That too much screen time allegedly caused learning difficulties, speech delay and even triggering autism in younger children, we all have a degree of familiarity to it. Many sad examples had shown us that children with TV set or modern gadgets as their nannies grew up to be distant, cold adults who have no connections with the surrounding world. Not to mention the troubles the teachers of these kids must face to keep them paying attention to lessons. A short attention range is always a yellow lights to children’s ability to focus and learn—and, yes, this phenomenon has sprouted everywhere like weeds in every pre-school in this country.
But this piece isn’t about the danger of exposing your children to gadgets. It’s also won’t argue about how much screen time should they spend. This is just to record a personal journey in bringing kids up in this crazy time of a millennia.
My husband worked for the media for a lot part of his life. And I worked from home as a writer and book translator. True, from a very young age our children are very familiar with the sight of their parents’ noses buried in books—and yes, they are also familiar with the odd silence when their mommy and daddy sat like a pair of blokes in front of their laptops.
We have limited TV connection. So as soon as they could crawl, my three youngest kids (the other two have already grown and leave the nest) would sit on my lap and watched nursery rhyme videos from You Tube. The fourth, a girl, began banging on keypads at the tender age of two. She even managed to find videos that she liked by recognizing the icon—the cute owl from Super Simple Songs (these people made really awesome videos to teach EFL), or the smiling star of Little Baby Bum. At five, our youngest edited his own videos using my android, and recorded a two minutes documentary of himself, pretending to be a You Tuber, endorsing his own toes. The tween one, who is now in junior high, is really fond of coding.
At three, my fourth began to babble in English. Practically anywhere and anytime. I felt awkward everytime people in the supermarket stopped us to ask, “Have you guys spent some time abroad?” The problem is no, we haven’t. She just spent time with foreigners singing and talking to her in their native tongue, through.... screen. Nowadays my agony has just doubled, since my youngest is fond of commenting on everything in a loud voice, everywhere he goes. The fish market PPI Ujong Serangga at Susoh Bay, for instance. He rambles on and on. In English. Non stop. Imagine a little Acehnese boy, crouching near a couple of fishes, saying things like, “Look at the poor fishes Mommy! They’re all dead! Look, look, there is a huuuge shark over there! Oh my God, and there’s a stingray, too!” in a very western accent.
I am somehow flustered everytime I am entitled to answer the FAQ. I should thank the politeness of our fellow Acehnese, for smiling and nodding to my “mythical” answer, no matter how their facial expression betrayed their true feelings—that they don’t believe we had never enrolled the kids to any course.
Also began at the age of three, our little girl found the joy of drawing in the Paint app. She discovered how she could deliver magic by dragging and clicking at the mouse. Then one day she found out the way to stack her Paint window with her favorite You Tube “how to” channel . This resulted in she taught herself how to draw people or designing anime characters. And of course, the forever tailing little brother copying all his sister’s move, so he too becomes quite good at drawing in Paint.
Picture credit: Jealous Girl by Fathia Nash
They asking about “obsidian” and “ocelot”, found from a popular game, lead to a long discussion about endangered big cat species, mining methods and materials, and finding out about them in the pages of children books we have. When they want to know further, they return to the screen—to ask Madame Google and Sir Wikipedia.
I guess spending time with good-old-screen-nanny wouldn’t be that bad if some sort of learning new things could be maintain in the process. As long as my kids are concerned, watching videos in English somehow had tuned their mind to the language. Not only its sound or grammar but also on how that language works in everyday life. And by answering them in the same language, I created an almost alien environment which forced them to explore the language further to be able to communicate.
When my youngest son’s teacher in kindergarten told me that he spelled his name correctly ahead of his class, rattles off ABCs like a flooding tap, reads words like “squishy”, “cat”, “orange”, and does basic math by saying “five plus three equals eight”, it makes me think of all those screen time we spent.
Maybe there are some positive traits into spending screen-time, afterall. I don’t say that we can let our children to access whatever they want on screen. There ought to be some filters prepared.
But I still see hopes for the future of our young generation. As long as there are interactions and shared interests in optimizing the use of gadgets between parents and their children, it seems that the power of technology would only add to the value of family. A learned new skill, like directing and editing videos, designing characters using an app, or foreign language fluency, are welcomed bonuses.
