Sore sabtu, jika sedikit gelap maka kebanyakan orang akan menyebutnya malam minggu, dan jomblo jaman now menamainya sabtu malam dengan berbagai alasan. Aku kira memang budaya mengotak-kotakkan diri dan pemikiran sudah merajai manusia jaman now. Mereka ingin dianggap seragam tapi memecah belah diri dengan pemikiran yang kuno sedemikian, lalu perang kata pecah di dunia maya antara kubu malam minggu dan sabtu malam. Hampir sebulan empat kali aku lihat peperangan ini, kian hari kian seru ternyata. Satu persatu dari mereka 'menelanjangi' diri, mempertontonkan isi kepala yang tidak berguna.
Disana ada banyak anak ingusan (mereka menyebutnya Kids Jaman Now) yang merasa sudah penuh pengalaman memberikan opini dan petuah tajam. Ck, aku hanya bisa bergumam "kalian melawan kenyataan!". Adik-adik, belajarlah dulu baru berpendapat kemudian. Bukan apa, kakak hanya tidak ingin kalian tersesat berjamaah nantinya. Tersesat dan tak tau arah tujuan jauh lebih menyeramkan dibanding undangan pernikahan dari mantan yang penuh foto-foto vulgar. Serius kakak bilang. Karena disana kalian akan dengan mudah masuk ke dalam kesesatan sesesat-sesatnya dan tanpa pertolongan karena kalian tidak tau lagi yang mana pertolongan yang benar dan yang mana "pertolongan" yang semakin menyesatkan. Percayalah! Kakak sudah pernah berada disana.
Well, let's back to the topic!
Sabtu sore kuhabiskan di luar, rasaku angin laut dan aromanya akan menyegarkan pikiran. Aku sudah membayangkan hamparan laut dan es kelapa. Aku pamit keluar pada Ibu, "Maak, aku berangkat!" Teriakku sambil menjalankan motor. Kudengar teriakan balasan dari Ibu agar berhati-hati di jalan dan cepat pulang, aku mengangguk tanda setuju. Kutarik gas perlahan dan rumah mulai kutinggalkan.
Aku memilih jalan putar, berharap dapat banyak inspirasi dan ide-ide manis untuk kutulis. Ada banyak memang, namun semuanya hilang dibawa angin di jalan.
Sampailah aku di rumah teman, kulihat dia sudah rapi dan siap pergi. Jam sudah menunjukkan pukul 17:25 wib. Aroma laut dan segala harapan sudah kuhempaskan. Aku memutuskan mengajaknya duduk di Waduk, disana biasanya jam segini banyak jajanan dan pemandangan. Salah satunya sunset dan kopi. Ia mengiyakan tanda setuju, aku yang masih bertengger di atas kendaraan memilih mundur ke belakang kubiarkan dia mengambil alih kemudi.
Memasuki area Waduk, kulihat pedagang jajanan dan kafe ala-ala yang buka mulai sore hingga malam mulai beraktifitas. Ada yang baru buka, ada yang sudah ada pengunjungnya, ada yang mulai sibuk mengipas-kipas arang untuk mulai membakar kenangan ehh jajanan seperti bakso bakar, kerang bakar, hingga jagung bakar, serta musik yang diputar cukup kencang, yang ketika alunannya masuk ke telinga maka kita seolah-olah tengah berada di ruang remang-remang sambil menggerak-gerakkan badan. Ck, dunia yang penuh hingar bingar.
Waduk ini dibangun pada tahun 2011 dengan tujuan menjadi tempat mengalirnya air yang menggenangi beberapa titik di Kota Lhokseumawe ketika musim hujan tiba. Waduk ini dibangun di atas tanah seluas 60 ha, dengan biaya pembangunan mencapai Rp 125 M. Dengan biaya yang cukup banyak dan luas area yang begitu besar bukan berarti masalah banjir di Kota kami ketika hujan tiba menjadi teratasi, masih belum optimal. Hal ini disebabkan beberapa saluran utama dari waduk sendiri mengalami mampet atau tersumbat dengan sampah dan limbah yang ada di dalamnya. Sehingga meskipun sudah ada waduk, beberapa area masih tergenang air jika hujan tiba. Semoga pemerintah menemukan solusi kedepannya, agar waduk bekerja sesuai fungsinya dan Kota kamo bebas dari banjir atau genangan air yang mencapai pangkal paha ketika musim hujan tiba.
Di samping itu, meski tujuan utama dari didirikannya waduk belum tercapai sepenuhnya, namun masyarakat Kota Lhokseumawe memanfaatkan waduk sebagai tempat rekreasi juga sebagai tempat mengais rejeki. Masyarakat sekitar berjualan jajanan dan masyarakat lokal dan luar jika sore tiba maka akan datang menikmati angin segar, meski sesekali bau menyengat kerap menyapa indera penciuman mereka. Namun hal tersebut tidak menjadi penghalang. Kian hari kian ramai yang memanfaatkan waduk ini, seperti sebagai tempat olahraga, rekreasi dan berjualan. Dan juga tempat ini sering dijadikan lokasi maksiat, namun tidak semua yang datang kesini melakukannya. Hanya orang-orang tertentu (biasanya pengunjung luar, dan pasangan muda mudi) serta di jam malam karena dulu penerangannya masih kurang. Tapi sekarang sudah mendingan, malamnya sudah sangat terang karena sudah ditambah lampu penerangan dan juga sesekali diturunkan pihak Wilayatul Hisbah atau satpol PP demi mengamankan situasi dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Luar biasa, bukan? Give applaus buat Bapak Walikota Lhokseumawe. Terimakasih, Pak.
