Kepribadian China Pidie Dalam Agenda Perdagangan

in #life7 years ago

image
Iksan (25), pedagang pakaian di sebuah toko seputaran kota Sigli bersama Shinji, sales pakaian dari China


Pada zaman kuno masa kepemimpinan XIA (lagenda) kekuasaan 2207 SM, rakyat China sudah tersebar sampai ke penjuru negeri. Di Sigli warga China sudah ada sejak zaman pertengahan, bahkan pada Tahun 1944, ketika Qing (Manchu) memimpin Republik Rakyat China (RRC) warganya sudah tersebar di mana-mana khususnya untuk berdagang.

A-Kiong salah satu warganya China yang sudah lama menetap tinggal di kota Sigli. Ia bekerja membuka jasa perbengkelan. Kala itu A-Kiong sempat tinggal di Beureunuen bersama ayah dan kakeknya, namun nasib berkata lain A-Kiong diusir lantaran permasalahan agama. Ketika kami bertanya pada A-Kiong kenapa mereka diusir, mereka berdalih, "kami tidak mau berpindah agama." Itulah alasan kenapa A-Kiong berpindah tempat tinggal ke Sigli.

Dalam kesempatan itu A-Kiong mengisahkan bahwa mereka bertahan tinggal di Sigli. Meski tidak memiliki rumah ibadah, memiliki tempat tinggal dan tanah kuburan seadanya saja sudah sangat bersyukur. "Untuk pulang ke kampung jhauh, dan membutuhkan biaya besar." Keluh A-Kiong. Meski harus mengadu nasib ke Sigli, ia tak pernah lupa kampung halamannya.

Sistem kinerja orang China selalu mengandalkan kualitas. Orang China mengungguli mutu ketimbang mengeluarkan biaya murah, tapi mudah rusak. Dalam bekerja mereka sangat hati-hati menjaga benda-benda sekaligus rapi. Anehnya, orang China yang ada di Sigli tetap buka usaha meski hari minggu tiba.

Di seputaran Benteng dekat penjara, tanah bernisankan batu keramik buatan nampak berwarna-warni dan putih. Di situlah letak makam kuburan warga China yang tinggal di Sigli. Mereka akan mengunjungi makam keluarga setiap siang hari minggu sejenak.

Kepercayaan orang China yang ada Sigli beragam, ada yang sudah masuk Islam dan ada pula yang memeluk agama Buddha. Kedisiplinan dalam mengembangkan usaha, sangat tepat waktu dan teratur. Sebagaimana petuah yang dianut turun temurun, pedagang China di Sigli tak ada bedanya dengan warga lain, "wajib menjadi orang kaya adalah tujuan hidup, daripada menderita miskin, lebih mati bunuh diri," slogan itu menjiwai seluruh naluri pedagang China.
image


Mungkin hanya sedikit perbedaan saja daripada pedagang lainnya, baik pendatang dari Arab maupun India. Pendatang China yang berdomisili di Sigli dalam berdagang jarang yang berpindah dari sistem lama ke sistem baru. Pola tradisional ini terus berkembang. Sama halnya dengan kepercayaan mereka yang terus menerus dipertahankan sampai akhir hayat.

Sekali waktu saya sempat terbuai, manakala memperhartikan A-Kiong mengumpulkan kardus-kardus yang terbuang untuk dijual. Kaleng-kaleng bekas oli, dan beberapa kotak yang patut ditimbang kilo dan menghasilkan uang. Ketika saya membayar upah hasil service sepeda motor saya, A-Kiong lebih berkenan berpangku tangan untuk menjadikan istrinya sebagai kasir. Meski terhitung mahal, tapi hasilnya memuaskan.

Itulah sedikit banyak kelebihan pedagang China. Mereka selalu mengutamakan mutu dan kualitas agar pelanggan tidak ikut kecewa. Melayani dengan sebaik-baiknya dan berkomunikasi dengan santun dengan pelanggannya. Kemudian, satu hal yang menjadi inspirasi bagi saya, mereka selalu merendahkan diri.

