Seseorang harus tau dan melihat sesuatu yang tak biasa, lalu mengubahnya.
Pada akhirnya semua tulisan dan semua yang diwanti-wanti menjadi omong kosong yang tidak ada habisnya.
Ingin melawan negara ? kembali bertanya, kuasa apa yang kau punya ? pada akhirnya, kita ikut terjebak dalam permainan mereka. Kita menyerahkan diri untuk mengemis pada jaminan yang tak seberapa mana.
Semua orang seolah-olah perduli, semua orang selalu ingin perubahan yang ideal, namun tanpa pergerakkan nyata yang sama sekali akan menghasilkan kemungkinan yang nol besar.
Perubahan selalu menutut konsekuensi yang berat, hal tersebut yang membuat kita kerap kali dengan mudah mundur dan mengurungkan niat. banyak hal yang dilakukan dengan cara subversif berakhir dengan pahit.
Berbicara mengenai perubahan yang ideal, ideal yang seperti apa yang masyarakat inginkan ketika masyarakat sendiri acuh tak acuh? dan masih mementingkan ego nya sendiri? Apakah dengan terwujudnya keinginan-keinginan atas sekelompok orang akan sesuatu sudah dikatakan ideal? Apakah sekelompok orang tersebut dalam memacu perubahan ideal sudah berarti ideal bagi orang lain ? Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dijadikan alat bagi sekelompok orang untuk memperoleh keuntungan dan kekuasaan guna mengubah nasibnya kearah yang lebih ideal.
Menurut Aristoteles, politik adalah alat yang dijadikan oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan. Kebaikan ini dimaksudkan untuk kesejahteraan bersama. Tapi, apabila sekelompok orang yang telah terbentuk dari keputusan kolektif ini lupa apa fungsinya, dan mementingkan ego semata. Maka yang terjadi adalah apa yang sudah tersebut diatas. Semua alat negara, dengan berderet wakil rakyatnya, hanya sebagai pemenuh eksistensi tanpa memperhatikan fungsinya sendiri. Apa yang dapat kita lakukan melihat pejabat yang menopang kaki dengan meja besarnya, sudah tidak produktif sebagamana mestinya ia berfungsi. Lalu untuk apa sesuatu yang memiliki wilayah, memiliki sekelompok masyarakat, yang bernama Indonesia ini dijadikan negara yang nyatanya hanya pura-pura belaka ?
yang nyatanya Indonesia hanya pura-pura negara.
Kita semua yakin, Bapak-bapak pemimpin negara yang pura-pura negara ini juga pura-pura bodoh. Mereka tidaklah bodoh seperti apa yang tampak pada mereka sekarang. Karena mereka pura-pura bodoh, mereka sampai lupa bahwa mereka sedang pura-pura bodoh. dan sampai akhirnya, mereka bergelut dengan kebodohan sendiri sampai melupakan dan membuat titik-titik krusial negeri ini kehilangan arah. Siapa yang berpura-pura sekarang ? apakah negara ? ataukah orang-orang yang sengaja membuat semua ini dengan ‘sekedar ada’ lalu mereka bisa bermain sesukanya.
Ada sebuah puisi, bunyinya seperti ini :
Bermainlah dalam permainan
Tetapi janganlah main-main!
Mainlah dengan sungguh-sungguh
Tetapi permainan jangan dipersungguh
Kesungguhan permainan
Terletak dalam ketidaksungguhan
Sehingga permainan yang dipersungguh
Tidaklah sungguh lagi
Mainlah dengan eros (cinta)
Tetapi janganlah mau dipermainkan eros
Mainlah dengan agon (perjuangan)
Tetapi janganlah mau dipermainkan agon
Barangsiapa mempermainkan permainan
Akan menjadi permainan-permainan
Bermainlah untuk bahagia
Tetapi jangan mempermainkan bahagia
Lalu apa esensinya ? semua yang digerakkan dan menggerakan ada kalanya dikatakan permainan, namun ketika kita sudah berada dalam sebuah permainan, setidaknya kita tidak main-main dalam melakukan permainan tersebut. Permainan boleh dimainkan dengan tidak main-main hanya dalam ranahnya, ketika sudah keluar, makan janganlah membuat permainan tersebut menjadi penggerak kehidupan kita. Semuanya memiliki aturan, kembali lagi, fungsi dan aturan. Berfungsi sebagai apakah kita, aturan yang seperti apa yang seharusnya kita lakukan sesuai dengan fungsi kita di dalam permainan. Ketika ada ego yang tak bisa dipisahkan, sekali-kali sempatkan pikiran kita untuk menarik keluar dari diri kita sendiri dan menempatkan pada situasi yang lebih luas dan sebagai makhluk sosial yang tidak selalu meng-aku, tetapi meng-kita. Bukankah itu tujuan politik tadi, teman ?
Semua ini harus dikembalikan pada kesadaran masyarakat indonesia yang katanya ‘berbudaya’. Semua orang ingin kaya, bergelimang harta, memiliki tahta. Hal tersebut adalah hal manusiawi, sikap membabi buta yang telah diatur oleh naluri. Tetapi ketika manusia sudah berani mengatakan dirinya sebagai makhluk berbudaya. Maka, apa yang paling penting menghiasi dirinya adalah akal, yang dapat menahan, mengontrol perilakunya yang membabi buta.
Kembali pada apa yang seharusnya kita semua lakukan. Pertama, tampar diri kita sekuat tenaga. Tamparan, dengan harapan dapat membangkitkan kesadaran bahwa kita sedang hidup dalam kesengsaran yang harus diberhentikan. Kedua, hilangkan kebiasaan menetap pada zona aman, yang selalu membuat kita enggan melihat dunia luar yang kejam. Ketiga, paksa panca indera untuk peka. Lihatlah, dan mulai sesuatu yang kita ideal-kan dengan cara yang sederhana saja.
Namun, bicara mudah saja. Sekali lagi, pada akhirnya semua omong kosong ini hanya teori semata. Perubahan? kita bisa apa tanpa kuasa apa-apa di negara yang menjadikan preman sebagai penguasa ?
Congratulations @odrahayu! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!