Tuesday, May 01, 2018, at 10 am, my phone rang a sign of an incoming call, I picked it up. Apparently, the caller is Murtala, Chairman of the Victim and Victim Communication Forum Victim KKA Tragedy Families. He teaches me to drink coffee in Simpang Legos town of Lhokseumawe. At that time, I was at home. I also set out on a motorcycle, to where we have agreed.
We also met directly at a coffee shop Sharif Delima, Simpang Legos, located in front of the Church, Pusong Lama Kota Lhokseuamwe.
Previously, I had guessed that the topic of the talk was about preparation of the Commemoration Ceremony of KKA Simpang Tragedy Day, North Aceh.
Murtala, 40 years old gave me a show me a Letter of Invitation. While enjoying coffee, we also discussed about, the format of events, schedules, who will be invited, and other agendas that we consider important. About 2 hours more we discussed, we were disbanded, I went back home, Murtala meet someone to take the undnagan directly.
Thursday, May 03, 2019, at 09 am, I got an incoming call from a Human Rights Activist, he from Banda Aceh City, about 250 Kilometers from Lhokseumawe City. He asked me where I was. At that time I was out of the house, was in the city of Lhokseumawe.
"Where are you? Are you leaving for KKA intersection? Who are you with? If you want, we go together there "he said via mobile phone.
"Yes .. okay, he was waiting by car in the intersection of Malacca Strait (the direction of entering Lhokseumawe City), I followed him with a motorcycle, and droop in Hotel Strait Melaka.
When he was in his car he asked if I had a camera? I answered "yes".
Approximately half an hour drive, we arrived at the location of the event, there seen people already gathered on the side of Simpang KKA road, south right to the right, then Vice Bupati of North Aceh was giving speech.
I got out of the car immediately to the venue, under a simple awning, mat on the mat, as well as guests from various NGOs, students, women activists sitting mingling with victims. On the wooden wall a shop appears photo of the victims on display.
The event continued, until the Vice Regent of North Aceh finished giving speeches. I keep recording some of these important moments with my pocket camera. Apparently also the invitees and surrounding communities and victims are looking at the photo of victims of tragedy.
The event then continued with Oration by Malikussaleh University Students immediately alternated. After the oration ended, the committee prepared a white cloth with a size of approximately 0.5 meters in width and 5 meters in length to support 1000 signatures.
One by one the government representatives signed on white cloth, followed by representatives of NGOs, Students, journalists and victims themselves.
After the signature support event, the invitees are invited to the graves of the victims, approximately 1 kilometer by way of walking while doing the Long March. It appears that victims, students, human rights activists and women activists, mingle with victims, walk orderly two rows, to the grave of the victim. There also seen small children, families of victims.
Arriving at the cemetery, the event continued with a prayer together by the victim's family. At that time there were two graves of tragedy victims that we went to and prayed together, firstly, a victim named KARIMUDDIN BIN TGK YAHYA, the deceased was a man and WARDIAH BIN TGK BEN PUTEH, female sex-both died on May 03 1999, written on his tombstone.
After we finished the pilgrimage and prayed in the graves of the victims, we left the graveyard and returned to the venue.
Murtala as Chief Executive Officer also closed the event, and thanked for all the participation of the invited guests who have attended.
After the closing event I came across Murtala and had a mild light discussion again. According to him, the victims questioned the 'Political State's Will to Solve KKA Cross Tragedy completely and fairly'. The KKA Simpang incident that occurred on 03 May 1999 was one of the serious Human Rights Violations incidents that occurred during the Operation Military in Aceh. In the year 2000, the Aceh Independent Commission on Violence Investigation (KIPKA) established through the Decree (Keppres) Number 88/1999, they have conducted a study and investigation into this humanitarian trauma, Murtala said.
Murtala also said the Human Rights National Committee in 2014 has also conducted a projustice investigation into the Simpang KKA Event. In the Report of the National Human Rights Committee released in 2016, concluded there is sufficient preliminary evidence to suspect 'crimes against humanity' as one of the grave human rights violations in Simpang KKA, North Aceh, Aceh Province.
