Usiaku sudah dua puluh satu tahun, tapi di usiaku ini aku belum sepenuhnya mendapatkan kartu hijau untuk bisa menikmati hidup layaknya perempuan-perempuan lain sepertiku. Seperti jalan-jalan atau sekedar nongkrong bersama teman, kadang aku harus berbelok sedikit untuk memberikan pengertian kepada mereka. Aku tak tahu apakah orang tuaku termakan omongan orang-orang tentang gosip seorang anak di kampung ku saat harus menikah mendadak karena kecelakaan dengan kekasihnya? Entahlah...
Jadi begini kisahnya....
Kemarin sore, sekitar pukul 15-an teman SMA ku menelpon, "Sob, jalan-jalan, yuk!" Ajak nya ketika aku masih dalam keadaan setengah sadar dalam tidur ku. "Ah, iya. Kapan?" Tanyaku kemudian. "Sore ini"
"Oh boleh. Jemput ya", "Oke" jawabnya.
Sore sekitar pukul 16:00 kami pergi dan aku berpamitan dengan Bapak yang kebetulan saat itu ibu sedang tidak ada di rumah.
Saya dan Mis sore itu juga pergi ke pantai yang jaraknya sekitar 25 km dari kota untuk menikmati Sunset sore hari. Kami pulang agak telat dan rencananya saya akan menginap di tempat Mis. Lalu saya segera mengabari orang tua bahwa saya tidak bisa pulang dan menginap saja. Malamnya kami lanjutkan keluar mencari bakso di sebuah warung "Pondok Rindang". Kami bersikap seperti anak muda pada umumnya, bercakap-cakap spontan
membahas berbagai macam masalah kehidupan. Dan pada pukul 21-an kami pulang lalu istirahat.
Pagi yang indah di rumah papan yang ukurannya tidak seberapa itu di tempati oleh kakanya Mis bersama suami dan kedua anaknya. Mis sendiri sudah empat hari di rumah kakaknya yang berdekatan dengan pusat kota. Pagi tadi telinga saya di sambut dengan suara bising dari lalu lintas yang membangunkan saya lebih cepat dari biasanya.
Paginya, aku belum juga pulang karena harus menemani Mis menyetrika baju segudang milik kakaknya dan aku harus menunggu sampai jam tiga sore. Dan baru setelah itu aku pulang diantar dengan motor Matik milik kakaknya. Baru sampai di ambang pintu, aku sudah menyaksikan ekspresi wajah ibuku dengan gelagat hendak mau menyerang ku. Benar saja, baru saja kaki ku menginjak rumah, ibu sudah marah besar. Aku tak tahu entah hantu apa yang merasuki nya sehingga terlihat begitu mengerikan. Sebenarnya sejak pagi-pagi aku sudah mau pulang karena ku pikir aku juga harus mencuci pakaian sore kemarin belum sempat ku bilas karena air di bak habis. Tapi, temanku tak mengindahknya. Lalu aku hanya menunggu karna aku diantar dengan motornya. Ibu tidak biasanya bersikap seperti itu, tapi entah mengapa sore ini dia benar-benar terlihat menakutkan bagiku dan juga bukan salah Mis karena tak mendengar ucapan ku. Dia hanya ingin bersama lebih lama karena mungkin sebentar lagi dia akan menikah, sudah lama juga dia ingin mengajak aku jalan bersama.
Saat ibu marah aku tak bisa berkata banyak untuk membela diri karena aku sadar ini memang kesalahanku. Di saat aku berbuat salah maka aku harus bertanggung jawab. Tapi lagi, sebagai sifat yang manusiawi aku juga kesal karena sikap ibu yang marah-marah di depan temanku. Ibu tidak seharusnya mempermalukanku di depan Mis, ini sangat tidak enak. Entah apa yang di pikirkan Mis saat itu. Ini benar-benar membuatku ingin lari dari kenyataan lalu menyembunyikan muka maluku dibalik sosok hitam yang tak kelihatan.
Tapi entah mengapa aku malah menasehati diriku bahwa "mungkin ibu sangat lelah tapi aku malah tak ada di rumah." Ingin rasanya aku menjelaskan semua kepada Ibu tapi rasa kesal dan gengsi ku melawan itu. Dan aku tak melakukannya. Ya Allah... Hamba mohon ampun!.
Hatiku sakit, tapi mungkin lebih sakit hati dan raga nya karena lelah mendidik dan membesarkan ku. Lelah bahunya yang tak pernah ia ceritakan kepadaku. Aku merasa paling egois untuk menjadi anaknya. Aku memang tak membantah saat Ibu marah dan kesal kepadaku, aku hanya mendengar tanpa memotong sedikitpun pembicaraannya. Aku memang tak suka mendebat walau itu hanya urusan kecil lalu dengan sendirinya hatiku akan tenang setelah berbicara sendiri.
Di luar sana mungkin masih banyak orang tua yang sangat peduli dengan anak-anaknya, yang selalu bersikap protektif dengan anak-anaknya, selalu khawatir atau curiga. Tapi percayalah, masih banyak juga anak-anak di luar sana dan salah satunya adalah saya, yang juga sangat peduli dengan mereka. Yang selalu ingin hidup mereka bahagia, hidup mereka yang bisa menikmati hari tua nanti. Masih banyak anak-anak di luar sana yang saat ini bercita-cita ingin memberikan hadiah terindah untuk mereka dan masih banyak lagi cita-cita mereka untuk orang tua.
Jikapun anak-anak itu berbuat salah, mereka punya alasan. Tidak perlu menghakimi atau membuat malu ketika Ibu dan Bapak marah. Cukup menegurnya. Saya tahu tidak ada orang tua yang mendidik anaknya untuk menjadi orang yng pendosa. Jikapun ada, juga karena berbagai alasan.
Setidaknya dengan menulis, sedikit saja, beban di hati sudah berkurang. Perasaan jadi lega. Rasa ingin bertindak bodoh tadi sudah hilang. Inilah cara saya menenangkan diri sebelum saya benar-benar berubah seperti seorang Psiko. Selain meminta kepada Allah saya menumpahkan isi hati dengan menulis walau tulisannya..ya..tidak seindah seorang penyair. Tapi setidaknya saya sudah bertindak secara elegan untuk tidak curhat-curhatan alay layaknya ABG.
Cerpen yg bagus. Alur critanya mengalir..
Terima kasih @muaziris
Hufff kadi ke ingat ibu 😣
Semoga ibunya sehat saja. @safrianaaa