manusia , Karena agama memiliki nilai-nilai yang sakral, maka agama dapat menguasai kesadaran dan emosi para pemeluknya yang jika terusik maka akan melahirkan konflik yang jika tidak cepat diatasi maka akan menimbulkan tindakan-tindakan radikalisme.

Pemerintah di tuntut bersikap netral dalam arti tidak memihak agama manapun. Oleh sebab itu, perlu secara berkala mengadakan dialog dan musyawarah antarumat beragama, menetapkan peraturan-peraturan tentang hubungan antarumat beragama serta yang terpenting sebenarnya adalah dengan memahami teks-teks agama bukan hanya interpretasi secara tekstual saja tetapi diperlukan juga interpretasi kontekstual. Paham radikalisme merupakan akar dari ketidak rukunan antar umat beragama.
Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian. Sementara yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.
Islam tidak pernah membenarkan praktik penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan, serta paham politik. Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam.

Diatas telah disinggung bahwa sesungguhnya masalah-masalah yang menyangkut hubungan antar umat beragama contohnya radikalisme, bukan problem yang terjadi dengan sendirinya tetapi erat juga kaitannya dengan kondisi politik, sosial dan ekonomi.

Berbicara tentang munculnya radikalisme beberapa sarjana yang telah mengupas masalah ini menyatakan bahwa”Radikalisme yang merupakan akar dari tindakan-tindakana terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Realitas terbukti berhasil mencitrakan Islam sebagai agama teror. Ironisnya, banyak stigma yang berhamburan menyimpulkan bahwa ajaran Islam dianggap melegitimasi aksi-aksi kekerasan dan terorisme sebagai jalan dakwahnya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang muslim sangat membebani psikologis umat Islam.
Fenomena ini sangat mudah terjadi disebabkan aksi kekerasan dan agama merupakan suatu entitas yang mempunyai hubungan teramat dekat”. Setelah itu Fauzi Nurdin menegaskan bahwa “radikalisme menjadi tidak sesuai dengan ajaran Islam karena cara yang digunakan biasanya bersifat revolusioner, dalam arti menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan dan memaksa kehendak secara sepihak dengan diikuti aksi-aksi yang ekstrim”. Masih banyak yang belum teruraikan.

Penyebab radikalisme juga terjadi karena teks-teks al-Qur’an seringkali dipakai untuk melegitimasi kekerasan atas nama agama. Fakta ini sangat memprihatinkan karena telah keluar jauh dari tujuan diturunkannya al-Qur’an yakni untuk menciptakan tata sosial yang adil dan damai di muka bumi. Pada dasarnya penerapan sikap anarkis seperti bom bunuh diri dan lain sebagainya jika diaplikasikan pada daerah konflik ini menjadi sebuah pengecualian.
Namun ada beberapa pihak melakukan tindakan tersebut di luar konflik serta mengatasnamakan agama untuk menghalalkan segala hajatnya tersebut. Melihat realitas yang ada, banyak umat muslim yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān hanya dengan cara tekstual, seakan meniadakan konteks yang terjadi pada saat ini. Meskipun pemahaman secara tekstual itu bisa saja digunakan, namun kadang kala cara tersebut mampu melahirkan perilaku yang anarkis jika hanya memahami tanpa konteks ayat itu turun.

Di antara sifat yang menimbulkan perilaku anarkis adalah anti keragaman. Salah satu ayat al-Qur’ān yang menjadi inspirasi menolak adanya keragaman adalah QS. al-Taubah (9) : 5 dan 29.
Artinya : “Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang
musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah mereka di setiap tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Taubah [9]: 5)

Dan juga pada ayat .” (QS. al-Taubah [9]: 29)
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk”
Kedua ayat tersebut di atas merupakan salah dua ayat yang dijadikan oleh orang-orang radikal ayat ayat tersebut dipotong-potong sesuai dengan keinginan mereka, misalnya oleh Imam Samudra sehingga membuat ayat tersebut menjadi tidak sempurna lagi. Pemahaman kurang sempurna terhadap ayat-ayat al-Qur’an termasuk ayat ini merupakan salah satu problematika umat Islam. Mereka memahami nas al-Qur’ān dengan cara literal dan tidak melihat konteks sosial yang tertimbun dalam nash secara menyeluruh, hanya dipahami sepotong-potong sesuai dengan kehendak mereka.