Namun di balik semua realitas yang ada, pedagang China yang menetap di Sigli sudah beranak pinak dan tak asing dengan masyarakat kota. Setiap sore mereka akan memakai kendaraan sederhana, pakaian sederhana, lalu mencari sepotong makanan, semisal martabat telor, lalu menutup malamnya sambil bermain burung merpati, atau binatang peliharaan mereka.

Kebiasaan orang China bagai sebuah benteng pertahanan ekonomi dalam peradaban di kota Sigli. Jika para pedagang lain meneruskan bukan mimpi di petang hari, akan tetapi ibarat keinginan mewujudkan kenyataan. Berbeda dengan pedagang India, yang lebih dominan menjual bahan-bahan kebutuhan nelayan. Atau mereka kerap memenuhi barang dagangan dengan rempah-rempah, agama yang dianut pun berbeda, mereka lebih cenderung dalam kepercayaan kuno, melafaz mantera-mantera di mana saja berada dan kekuasaan mahkluk gaib yang tidak rasio. Kepercayaan Hindu tetap mengalir dalam darah keromantisan mereka.

Pedagang China berbeda meski kuno namun mengikuti perubahan zaman, lihat saja setelah selesai bekerja mereka akan berkeliling taman sejenak dan melihat sungai-sungai seputaran kota, setelah menutup tempat usaha mereka. Malam hari, mereka manfaatkan waktu untuk beristirahat. Tak ada yang memperhatikan mereka dengan saksama, kecuali saat ada kabar kematian atau membuka usaha baru di seputaran kota.

Jika bertemu sanak saudaranya yang lain seperti kerabatnya yang datang dari Medan misalnya [sales] mereka akan nampak sangat akrab, dan berbahasa Mandarin.
Sekali waktu saya memperhatikan cara mereka memikat sejawat mereka dalam hubungan dagang (Aceh), mereka mengeluarkan dua bungkus rokok di depan meja, tapi tidak menghisapnya. Mulut mereka komat-kamit berbicara akan tetapi mata mereka berputar-putar mendelik seraya memperhatikan barang-barang seputaran ruang toko. Tangan mereka terus mencatat barang-barang yang dipesan dengan cepat.

Ada keunikan dalam pertemanan dengan warga China. Mereka akan meninggalkan tugas apa saja demi memenuhi undangan atau amanah kita. Bilamana ada acara kenduri, atau arisan atau kematian mereka akan hadir meski pun jauh. Atas dasar inilah kita dapat menyimpulkan bahwa salah satu kunci orang China berhasil adalah, 'Kepercayan dipeluk erat,' oleh mereka.

Ada pun dalam hal persahabatn dagang, mereka akan membantu keperluan sandang kita, seperti membangun rumah yang layak, dan menolong sesama orang susah. Bukan saling bergunting dalam lipatan. Mereka menghidupkan bukan mematikan.

Nah, ini menjadi pertanda, bahwa Kepercayaan orang China terhadap Tuhan mereka bukan hanya sebatas kategori, semua hal dibawa dalam agama saja. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kebutuhan spiritual. Kepercayaan terhadap agama meliputi semua asprk diri tak pernah lepas sedikit pun.

Memeluk kepercayaan bukan kategori yang harus dipilah-pilih dalam sandingan. Sebab unsur agama dan kehidupan adalah dari Tuhan. Orang Chin akan menyatu setiap detik walau bagaimana pun kondisi mereka.

Inilah praktik bukan saja teori belaka yang diemban orang China. Mereka akan membawa Tuhan dan dewa-dewa dalam diri mereka. Tidak membilah kepentingan, dan tidak pudar akan kepentingan yang bersifat absolut. Maka China Sigli pun melakukan hal sama dan menjadi orang sukses yang bisa menguasai dunia. Semoga.

Sort:  

Bereh that tulisannya. Ditunggu lagi ya tulisan lain @afridany