“Mbah makan dulu, ya!” saran tetangga. Itulah kalimat yang disampaikan tetangga kepada Mbah Jo ketika sedang di masjid waktu berbuka puasa sudah tiba. Mbah Jo cuma minum. Itu saja hanya sedikit. Seakan-akan hanya untuk syarat membatalkan puasa saja. Ditawari makan jajanan berbuka puasa juga tidak mau. Raut wajahnya menyiratkan kalau sedang sedih. Tidak banyak bicara karena memang pada dasarnya Mbah Jo itu orangnya pendiam.
Sumber: pexels.com
“Ditawari berbagai makanan nggak mau makan, Mbak,” kata tetangga.
“Banyak yang merasa kasihan sama Mbah Jo sejak ditinggal Mbak Wik pindah rumah,” kata tetangga lagi.
Itulah percakapanku dengan tetangga ketika menceritakan keadaan Mbah Jo waktu baru saja aku pindah rumah. Aku ingat betul, kami pindah rumah pas di bulan Ramadhan. Aku mengikuti suami pindah rumah yang berada di lain desa. Kira-kira satu minggu kemudian aku bertemu dengan tetangga yang menceritakan keadaan Mbah Jo. Mbah Jo, demikian panggilan untuknya. Mbah Jo adalah Mbah Kakungku. Sedang Mbah Putri sudah meninggal dunia. Banyak tetangga yang menaruh simpati dan hormat kepada Mbah Jo. Sehingga Mbah Jo banyak disukai oleh tetangga.
Mbah Jo dulunya tukang kayu yang andal. Kalau ada tetangga yang akan membangun rumah, pasti tukang kayunya Mbah Jo. Apalagi kalau sudah pada tahap selamatan “Munggah Molo” yaitu memasang kerangka rumah yang terbuat dari kayu atau besi yang terpasang pada bagian rumah yang paling tinggi. Munggah Molo adalah tradisi masyarakat Jawa kuno. Setelah acara selamatan selesai, pasti Mbah Jo membawa pulang sebagian pernak-pernik selamatan yang berupa pohon tebu dan gerabah kecil-kecil yang berbentuk kendi kecil, anglo kecil yang katanya itu untuk mainan pasaran aku.
Banyak yang bilang hasil pekerjaan Mbah Jo halus dan rapi. Selain itu, Mbah Jo juga sering dimintai tolong orang yang sedang mengadakan hajat selamatan tujuh bulan kehamilan atau mitoni untuk menggambar di kelapa gading, karena kami juga mempunyai tanaman kelapa gading waktu. Jadi, minta kelapa gading sekalian digambarkan wayang Kamajaya Kamaratih. Sebenarnya atas jasanya itu Mbah Jo sering diberi imbalan tapi Beliau sering tidak mau.
Kini setelah belasan tahun berlalu, aku baru menyadari kalau profesi Mbah Jo termasuk profesi yang langka. Bayangkan, menggambar wayang di kelapa yang masih ada kulitnya. Saya yakin tidak banyak orang yang mempunyai keahlian seperti Mbah Jo, Mbah Kakungku.
Mbah Jo juga seorang petani bertangan dingin karena tanaman apa saja yang ditanamnya pasti hidup dengan subur. Dulu di depan rumah kami ada tanaman kakao, jambu dersono, sawo, jeruk nipis yang berbuah sangat lebat dan juga ada tanaman gadung, yaitu sejenis ubi jalar.
Setelah Mbah Jo tua, tenaganya tidak seperti dulu lagi. Waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah. Mbah Jo sudah pensiun sebagai tukang kayu. Sehari-harinya Mbah Jo hidup bersama keluarga kecil kami. Waktu itu anakku yang pertama baru berumur empat bulan. Jika aku sedang kerepotan mengasuh anak, Mbah Jo sering membantu mengasuhnya. Meski aku tidak menyuruhnya tapi atas kemauannya sendiri. Aku senang-senang saja. Kalau aku menolak, aku takut Beliau tersinggung. Lagi pula biar Mbah Jo ada kesibukan dan pikirannya tidak melayang kemana-mana atau orang Jawa menyebutnya nglangut. Kadang Mbah Jo aku mintai tolong untuk menjaga anakku kalau aku sedang masak atau sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lain. Dan pasti dengan senang hati Beliau menyanggupinya. Itu terlihat jelas di raut wajahnya. Dengan senyum mengembang dan wajah ceria pasti segera meraih anakku.
“Yuk, ikut simbah,” katanya.