Oleh sebab itu, gagasan tentang pentingnya mengenal lebih dalam soal penafsiran al- Qur’ān terkait ayat-ayat yang terkesan radikal menjadi sangat penting, agar seseorang tidak terdorong melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Sebab bagaimanapun produk tafsir ikut berperan dalam memberikan warna pemahaman Islam kepada masyarakat. Jika mereka lebih dikenalkan model pemahaman Islam yang radikal dan tidak toleran, niscaya mereka tumbuh menjadi muslim/muslimah yang radikal dan tidak toleran. Sebaliknya jika kita lebih banyak memperkenalkan nilai-nilai Islam yang moderat dan toleran berbasis pada nilai al- Qur’an yang rahmatan lil’alamin diharapkan kelak mereka menjadi muslim dan muslimah yang toleran di tengah masyarakat multikultur dan tetap committed terhadap ajaran Islam.

Kekerasan yang terjadi di Indonesia dalam bentuk pemboman seperti tragedi yang terjadi di Bali, Hotel Marriot Jakarta menyulitkan Indonesia untuk menolak atau setidaknya berapologi bahwa Indonesia steril dari tindakan terorisme.

Selama ini terorisme sering diidentikkan dan dilekatkan pada penganut fundamentalisme yang kemudian disebut sebagai anak kandungnya agama Islam. Artinya, agama Islam diposisikan sebagai terdakwa yang ajarannya membenarkan tindakan kekerasan sebagai tajuk perjuangan.

Dari semua pembahasan dan fenomena diatas dapat dipahami penyebab radikalisme adalah tidak lain yaitu kurangnya rasa keimanan, tidak memahami dengan baik apa yang sebenarnya diperintahkan dan dilarang oleh agama, kurangnya ilmu agama juga sangat menjadi faktor yang paling kuat yang menjadikan seseorang menjadi radikal, karena jihad yang pada awalnya suatu anjuran agama dan merupakan kebaikan yang dengannya kita masuk syurga dijadikan aksi yang dengannya mereka bisa nestapa, yang melibatkan agama sumber dari kekacauan itu.

FUNGSI AQIDAH
Sebagaimana yang sudah diuraikan diatas, Aqidah merupakan suatu keyakinan hidup yang dimiliki oleh manusia . Keyakinan hidup ini diperlukan manusia sebagai pedoman hidup untuk mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk alam. Pedoman hidup ini dijadikan pula sebagai pondasi dari seluruh kenyataan yang ada pada kehidupan manusia. Pada dasarnya akidah yang kuat akan membentengi diri seseorang dari semua pengaruh, seperti fakta yang sudah banyak terjadi di era modern ini, banyaknya muncul isu radikalisme.

Radikalisme merupakan aliran yang memaksakan kehendaknya dengan cara apapun untuk menuju perubahan yang menurut versi mereka itu baik. Aqidah mempunyai peran yang sangat penting yang harus diperhatikan, karena apabila akidah (dasar keimanan) tidak dimiliki dan tidak secara sempurna maka radikalisme akan mudah masuk, faktor penyebabnya adalah kurangnya pemahaman beragama yang baik sehingga akidah sangat mudah dipengaruhi.

Aqidah membentengi diri dari serangan pehamaman yang tidak sesuai dengan agama sehingga dapat mempengaruhi nilai keagamaan yang dimiliki. Sejatinya ini bukan lagi hal yang mustahil karena memang melihat kepada fenomena yang sudah banyak terjadi pada saat ini. akidah adalah hal yang utama yang melekat pada diri kita, karena sudah menyangkut kepada sang pencipta dan hamba-Nya.
Aqidah, tauhid dan keimananan atau kepercayaan adalah sama. Yaitu aqidah atau tauhid adalah kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa Kepercayaan kepada Allah SWT tersebut menurut Hamka (1965) dalam bukunya “Pelajaran Agama Islam” mencakup enam kepercayaan (enam rukun iman), yaitu kepercayaan kepada yang gaib, kepercayaan kepada kitab-kitab, kepercayaan kepada rasul-rasul, kepercayaan kepada hari kiamat, kepercayaan kepada taqdir (qada’ dan qadar). tauhid/akidah adalah ajaran Islam yang paling pokok, mengakui akan ke Esaan Tuhan, satu kekuasaan tertinggi, satu pengatur alam raya, tidak bercabang dan tidak pecah. Selain Allah SWT adalah makhluk atau benda belaka.
Aqidah atau tauhid me-ngandung dua aspek tauhid, yaitu tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah, menyangkut pengertian tauhid secara teoritis dan praktis. Tauhid rububiyyah yaitu mengakui bahwa di dunia ini hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Sedangkan tauhid uluhiyyah adalah menyembah, beribadah dan memuji-Nya.

