Aku menatap langit malam yang bahkan tidak dihiasi bintang, Gemuruhnya angin yang membentuk awan gelap, seakan menyamakan segenap perasaan yang mengendap dalam relung dasar jiwa yang merintis. Kini aku menyesali akan seluruh perlakuanku terhadap pahlawan yang telah membesarkanku. Tiada hal yang dapat membuatku ceria, bahkan untuk megulas senyumpun rasanya bibirku kaku.
Keluarga dan sahabat-sahabatku sudah menyerah. Mereka sudah melakukan segala hal agar aku tersenyum seperti dulu lagi, dari mulai mengajakku keluar untuk menikmati pemandangan alam, hingga membawaku ke tempat hiburan yang penuh kebisingan agar aku tidak terus melamun sendirian.
“Aku menyerah untuk membuatmu seperti dulu lagi, jika kau menolak semua usahaku bukankah itu hanya sia-sia untukku?” begitulah kalimat yang kerap kali mampir di telingaku ketika mereka merasa sudah berada pada titik akhir dan jenuh untuk melanjutkan misi 'membuatku tersenyum'.
Tetesan air langit kini telah membumi. Perlahan dan pelan, mulai dari rintikan hingga menjadi guyuran, semua orang yang berada di taman berlarian. Gajebo terdekat adalah pilihan tepat. Aku terpaku. Seakan bokongku menempel kuat di kursi taman.
Kutengadahkan kepalaku, guyuran hujan membasahi wajah lesuku secara perlahan. Air mata keluar pelan. Kemudian semakin deras bak hujan malam ini. Aku tak tahan lagi, kutumpahkan semua kekecewaan dan kesedihan. Kukatakan pada hujan, "aku menyesal" lirihku pelan.
Panggilan mereka tak kuhiraukan. Aku menangis sejadi-jadinya di bawah hujan. Aku tak peduli seluruh pakaianku kini sudah basah. Ada rasa nyaman yang menyusup pelan. Hujan memang menenangkan, terlebih buatku yang tengah dilanda kesedihan.
Penyesalan itu memang selalu datang terlambat, sangat terlambat. Kepedihan kini semakin mendera di rongga dadaku. Aku tidak tahu jika hal kecil dapat berdampak besar dalam kehidupanku, bahkan semuanya terasa begitu menyesakkan.
“Dapatkah hujan menghapus luka dan kepedihan yang mendera? Membawa pergi penyesalan sejauh mungkin, hingga menghilangkan luka yang kini kurasa. Hujan, dapatkah kau membawa pergi semua sesak ini?”
Aku kembali teringat betapa egoisnya diri ini. Mengabaikan lelaki yang berpengaruh besar dalam hidupku. Begitu teganya aku mengabaikan semua kesakitannya, lalu lebih memilih pergi bersenang-senang dengan teman-temanku. Betapa jahatnya aku membiarkan tubuhnya yang sudah tidak muda lagi menanggung bebannya sendiri. Membiarkannya seorang diri menyelesaikan masalahnya, tanpa peduli dan bertanya bagaimana ia melewati harinya sambil menahan rasa sakit tersebut.
Aku sangat ingat bagaimana dengan egoisnya aku mengabaikan permintaan tolongnya untuk menemaninya ke Rumah Sakit, bahkan untuk sekedar mengantarnya saja aku enggan.
“Nak bisa temani ayah untuk check up, rasanya ayah tidak sanggup untuk pergi sendiri,”
“Ayah bisa pergi menggunakan angkutan umum, jangan terlalu manja. Aku ada janji bersama teman-temanku,”
“Sebentar saja, nak. Jika kamu tidak bisa lama, cukup antar ayah saja nanti ayah akan pulang sendiri,”
“Aku sudah terlambat yah, dan lagi arah Rumah Sakit dengan tempat janjianku berlawanan arah aku tidak ingin terlambat. Ayah bisa menaiki taksi atau angkutan umum lainnya,” sahutku cepat. Aku mengambil tas dan bergegas meninggalkan ayahku sembari memberinya beberapa lembar uang merah tanpa memperduliakan wajahnya. Jika kuingat-ingat lagi, hari itu wajahnya sangat pucat dan dia memang terlihat tidak bertenaga. Aku bukan tidak melihatnya, aku mellihat dengan jelas raut wajahnya yang kecewa dan juga sakit secara bersamaan. Namun, perasaan egoisku lebih dominan dan menutup rasa iba yang mulai mendera.
Keadaannya sudah sangat parah. Aku bahkan tidak tahu penyakit apa yang dia derita. Aku tidak tahu ada masalah apa dengan tubuhnya, yang kutahu tubuh yang dulu tegap terus terkulai lesu. Semakin hari tubuhnya semakin kurus, tangannya yang dulu kokoh berubah menjadi tulang kecil. jangankan untuk menimangku seperti dulu, mengangkat seember air kecilpun tangannya sudah tidak sanggup lagi, sosok yang dulu kuat sudah terlihat rapuh. Sungguh bodoh aku dulu mengabaikannya! tidak ingin berbagi beban dengannya. jangankan berbagi, menampung ceritanya saja aku tidak mau.
Jika aku dapat memutar waktu, aku ingin memutar waktu dan kembali pada saat itu. Saat dimana ayahku dengan setengah putus asa meminta tolong padaku. Sambil menahan rasa sakit, beliau meminta agar aku menemaninya.
Semuanya itu hanya keinginanku saja. Pada kenyatanya, aku disini kini dan tidak dapat kembali pada saat itu. Saat dimana dia benar-benar sangat membutuhkan aku sebagai anaknya yang dapat menyemangati dan menopangnya disaat dia melewati detik-detik terakhir dalam hidupnya. Harusnya aku disana! Aku tidak tahu bahwa itu adalah permintaan terakhirnya, sebelum dia meninggalkanku untuk selamanya.
Selamanya.
Terimakasih sudah sudi mampir. 😊
Your story?
This is fiction
Good, I think your life story
Rindu ayah 😢
Kk juga, pas nulis baru sadar aku harus memperlakukan kedua orangtua dengan baik selagi ada.
Inspirasi banget tulisannya @zhusahali. Ayah❤
Makasih @nurhayati