Itu kalau di rumah pas tidak ada suami karena suami sedang kerja. Andaikata suami pas di rumah juga Mbah Jo sering mengasuh anak kami. Itu semata-mata karena kami ingin Mbah Jo merasa dihargai bukannya kami mempekerjakan Mbah Jo.
“Mbah, mandi dulu, ya,” kataku.
Itulah kebiasaanku di pagi dan sore hari jika air panas sudah tersedia di kamar mandi dengan tujuan untuk mandi Mbah Jo. Dan tanpa menunggu lama pasti Mbah Jo segera bergegas menuju kamar mandi.
Bisa dikata Mbah Jo pengganti orang tuaku karena bapak dan ibu sudah meninggal dunia ketika aku sudah berkeluarga.
Betapa beratnya hidup ini apalagi di awal-awal pernikahan kami. Tapi, kami harus sabar dan kuat menghadapinya. Bukankah Allah beserta orang-orang yang sabar? Itu sudah tertulis di QS. Al-Baqarah [2]:153. Kesabaran adalah menerima berbagai kesulitan dengan lapang dada, berkemauan keras untuk mengurai masalah dan mencoba mengatasi ujian hidup dengan kestabilan perasaan yang luar biasa. Karena itulah Allah akan selalu senang bersama orang-orang yang mau bersabar. Memang sabar itu pahit tapi manis buahnya.
Sekarang kami bisa melewati masa-masa kritis kami dalam berumah tangga.
Kembali aku harus menitikkan air mata saat mengenang kebersamaan kami dengan Mbah Jo. Konon katanya, hanya sama aku Mbah Jo merasa cocok . Meski setelah aku besar baru aku ketahui kalau Mbah Jo hanyalah bapak tiri dari ibu. Sedangkan bapak kandung ibu sudah lama meninggal dunia. Mbah Jo orangnya baik dan baik juga di mata tetangga. Beliau orangnya sabar.
“Mbak, Mbah Jo di bawa ke rumah sakit,” kata tetangga membuyarkan lamunanku.
Itulah kabar dari tetangga yang pagi itu datang ke rumah untuk mengabarkan kalau Mbah Jo dibawa ke rumah sakit oleh kakakku. Yang katanya Mbah Jo sakit perut karena beberapa hari tidak mau makan. Ketika aku datang ke rumah sakit, astaga Mbah Jo kurus sekali. Tangannya dipasangi jarum infus. Mbah Jo diam saja tapi aku lihat air matanya meleleh di pipi. Dalam hati aku berkata “Mbah, kalau keadaan memungkinkan Simbah ikut aku saja, ya,”
Tapi keadaanku pada waktu itu sangatlah memprihatinkan.
Kira-kira satu minggu di rumah sakit, Mbah Jo dibawa pulang ke rumah. Mbah Jo sekarang serumah dengan kakak lelakiku yang juga sudah berumah tangga. Dan konon kata tetangga, Mbah Jo tidak pernah diajak berbicara hanya sekedar basa-basi. Hanya disediakan makanan saja di mejanya setelah itu pergi.
Mulut Mbah Jo sudah tidak bisa untuk makan, kalau makan lewat leher yang dilubangi. Sehari-hari Mbah Jo dirawat oleh perawat dari rumah sakit. Mbah Jo tidak hanya menahan sakit badannya tapi juga sakit batinnya. Kakakku mana mau merawatnya sendiri
Malam itu sehabis sholat Isya’ ada telepon masuk dari tetangga yang mengabarkan keadaan Mbah Jo. “Mbak, Mbah Jo meninggal dunia,”
Seketika aku hanya diam saja, lidah sepertinya kaku dan merasa kaget pastinya. Aku tidak menyangka kalau Mbah Jo akan pergi secepat itu. Hanya selang satu bulan setelah aku tinggal pergi pindah rumah. Allah SWT lebih sayang sama Mbah Jo.
Mbah Jo sudah meninggalkan kenangan yang tak pernah pudar dari ingatanku. Kini saatnya mengikhlaskan kepergiannya. Aku bisa menangkap nada sendu pada akhir kisah hidupnya. Dan tahukah Mbah, saya harus mengemas air mata ini yang berebut ingin turun saat aku menuliskan kisah ini.
Ya, Allah ampunilah dosa-dosa orang tuaku dan juga Mbah Jo.
Amin.
Ditulis oleh: Dwi Lestari
Posted from my blog with SteemPress : http://temupenulis.org/mengenang-mbah-jo/