Rindu yang Tak Terbebas (Cerpen)

in #islamic7 years ago (edited)

Tak pernah aku bisa menghindari rindu. Dia terus menusuk hati. Menyakiti setiap inchi. Ingin aku berteriak. Berlari menemuimu, untuk menyembuhkan hati yang terasuki rindu. Mungkin kau tak merasa apa yang kurasa. Sebab, kau tak pernah menganggapku ada.

Ketahuilah, senyum ini sedikit getir. Karena airmata yang senang mengalir di sela-sela bola mata. Bukan bahagia, namun derita rindu.

Hanya namamu, terujar dalam hati yang tak berdusta. Kusesali, disetiap mimpi tak pernah bisa kuujarkan. Kubiarkan waktu yang memulai. Tapi, waktu tak pernah cukup memberanikan diriku menghadapmu.

Tubuhku terbaring, rebah di atas ranjang. Melukiskan wajahmu dengan pikiran. Sulit menjangkau engkau yang disana. Begitu perih rindu ini.

Senar-senar gitar. Terpetik satu persatu melalui jari-jari yang terbungkam. Tak ada daya melawan rindu. Walau kutulis dalam ribuan kertas.

Lebih baik, aku memeluk mentari. Agar badanku terbakar. Daripada harus terbakar oleh rindu yang membara. Tak ada kata yang cukup untuknya. Bahkan dia menjadi cinta, yang perlahan berkembang.

Kuberdirikan tubuh. Lalu duduk di depan cermin. Aku menatap bayangan wajahku.

“Apa kau terlalu kecut? Kemana dirimu yang dulu?kenapa kau bisa berubah?” Tanyaku pada diriku sendiri.
“Sulit, tidak bisa, ini tidak bisa dibiarkan.”
Aku linglung, aku bingung. Kehadiranmu menyiksa diriku.
“Apa yang harus aku lakukan?!” Kataku sambil meninju cermin tersebut.


Bukan lagi menjamah rasa muda. Zaman itu telah terganti dengan kedewasaan. Menciptakan masa depan, merencanakan segala sesuatu untuk kehidupan, sudah sejak kini harus dilakukan.

Usia terus bertambah, jam kematian semakin mendekat. Tubuh pun terkadang harus dirawat agar tak termakan oleh penyakit usia.

Masih dalam kerinduan yang membui. Aku semakin takut untuk berjalan. Mengitari cinta yang menggundahkan hati. Kata-kata terlalu kaku. Membeku, hingga percaya diri melarikan diri. Ironi memang, rindu ini.

Hasratnya mengelu-elukan dirimu. Namun aku tak yakin mampu bisa menggapaimu. Arus pun ingin kulawan. Tak ada kekuatan di tubuh, sebab ia tahu apa yang akan kau jawab.

Tak perlu menunggu antri bersama waktu. Tatapan matamu sudah menjawab segalanya. Gerak-gerik tubuhmu sudah mengisyaratkan semuanya.

Kutakutkan adalah rinduku padamu. Yang tak habis-habisnya memangsaku. Mencabik-cabik hati, terasa sakit. Runyam menemukan alasan untuk menghapus rindu ini.

Parasmu yang tersolek oleh alam, membuatku tak luput dalam mengingatmu. Bola matamu yang jernih, mengalir ke dalam pikiranku. Senyummu bak mentari bersinar, menyemikan cinta-cinta yang ada pada diriku.


“Kenapa kau masih merindukannya?” Pertanyaan itu seakan terus berputar. Tak ada yang lain bagi sahabatku, selain kasihan melihat diriku bertubuh lemah.

“Aku akan selalu menjawab yang sama. Rindu ini tak bisa bertekuk lutut. Aku takut, bila kuturuti. Ia akan membinasakanku.”

Airmata sahabatku tumpah ruah, membanjiri pipinya. “Apa yang kau pikirkan? Tidakkah ada yang lain yang bisa menggantikannya?”

“Aku juga tak mengerti. Bahkan aku juga tak paham. Dengan begini akan lebih baik.”

Panas di atas negeri piramida ini, seolah menjadi penenang bagi rindu. Sengatannya lebih baik daripada rindu yang terus menggondam.

“ Fii Amaanillaah ya Akhi.”

“Syukran, sahabatku.”

“Jangan sampai rindu itu menjauhkanmu. Ittaqillaah haitsumma kunta. Nas-alullaha asSalamah wal afiah”

“ Insya Allah, “

“Maa ash’ab an tuhibbu syakhson bi junuun wa anta ta;rifu annaki lahu lan takun.”

Aku tersenyum, “Al Hubbu kalimatun min harfain, ajiza katsirun minan naas tafsiruha. “Hubbun” haa’: hairoh Baa’: bala” Ujarnya lagi.

“Laa Baksa,” jawabku.

“Aku akan sangat sedih melihat dirimu seperti ini terus. Apa kau akan menghancurkan semuanya?”

Pandanganku kosong menuju langit biru. Awan tipis melayang. Mengindahkan segala perasaan manusia yang ada di dunia. Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Sangat sulit karena rindu ini lebih berat dari yang kuduga.


Aku setengah tertidur dalam keadaan semakin lemah. Masih memikirkanmu yang disana. Dada ini semakin bergemuruh. Aku tak sanggup.

Suara ketukan menghentakkan mata. Aku terbangun seketika. Tubuhku terlalu lemas untuk berdiri. Aku berjalan tertatih-tatih dan membuka pintu.

Sahabatku berdiri dengan senyum sumringah. Aku terjatuh, lalu dia menangkapku. “Madza bik? Apa kau sedang sakit?”

Dia membawaku ke dalam. “ Kau sangat lesu sekali?” Kemudian dia mendudukkanku diatas tempat tidur.

“Aku hanya sedikit lemah.”

“Aku tahu apa yang terjadi padamu. Aku punya kabar gembira untukmu.”

“Apa itu?”

“Aku berhasil membujuknya untuk bertemu denganmu.”

Aku menjadi resah, tubuhku menjadi gugup, “Laa, ya Akhi!”

Sahabatku terkejut.

“Limadza? Bukankah Ini Yang kau mau.”

“Tidak (sempurna) iman salah seorang kalian sehingga Allah dan rasulNya lebih dia cintai daripada selainnya, dan hingga ia dilempar ke neraka lebih disukainya dari pada kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya. Dan tidak (sempurna) iman salah seorang kalian sehingga saya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya atau manusia semuanya.”

“Dan aku menahan rindu ini, karena aku tak mau cintaku pada manusia melebihi cintaku pada Allah dan Rasul-Nya. Aku juga tak mau mengungkapkannya, karena aku mencoba menjaga marwahnya, agar aku tak terjerumus Taqrabu Zinaa.”

“Aku merasa sangat malu engkau membujuknya hanya untuk bertemu dengan diriku. Tolonglah aku, kau akan membebaskan rindu ini dan dia pun terus akan mendzalimiku. Aku menahannya agar aku tak salah langkah.”

Sahabatku menangis. Dia tak tahu dan aku paham. Seharusnya, aku yang mengatakan pada dirinya. Dia mulai mengerti keadaanku. Kenapa aku bisa sampai seperti itu? terkadang, banyak yang tidak tahu terhadap apa yang kita lakukan. Ini bukan sekedar rindu yang mengebu, akan tetapi menjaga cinta yang lebih tinggi dari rindu itu.

Author: Aridha (SG)