In this incident 21 civilians died, 30 people suffered persecution. In accordance with applicable legal procedures, it should be that the initial evidence of the investigation of the projustice of the National Committee on Human Rights is followed up by the investigator, in this case the Attorney General. However, the Attorney General's Office refused to conduct an investigation, arguing that the investigation result of the National Human Rights Committee has not fulfilled the formal and material requirements to be raised to the level of Investigation. We, as victims are very disappointed, said Murtala again.
"The return of the Simpang KKA file by the Attorney General's Office is an attempt to hamper the legal process against Simpang KKA Tragedy. Should be a State Institution, the Attorney General should not be a shield to perpetuate impunity or impunity for the perpetrators involved in this case "concludes Murtala.
At 12:45 noon, I excused myself and returned to Lhokseumawe Town, hoping for justice for Simpang KKA Tragedy
Victims.
BAHASA
Selasa tanggal 01 Mei 2018, pukul 10 pagi, handphone saya berdering pertanda ada telpon masuk, saya mengangkatnya. Ternyata, sang penelpon adalah Murtala, Ketua Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA). Dia mengajaka saya minum kopi di seputaran Simpang Legos Kota Lhokseumawe. Saat itu,s aya sedang di rumah. Saya pun berangkat dengan mengendarai sepeda motor, menuju ke tempat yang telah kami sepakati.
Kami pun berjumpa langsung di sebuah kedai kopi Syarif Delima, Simpang Legos, berlokasi di depan Gereja, Pusong Lama Kota Lhokseuamwe.
Sebelumnya, saya sudah menduga, bahwa topik pemebicaraannya adalah seputar persiapan Acara Memperingati Hari Tragedi Simpang KKA, Aceh Utara.
Murtala, 40 tahun pun menyodorkan saya selember Undangan Acara. Sambil menikmati kopi, kami pun berdiskusi tentang, format acara, schedule, siapa yang akan di undang, dan agenda-agenda lain yang kami anggap penting. Sekitar 2 jam lebih kami berdiskusi, kami pun bubar, saya kembali ke rumah, Murtala menemui seseorang untuk mengantar undnagan secara langsung.
Kamis, 03 Mei 2019, pukul 09 pagi , saya mendapat panggilan masuk dai seorang Aktifis Hak Asasi Manusia, dia dari Kota Banda Aceh, kira-kira 250 Kilometer dari Kota Lhokseumawe. Dia menanyakan posisi saya berada. Saat itu saya sudah keluar rumah, sedang di Kota Lhokseumawe.
“kamu sedang dimana? Apa kamu berangkat ke Simpang KKA? Dengan siapa kamu berangkat? Kalau mau, kita berangkat sama-sama kesana” katanya via handphone.
“Ya.. boleh juga, dia menunggu dengan mobil di Simpang Selat Malaka (arah masuk Kota Lhokseumawe), saya pun menyusulnya dengan sepeda motor, dan minyimpannya di Hotel Selat Melaka.
Saat sudah di dalam mobilnya, dia menanyakan, apakah saya bawa kamera? Saya menjawabnya “ya”.
Kira-kira setengah jam perjalanan, kami pun tiba di lokasi acara, disana terlihat orang-orang sudah berkumpul di sisi jalan Simpang KKA, arah selatan sebelah kanan, saat itu Wakil Bupati Aceh Utara sedang memberi sambutan.
Saya turun dari mobil segera menuju tempat acara, di bawah tenda sederhana, yang di gelar tikar, nampak juga para tamu dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat, para mahasiswa, aktifis perempuan duduk berbaur dengan korban. Di dinding kayu sebuah toko nampak photo para korban dipajang.
Acara terus berlanjut, sampai Wakil Bupati Aceh Utara selesai memberi kata-kata sambutan. Saya terus merekam beberapa moment penting ini dengan kamera poket. Nampak juga para undangan dan masyarakat sekitar dan korban sedang melihat-lihat photo korban tragedi.