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi aqidah sebagai berikut :

  1. pedoman hidup untuk mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk alam.
  2. Pedoman yang dijadikan sebagai pondasi dari seluruh kenyataan yang ada pada kehidupan manusia.
  3. Aqidah membentengi diri dari serangan pehamaman yang tidak sesuai dengan agama sehingga dapat mempengaruhi nilai keagamaan yang dimiliki.
  4. Sebagai pegangan teguh agar terhindar dari paham radikalisme karena menyangkut keimanan dan ketauhidan
  5. Sesorang tidak lagi salah pengaplikasian antara yang dilarang dan diperintahkan
  6. Menjadikan manusia aman, sejahtera dan bahagia karena akan masuk surge apabila akidahnya baik
  7. Menolak segala pemahaman yang benar-benar akan menjerumuskan kelembah kebathilan
    Masih banyak fungsi aqidah, karena aqidah berhubungan lanssung dengan Allah SWT.

KESIMPULAN
Aqidah adalah perisai utama yang harus dimiliki oleh setiap manusia, dan merupakan kepercayaan, keyakinan, yang tercantum dalam rukun iman . aqidah merupakan dasar yang mempengaruhi keimanan dan kekuatan hati sesorang karena menyangkut kepada kepercaan. Kemantapan aqidah yang benar dan Pemahaman agama yang baik sejatinya harus melekat didalam diri setiap umat islam untuk membendung segala pemikiran yang dapat mempengaruhi keyakinan.

Radikalisme dengan mengatasnamakan agama semakin sering terekspose melalui media dalam bentuk teror, pengeboman, beberapa aksi kekerasan dan berbagai kejahatan berbungkus agama lainnya. Agama menjadi media yang dinilai tepat untuk menjadi alasan munculnya terorisme. Agama dalam hal ini terlalu sensitif untuk mengadu domba atas nama kepentingan politik yang sebenarnya. Imbas dari gerakan radikalisme atas nama agama tersebut dapat menjadi catatan buruk karena semestinya agama itu dapat menyerukan pada kedamaian.
pembicaraan radikalisme dalam perspektif sosiologi berbeda jika dibandingkan pembicaraan radikalisme dalam ilmu politik, yang hanya bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan objek yang sedang diamati, dan tidak bermaksud untuk menyusun suatu kerangka teori guna dijadikan alat atau kerangka bertindak bagi keperluan dan kepentingan praktis sebagaimana yang dipahami oleh ilmu politik.

penyebab radikalisme adalah tidak lain yaitu kurangnya rasa keimanan, tidak memahami dengan baik apa yang sebenarnya diperintahkan dan dilarang oleh agama, kurangnya ilmu agama juga sangat menjadi faktor yang paling kuat yang menjadikan seseorang menjadi radikal, karena jihad yang pada awalnya suatu anjuran agama dan merupakan kebaikan yang dengannya kita masuk syurga dijadikan aksi yang dengannya mereka bisa nestapa, yang melibatkan agama sumber dari kekacauan itu.

Radikalisasi dilihat sebagai suatu proses dimana individu secara bertahap mengadopsi ideologi keagamaan dan politik yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi Barat dan kemudian melegitimasi aksi terorisme sebagai alat pendorong perubahan sosial. Radikalisme adalah sebuah paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Dari uraian di atas ada beberapa hal yang dapat digarisbawahi. Pertama, akidah hal yang utama harus dimiliki oleh setiap manusia, agar terhindar dari pemahaman yang mengatasnamakan agama, kedua radikalisme muncul karena salah penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an, sesuatu amal kebaikan dijadikan sebagai kejahatan ketiga akidah pedoman hidup untuk mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk alam. Pedoman yang dijadikan sebagai pondasi dari seluruh kenyataan yang ada pada kehidupan manusia, Aqidah membentengi diri dari serangan pehamaman yang tidak sesuai dengan agama sehingga dapat mempengaruhi nilai keagamaan yang dimiliki, Sebagai pegangan teguh agar terhindar dari paham radikalisme karena menyangkut keimanan dan ketauhidan, Seseorang tidak lagi salah pengaplikasian antara yang dilarang dan diperintahkan, Menjadikan manusia aman, sejahtera dan bahagia karena akan masuk surga apabila akidahnya baik, Menolak segala pemahaman yang benar-benar akan menjerumuskan kelembah kebathilan.
Perkuat aqidah, perdalam ilmu agama, paham apapun akan tertolak dengan sendirinya.