A veteran mother whom I respect so much once said, raising children is like throwing yourself into a jungle, with a compass as our sole guidance. We have to find our own methods of survival, which often differs greatly from one family to another. Like “the seven qualities of human soul” that our daughter loves to recite, we need bravery, justice, patience, determination, kindness, integrity and perseverance to win the struggle.
Picture: The Seven Souls of Human by Fathia Nash
Versi bahasa Indonesia:
Mengapa saya tidak terlalu kuatir
Anak-anak menghabiskan waktu di depan komputer
Anak terlalu banyak menghabiskan waktu dengan memeloti monitor (komputer atau TV) dituding menyebabkan kesulitan belajar, keterlambatan bicara pada balita dan bahkan mencetuskan autisme, rasanya kita semua sudah cukup sering mendengarnya. Banyak contoh memilukan mengusung anak-anak yang diberi gawai dan TV sebagai “pengasuh” sehari-hari tumbuh menjadi orang dewasa yang dingin dan tak pedulian, yang gagal membangun keterhubungan dengan dunia sekitarnya. Ini belum lagi menyebut kesulitan yang dialami para guru untuk mempertahankan minat dan perhatian anak-anak ini pada pelajaran di kelas. Rentang perhatian yang pendek pada anak-anak selalu menjadi lampu kuning pertanda ada gangguan pada kemampuannya untuk berkonsentrasi dan belajar—dan memang benar, fenomena ini bermunculan bagai jamur di musim hujan, di seluruh pra sekolah di negeri ini.
Namun tulisan ini bukanlah tentang bahaya mengekspos anak-anak Anda pada gawai. Bukan juga argumen tentang berapa lama anak-anak dibolehkan menghabiskan “screen time”. Ini sekedar sebuah rekaman, jurnal pribadi tentang membesarkan anak pada zaman edan millenial.
Ayah anak-anak menghabiskan sebagian besar masa kerjanya di media. Saya sendiri bekerja dari rumah, sebagai penulis dan penerjemah buku. Memang benar, sejak usia sangat muda anak-anak kami sudah terbiasa melihat orangtuanya tenggelan dalam buku yang tengah dibaca—dan memang benar juga, mereka juga terbiasa dengan kesunyian ajaib saat emak dan bapak mereka duduk di depan laptop seperti sepasang boneka menong.
Saluran TV kami batasi. Jadi, begitu mereka pandai merangkak, ketiga anak saya yang terkecil (dua lagi sudah mandiri dan sudah meninggalkan rumah) biasa duduk di pangkuan saya, menonton video lagu dondang dari You Tube. Gadis kecil kami, anak keempat, mulai menekan-nekan tombol keypads pada usia dua tahun. Saat itu dia bahkan sudah berhasil mencari sendiri video lagu dondang yang disukainya dengan cara melihat lambang channel yang bersangkutan—si burung hantu imut dari saluran Super Simple Songs misalnya (orang-orang hebat ini mendesain video keren banget untuk mengajar EFL) atau si bintang tersenyum dari Little Baby Bum. Umur si Bungsu lima tahun ketika dia belajar mengedit video di android saya, pura-pura jadi You Tuber yang membahas jari-jari kakinya sendiri. Si remaja galau, yang duduk di bangku SMP, bukan main sukanya pada urusan coding.
Pada usia tiga tahun gadis keempat kami ini mulai ngoceh dalam bahasa Inggris. Kapan saja dan di mana saja. Saya sering kikuk kalau orang di swalayan sengaja berhenti untuk bertanya, “Ibu, keluarganya dulu tinggal di luar (negeri) ya?” Masalahnya adalah...belum pernah. Gadis kami sekedar diajak ngobrol dan menyanyi oleh orang asing...lewat monitor. Akhir-akhir ini saya harus dobel kikuk, karena si bungsu senang mengomentari segala sesuatu dengan suara lantang, ke mana saja dia pergi. PPI Ujong Serangga di Teluk Susoh, misalnya. Dia mengoceh ini itu. Dalam bahasa Inggris. Terus menerus. Coba bayangkan seorang lelaki Aceh mungil berjongkok dekat tumpukan ikan sambil bicara, “Look at the poor fishes Mommy! They’re all dead! Look, look, there is a huuuge shark over there! Oh my God, and there’s a stingray, too!” dengan logat sangat barat.