Setelah mengitari hampir seluruh bagian Waduk, kami memilih tempat yang paling sederhana. Hanya ada satu meja dan empat kursi plastik. Dua di hadapkan ke arah matahari tenggelam, dua lainnya membelakangi, seolah tak peduli pada apa yang menimpa matahari. Padahal matahari tenggelam atau sunset ialah suatu peristiwa yang menandakan pergantian waktu yang luar biasa, dari siang berganti malam. Dari terang berganti gelap dan dari dulu aku mengagumi fenomena ini. Sungguh luar biasa.
Aku turun dari motor, kulihat sekeliling. Beberapa nelayan masih sibuk dengan jalanya, ada yang menangkap ikan dan sebagian lainnya yang didominasi oleh ibu-ibu mencari kerang untuk santapan makan malam ataupun diuangkan. Aku tertarik untuk ikut terjun kesana, namun aku phobia hewan yang ada di dalam tempat basah, seperti cacing dan sejenis lainnya. Phobiaku jauh lebih besar dibanding rasa penasaranku, karena jika kuturuti kemauan untuk turun ke dalam Waduk lalu aku menemukan hewan sejenis cacing maka aku pastikan aku akan membuat keributan besar, dan malamnya tidurku akan terganggu. Temanku sedari tadi sibuk mengajakku turun, tapi tidak kugubris. Aku terlalu sibuk berbicara dengan diriku sendiri, lalu kuputuskan udahan bercengkrama dengan diri sendiri.
Kami memilih tempat duduk, aku memilih duduk membelakangi matahari, sebab panasnya masih terasa menyengat. Sesekali kulihat beberapa rombongan pelari sore melewati kami sembari bercengkrama, mendengar musik, ada juga yang bersepeda. Dua kursi yang menghadap matahari sudah diduduki oleh kakakku dan anaknya yang kebetulan menyusul ke tempat kami berada. Aku tersenyum melihat anaknya, dia yang selalu ceria dalam berbagai suasana.
Kursi yang kududuki terasa tak nyaman sebab letaknya di bibir waduk, salah-salah aku bisa njengkang jika dudukku terlalu santai saat senderan. Maka aku putar haluan, aku geser ke sebelah kiri meja. Sinar senja mulai menyapa. Kulihat kakak dan temanku sibuk dengan ponselnya dan Arya (anak kakakku) tertawa bahagia.
Kupanggil penjual minuman, kutanyakan menu yang mereka sajikan. Karena mereka penjual gerobakan, kurasa tidak ada yang spesial. Dan benar, mereka hanya menyajikan minuman sachet dan jajanan kecil-kecilan. Aku memesan kopi sachet kesukaan dengan takaran air yang sedikit dan es yang banyak agar terasa legit pada seruputan awal, diikuti mereka berdua dan Arya memesan susu dingin. Sembari menunggu pesanan datang, kukeluarkan ponselku dan kuabadikan beberapa gambar matahari tenggelam. Sungguh luar biasa ciptaan Tuhan.
Kulihat abang (masih tampak belia, sepertinya dia lebih muda dariku namun untuk menjaga kesopanan maka aku menyebutnya, abang) yang jualan berjalan ke arah kami dengan dua cup kopi di tangannya. Begitu diletakkan keduanya di atas meja, aku mengambil satu cup kuaduk perlahan maka akan terdengar bunyi 'ksreek kssreek' lebih kurang demikian karena terjadi benturan dan gesekan antara es batu, kopi dan sedotan. Kucicipi sedikit, "slluuurrpp, aahh luar biasa. Ini surga, Teman" bisikku pelan. Aku tak sempat bertanya kenapa disajikan dalam bentuk cup, bisa jadi karena abang ini tergolong pedagang instan makanya sajiannya demikian. Biar tak perlu repot bawa banyak barang, barangkali. Lain kali akan kutanyakan.
Perlahan surya hampir padam, kuubah lagi posisi dudukku menghadapnya. Sambil sesekali kami bercengkrama, pikiranku ntah kemana. Mencoba menggali sesuatu yang pernah terlupa, aku menyebutnya kenangan. Tapi tak kutemukan, sebab aku tidak pernah melepas sunset bersama.
Saat gelap datang, aku putuskan pulang. Kudengar suara orang mengaji di mesjid-mesjid yang kami lewati. "Sebentar lagi adzan maghrib, ayo balik" ajakku. Kopi yang tadi belum sempat kuhabiskan, sebelum pulang kusempatkan meneguknya sekali lagi sebagai salam perpisahan. Setidaknya aku mengisyaratkan pergi, tidak seperti kamu yang pergi tanpa pesan. Hari ini kopi, sunset dan kamu yang sudah tak lagi kukenang. Jalga~