All day, the issue of valentine day still adorn many online media. Mostly, it is a matter of opinion not to celebrate it.
This sounds mainly come from government institutions to activists who came down to streets to refuse the day of love as a culture and customs of teenagers in Aceh.
Valentine day is considered as a way to do practice of adultery and un-Islamic behavior in Aceh.
But unexpected, some national online medias wrote different style of news about that
By taking the words from mouth of Governor Irwandi Yusuf, some medias that just blew up the news that the governor allowed the celebration of valentine in Aceh. Because of those statements, the news became viral and confused many people.
Many people ask, is it true if the stories that written by those medias came from the mouth of an Aceh Governor?
Various opinions emerged and made things getting worse. As a result Irwandi inflamed. He was furious. Wrath to the media and journalists who wrote the news.
He argued. He did not say that. He did not even listen reporter's questions about valentine well at that time.
That was how the news spread that Aceh Governor allows the celebration of valentine day.
Yet, in a question and answer session with reporters, Irwandi admitted to answer all questions in the context about results of his meeting with Vice President Jusuf Kalla in the vice president's office.
In addition there was also a journalist who asked about ban on New Year celebrations in Aceh.
But, about issue of valentine day, Irwandi admitted it if he less listening it.
Until the interview was over. So, what happened next? Irwandi was upset and angry on social media.
Because the news that emerged from the interview shocked him.
The circulating news made an impression if Irwandi allowed the celebration of valentine day in Aceh.
Although then Aceh Government finally clarified the news that already spread in social media.
Irwandi asserted there will be no celebration of valentine day in Aceh. In other words the government forbade its celebration.
But one other thing, Irwandi as a public figure has already been wild in social media facebook by throwing words that degrade dignity of journalists.
Sorry, like the words of a "ciret" journalist, and a "budok" journalist.
Whereas, in the case of mistakes made by journalists in the content of news and titles, everyone have the right and space to make clarification. Then, journalists and its media in which they work must fulfill it.
This is called ethics code of journalism. So, if there is any mistakes in news, it should not be a "hot ball" or "a wild ball" that keeps rolling in the community. So it will not make misperception.
In my opinion in this context, Irwandi Yusuf as a public figure was less introspective, and too relaxed in facing and answering questions from reporters.
Finally what came out from his mouth was difficult to control. Because every word out of his mouth is likely to be quoted by journalists for public consumption.
Once again, it will be better to think first before answering reporters' questions.
Instead, journalists should also get clear and accurate confirmation from the source or interviewee before write a news and publish it.
Therefore, do chek and richek become an obligation for a journalist, so that the news he wrote does not become a blunder in community.
Of course, do not let us be accused again like a "ciret journalist!" [*]
Irwandi Yusuf, Valentine Day dan Wartawan Ciret!
Seharian ini isu valentine day masih menghiasi banyak media daring. Kebanyakan memang soal pendapat dan ajakan untuk tidak merayakannya.
Suara ini terutama datang dari beragam kalangan.
Termasuk institusi pemerintah hingga aktivis yang turun ke jalan untuk menolak hari kasih sayang itu sebagai budaya dan kebiasaan remaja di Aceh.
Valentine day dianggap jalan pintas menuju praktik perzinaan dan perilaku tak islami.
Tapi dari sebuah sudut pandang lain, beberapa media daring nasional justru memberitakan dengan interpretasi berbeda tentang valentine day di Aceh.
Meminjam mulut Gubernur Irwandi Yusuf, media-media berkelas itu justru menghembuskan kabar bahwa sang gubernur membolehkan perayaan valentine day di Aceh. Karena berita itu, maka dunia maya pun heboh.
Di media sosial berita itu jadi viral dan membuat banyak orang kebingungan.
Apakah benar cerita yang ditulis media-media itu muncul dari mulut seorang gubernur Aceh?
Beragam pendapat muncul. Sekaligus membuat keadaan makin runyam. Alhasil Irwandi meradang. Ia murka. Murka kepada media dan wartawan yang menulis berita itu.
Ia membantah. Ia sama sekali tidak berkata demikian. Hanya saja semua pertanyaan wartawan tentang valentine day itu ditangkapnya samar-samar atau nyaris ia tak medengarnya.
Maka lahirlah berita itu. Berita yang intinya gubernur Aceh membolehkan perayaan valentine day.
Padahal dalam sesi tanya jawab dengan wartawan, Irwandi mengaku menjawab semuanya dalam konteks hasil pertemuannya dengan Wapres Jusuf Kalla di kantor Wapres.
Di samping itu juga ada jurnalis yang tanya soal larangan perayaan tahun baru.
Tapi soal isu valentine day memang menurut pengakuan Irwadi kurang terdengar di telinganya.
Sampai akhirnya sesi wawancara selesai. Berikutnya yang terjadi apa? Irwandi naik pitam dan marah-marah di media sosial.
Karena berita yang muncul dari hasil wawancara itu sangat mengejutkan.
Berita-berita yang beredar itu mengesankan Irwandi membolehkan perayaan valentine day di Aceh.
Walaupun akhirnya pemerintah Aceh mengklarifikasi kembali berita-berita yang sudah terlanjur tersebar di media sosial itu.
Irwandi menegaskan tidak akan ada perayaan valentine day di Aceh. Dengan kata lain pemerintah melarang perayaannya.
Tapi satu hal lainnya, Irwandi selaku pejabat publik sudah terlanjur bersikap liar di media sosial facebook dengan melontarkan kata-kata yang merendahkan derajat jurnalis.
Maaf, seperti kata-kata wartawan ciret, dan wartawan budok.
Padahal dalam soal ada kekeliruan yang dikutip jurnalis dalam isi berita dan judul, maka narasumber punya hak dan ruang untuk memberi klarifikasi.
Dan wartawan serta media tempatnya bekerja wajib memenuhinya.
Inilah yang disebut kode etik jurnalistik. Jadi setiap kesalahan dan kekeliruan dalam berita jurnalistik tidak boleh menjadi bola panas atau bola liar yang terus bergulir di masyarakat sehingga memunculkan salah persepsi.
Pendapat saya, dalam konteks ini saya menangkap, Irwandi Yusuf selaku pejabat publik kurang mawas diri, dan terlalu santai dalam menghadapi dan menjawab pertanyaan wartawan.
Akhirnya apa yang terlontar dari mulutnya sulit terkendali. Karena setiap yang terucap dari mulutnya kemungkinan besar akan dikutip wartawan untuk konsumsi publik.
Sekali lagi lebih baik berpikirlah dulu sebelum menjawab pertanyaan wartawan.
Sebaliknya wartawan juga harus benar-benar mendapat konfirmasi yang jelas dan akurat dari narasumber atas setiap pertanyaan yang diajukan sebelum menulis berita dan mempublikasikannya
Sebab itu, cek dan ricek menjadi sebuah kewajiban bagi seorang jurnalis agar berita yang ditulisnya tidak menjadi blunder di masyarakat.
Tentu saja jangan sampai kita kembali dituding seperti wartawan ciret! [*]
Hahaha..kop gawat..