Acara kemudian dilanjutkan dengan Orasi oleh Mahasiswa Universitas Malikussaleh segera bergantian. Setelah orasi usai, panitia menyiapkan kain berwarna putih dengan ukuran kira-kira 0,5 meter lebarnya dan 5 meter panjangnya untuk dukungan 1000 tanda tangan.
Satu-satu persatu perwakilan dari Pemerintah menandatangani pada kain putih, dilanjutkan oleh perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat, Mahasiswa, wartawan dan para korban sendiri.
Selesai acara tanda tangan dukungan, para undangan di ajak ke kuburan para korban, kira-kira 1 kilometer dengan cara jalan kaki sambil melakukan Long March. Nampak para korban, mahasiswa, aktifis Hak Asasi Manusia dan Aktifis Perempuan, berbaur dengan korban, berjalan tertib membuat 2 barisan, menuju ke kuburan korban. Di sana juga terlihat anak-anak kecil, keluarga korban
Sesampai di kuburan, acara dilanjutkan dengan Doa bersama oleh keluarga korban. Saat itu ada 2 kuburan korban trgedi yang kami datangi dan melakukan doa bersama, pertama, korban yang bernama KARIMUDDIN BIN TGK YAHYA, almarhum adalah seorang laki-laki dan WARDIAH BIN TGK BEN PUTEH, berjenis kelamin perempuan- dua-duanya meninggal pada tanggal 03 Mei 1999, begitu tertulis di batu nisannya.
Setelah selesai ziarah dan berdoa di kuburan para korban, kami pun meninggalkan komplek kuburan dan kembali ke tempat acara.
Murtala sebagai Ketua Pelaksana Acara pun menutup acara, dan berterimakasih atas semua partisipasi para undangan yang telah hadir.
Setelah acara di tutup saya menjumpai Murtala dan berdiskusi ringan ringan lagi. Menurutnya, para korban mempertanyakan ‘Kemauan Politik Negara untuk Menyelesaikan Tragedi Simpang KKA secara tuntas dan adil’. Peristiwa Simpang KKA yang terjadi pada tanggal 03 Mei 1999 merupakan salah satu peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi pada masa Operasi Militer di Aceh. Pada Tahun 2000, Komisi Independen Pengusutan Kekerasan Aceh (KIPKA) yang dibentuk melalui keputusan (Keppres) Nomor 88/1999, mereka telah telah melakukan pengkajian dan penyelidikan terhadap trgaedi kemanusiaan ini, kata Murtala lagi.
Murtala juga mengatakan, Komite Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 2014 juga telah melakukan penyelidikan projustisia terhadap peristiwa Simpang KKA. Dalam Laporan Komite Nasional Hak Asasi Manusia yang di rilis tahun 2016 lalu, menyimpulkan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ sebagai salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dalam peristiwa Simpang KKA, Aceh Utara, Propinsi Aceh.
Dalam peristiwa ini 21 orang masyarakat sipil meninggal, 30 orang mengalami persekusi. Sesuai prosedur hukum yang berlaku, seharusnya bahwa bukti permulaan awal hasil penyelidikan projustisia Komite Nasional Hak Asasi Manusia ditindaklanjuti oleh penyelidik, dalam hal ini Kejaksaan Agung. Namun, pihak Kejaksaan Agung menolak melakukan penyelidikan, dengan alasan hasil penyelidikan Komite Nasional Hak Asasi Manusia belum memenuhi syarat formil dan materil untuk dinaikkan ke tingakat Penyidikan. Kami, selaku korban sangat kecewa, kata Murtala lagi.
“Pengembalian berkas perkara Simpang KKA oleh Kejaksaan Agung merupakan upaya untuk menghambat proses hukum terhadap tragedi Simpang KKA. Seharusnya sebagai sebuah Lembaga Negara, Kejaksaan Agung jangan menjadi tameng untuk melanggengkan impunitas atau kekebalan hukum bagi para pelaku yang terlibat dalam kasus ini” tutup Murtala.
Pukul 12:45 Siang, saya pamit dan kembali ke Kota Lhokseumawe, dan berharap agar ada keadilan bagi Korban Tragedi Simpang KKA.
TERIMAKASIH TELAH MEMBACA