DAFTAR PUSTAKA
A. Fauzie Nurdin. Islam dan Perubahan Sosial. Semarang: Reality Press, 2005.
Abdul Mustaqim. Deradikalisasi Penafsiran Al-Qur’ān Dalam Konteks Keindonesiaan yang Multikultur”, dalam Al-Qur’ān di Era Global: Antara Teks dan Realitas. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ān, 2013.
Abdurrahman Wahid. Menjadikan Hukum sebagai Penunjang Pembangunan dalam Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Al-Banna, Hasan. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Terj. Wahid Ahmad (et-al),. Era Intermedia, Solo., 1998.
Al-Qardhawi, Yusuf,. Fiqh Jihad. Bandung: Mizan, 2010.
Azhar Arsyad. Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Dede Rodin. “Islam Dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat ‘Kekerasan’ Dalam al-Qur’an.” ADDIN 10, no. 1 (Februari 2016).
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quräan dan Terjemahan, terj: Yayasan Penterjemah Al- Qur’an. Bandung: Gema Risalah Press Bandung, 1981.
Edi susanto. “Kemungkinan Munculnya Paham Islam Radikal di Pesantren.” Tadris 2, no. 1 (2007).
Glasse, Cyrel. The Concise Encyclopedia of Islam. London: Stacey International, 1989.
Hamka. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1956.
———. Tafsir Al-Azhar. Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
———. Tafsir Al-Azhar, Juz XV. Cairo: Al-Azhar, t.t.
Hasyim Muzadi, dalam Pengantar Drs. Abdul Wahid, SH, MA, dkk., Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM, dan Hukum. Perlindungan HAM sebagai Misi Fundamentalisme Agam. Bandung: PT Refika Aditama, 2004.
Hawi, Sa’ad. Jund Allah Saqafatan wa Akhlaqan. Beirut: Dâr al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979.
Inayatul Ulya. “Radikalisme Atas Nama Agama.” ADDIN 10, no. 1 (Februari 2016): 113–40.
James M. Henslin. Social Problems. Second Edition. Prentice Hall: Englewood Cliffs, New Jersey, 1990.
Johannes J. G. Jansen. “pakar arabbelanda- sebut Islam agama kekerasanDikutip.” http://www.hidayatullah.com/read/16561/23/04/2011/pakar-arab-belanda-sebut- Islam-agama-kekerasan. (blog), Dikutip pada tanggal -Desember 2012.
John L. Esposito, Unholy War. Teror Atas Nama Islam. Yogyakarta: Ikon, 2003.
Kamaruddin. “Jihad Dalam Persfektif Hadis.” Hunafa 5, no. 1 (April 2008): 101–16.
kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu’jamul Wasiith: (bab: ‘Aqada)., t.t.
Kasnawir, Apriawan. “Peran Idiologi Pancasila Untuk membentengi diri dari Radikalisme.” http://edukasi.kompasiana.com (blog), 12 April 2015.
Laisa Emna. “islam dan radikalisme.” islamuna Volume 1, no. 1 (2 Juni 2014): 2–18.
Lilam Kadarin Nuriyanto. “Bimbingan Konseling Melalui Pendidikan Multikultural Terhadap Anak-Anak Dan Remaja Dalam Penanggulangan Paham Radikalisme.” KONSELING RELIGI: Jurnal Bimbingan Konseling Islam 5, no. 1 (Juni 2015).
M. Amin Sihabuddin. “Bunuh Diri Sinyalemen Lemahnya Aqidah Ummat.” Wardah, no. No. 25 (Th. XXIV/Desember 2012).
M. Sarkan Muchith. “Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan.” ADDIN 10, no. 1 (Februari 2016): 163–80.
Margaret Silson Vine. Sociological Theory, An Introduction, Dalam Astrid S. Susanto, t.t.
Menurut Nasir Abbas dalam bukunya Membongkar Jaringan Jamaah Islamiyah, t.t.
Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Ibnu Faris, 4/86-90, materi ‘aqada; Lisanul Arab; 3/296-300, dan Al-Qamus Al-Muhith, 383-384, t.t.
Nasution Harun,. Nasution Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta : UI Press : 1985, Cet ke 5, t.t.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah,Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Natalia, Angga. “Faktor-Faktor Penyebab Radikalisme Dalam Beragama.” Al-Adyan XI (Juni 2016): 1–21.
Paul B. Horton. The Sociology of Social Problemz. Engglewood Cliefs: New Jersey, 1981.
Rohmad Qomari. “Prinsip dan Ruang Lingkup Pendidikan Aqidah Akhlaq.” INSANIA 1, no. 1 (April 2009): 47–67.
Sabiq, Sayid. Aqidah Islam, Terjm. Moh.Abdal. Rathomy, Diponegoro, Bandung., 1978.
Satjipto Rahardjo. “Sosiologi Pengadilan: Pengadilan dalam Masyarakat Kudus.” Makalah Disampaikan Pada Penataran Sosiologi Hukum Yang Diselenggarakan. 25 Nopember 1995.
Shobirin. “Interpretasi Paham Radikalisme Terhadap Hukum Islam.” ADDIN 10, no. 1 (t.t.): februari 2016.
Umat Indonesia. “Definisi dan Jenis Aqidah Dalam Islam.” Www.islami.com. Inspirasi Islam (blog), Desember 2017.
winarto Eka Wahyudi. “Radikalisme dalam Bahan Ajar.” JALIE, no. 01 (Maret 2017): 01.