Dalam sebuah tim (baik klub maupun timnas), dari masa ke masa, selalu saja ada sosok pemain naturalisasi, baik yang dinaturalisasi karena faktor garis keturunan, maupun karena keinginan sendiri. Pastinya, setelah pemain bersangkutan sudah memenuhi syarat yang ditetapkan.
Fenomena naturalisasi pemain ini, misalnya terjadi di Eropa dan Asia. Di Eropa, ada Thiago Alcantara (pemain timnas Spanyol berdarah Brasil), Deco (eks pemain timnas Portugal kelahiran Brasil), atau Jerome Boateng (pemain timnas Jerman keturunan Ghana). Di Asia, ada sosok Alessandro Santos (eks pemain timnas Jepang kelahiran Brasil). Kebanyakan dari mereka dinaturalisasi, karena pertimbangan teknis, yakni dengan melihat kemampuan mereka.
Belakangan negara-negara Asia Tenggara juga melakukannya. Di Thailand, ada Charyl Chappuis (kelahiran Swiss), dan Robin Holm (kelahiran Swedia). Sementara itu, di Indonesia, ada sejumlah pemain naturalisasi, misalnya Irfan Bachdim dan Ezra Walian (Belanda), Cristian Gonzales (Uruguay), Bio Paulin (Kamerun), Victor Igbonefo dan Greg Nwokolo (Nigeria) dan Ilija Spasojevic (Montenegro).
Tapi, jika dilihat lebih jauh, terdapat perbedaan perspektif, antara kasus naturalisasi pemain di Thailand dan Indonesia. Pada kasus naturalisasi Holm dan Chappuis, keduanya menjadi pilar Tim Gajah Perang, kemampuan teknis yang mereka punya, diharapkan dapat meng-"upgrade" level kemampuan timnas Thailand. Maklum, meski merajai kawasan Asia Tenggara, timnas Thailand masih kesulitan bersaing di level Asia (apalagi dunia). Jadi, naturalisasi dipandang sebagai satu solusi cepat, untuk menyiasati lambatnya level kemajuan sepak bola di negeri itu.
Sementara itu, di Indonesia, naturalisasi pemain didasari oleh beberapa faktor, selain faktor teknis; garis keturunan (misal kasus Irfan Bachdim dan Ezra Walian), sudah lama menetap di Indonesia (Greg Nwokolo dan Victor Igbonefo), atau sudah lama menetap di Indonesia dan menikah dengan WNI (Cristian Gonzales, Ilija Spasojevic, dan Bio Paulin).
Secara teknis, keberadaan para pemain naturalisasi ini, diharapkan dapat meng-"upgrade" kualitas timnas Indonesia, yang pembinaan pemainnya masih bermasalah. Soal prestasi, targetnya masih berkutat di level ASEAN, sebagai langkah awal. Karena, untuk bersaing di level-level berikutnya, Tim Garuda masih sebatas bermodal potensi mentah, yang belum dibina dengan serius. Jelas, modal ini masih sangat jauh dari ideal.
Menariknya, keberadaan pemain-pemain naturalisasi di Tanah Air, justru menguntungkan bagi klub, dan para pemain itu sendiri. Karena, mereka bisa mendapat pemain lokal, dengan kualitas setara pemain asing, tanpa harus memikirkan sisa kuota pemain asing yang masih ada. Dari celah ini juga, sebuah klub di Indonesia bisa membuat sebuah tim kuat, dengan mengandalkan pemain asing 'asli' dan para pemain naturalisasi.
Sedangkan, bagi para pemain, status naturalisasi ini memberi mereka keuntungan tersendiri. Khususnya, jika mereka bermain di liga-liga Asia. Karena, meski sebenarnya bukan berasal dari Asia, status WNI yang mereka punya, membuat mereka leluasa bermain di liga-liga Asia, dengan status "pemain asing dari benua Asia". Kasus ini, misalnya terjadi pada Greg Nwokolo dan Victor Igbonefo (keduanya sempat bermain di Liga Thailand), atau Irfan Bachdim (sempat bermain di Liga Thailand dan Liga Jepang).
Tak bisa dipungkiri, di satu sisi, keberadaaan pemain naturalisasi, memang bisa memberi manfaat teknis bagi sebuah tim. Tapi, keberadaan pemain naturalisasi juga menjadi peringatan; pembinaan pemain muda lokal harus segera digarap serius.
Jika tidak, naturalisasi pemain akan menjadi sebuah ketergantungan akut, yang akan semakin membatasi ruang berkembang, dan regenerasi pemain muda lokal. Akibatnya, prestasi tim nasional akan terus menurun, tanpa bisa diperbaiki lagi.
https://www.kompasiana.com/yoserevela/5a631cd9caf7db2c992383d2/sisi-lain-naturalisasi-pemain
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://www.kompasiana.com/yoserevela/5a631cd9caf7db2c992383d2/sisi-lain-naturalisasi-pemain
Robot🤗