Saya selalu agak bingung saat harus menjawab pertanyaan orang tentang anak-anak. Rasanya saya harus berterima kasih pada sopan santun orang Aceh, yang selalu tersenyum lebar sambil manggut-manggut menanggapi jawaban saya. Walau pun ekspresi wajah mereka tetap menunjukkan bahwa mereka tak percaya anak-anak tak pernah ikut les.
Mulai usia tiga tahun jugalah si gadis keempat menemukan asyiknya menggambar menggunakan app Paint. Dia belajar menuang sihir di monitor dengan menggeser dan mengklik tetikus. Lalu suatu hari dia menemukan caranya me”numpuk” jendela tempat dia menggambar dan jendela saluran “how to” You Tube yang dia suka. Hasilnya, dia belajar sendiri menggambar manusia dan mendesain karakter anime. Dan tentu saja, si adik yang selalu membuntut, ikut-ikutan pandai menggambar menggunakan Paint juga.
Pertanyaan mereka tentang “obsidian” dan “ocelot”, yang mereka dapat dari sebuah game terkenal, berujung pada diskusi panjang tentang spesies kucing besar yang terancam punah, cara membuka tambang dan bahan apa saja yang dapat digali di tambang. Ini juga mendorong mereka mencari informasi dari buku-buku pengetahuan anak yang ada di rumah. Ketika mereka ingin tahu lebih lanjut, mereka balik ke monitor—bertanya pada Makcik Google dan Angku Wikipedia.
Rupanya menghabiskan waktu dengan diasuh monitor layar kaca tidak terlalu buruk jadinya, kalau masih ada kegiatan belajar yang bisa dilakukan di sana. Pada kasus anak-anak kami, menonton video berbahasa Inggris ternyata “menyetel” otak mereka untuk berpikir dalam bahasa itu. Bukan sekedar untuk tata bahasanya, tapi juga bagaimana menerapkan bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari. Dan ketika saya menjawab obrolan mereka dalam bahasa yang sama, saya menciptakan lingkungan “asing” yang memaksa mereka untuk terus mencari kosa kata baru agar dapat berkomunikasi dengan ibunya.
Ketika guru TK si bungsu laporan bahwa si buyung mampu mengeja namanya dengan benar, paling duluan dari teman sekelasnya, atau merepet menyebutkan abjad seperti keran bocor, atau sanggup membaca kata-kata seperti “squishy”, “cat”, “orange”, atau mengerjakan soal matematika lisan dengan bicara “five plus three equals eight”, saya jadi teringat waktu-waktu yang kami habiskan memelototi monitor.
Barangkali sesungguhnya ada nilai-nilai positif dari “memelototi monitor”. Tentu saja, kita tidak bisa membiarkan anak-anak mengakses apa pun yang mereka inginkan. Saringan dan pengawasan harus tetap ada.
Namun saya masih melihat ada harapan untuk generasi muda kita. Selama masih terjadi interaksi aktif serta berbagi minat yang sama antara anak dan orangtua ketika menggunakan gawai, teknologi dapat dijadikan sarana meningkatkan nilai-nilai keluarga. Keterampilan baru yang ikut dipelajari saat berinteraksi dengan gawai, seperti mengarahkan dan menyunting video, mendesain karakter dengan aplikasi, atau pemahaman bahasa asing, adalah bonus yang menyenangkan.
Seorang ibu yang sangat saya hormati suatu saat pernah bilang, bahwa mendidik anak itu “seperti masuk hutan dengan hanya bawa kompas”. Kita harus menemukan sendiri cara bertahan hidup yang tepat, yang tentu saja berbeda dari satu keluarga ke keluarga yang lain. Seperti “Tujuh Kualitas Jiwa Manusia” yang sering disebut gadis kami, kita orangtua memerlukan Keberanian, Keadilan, Kesabaran, Kemauan keras, Keramahan, Integritas dan Ketekunan untuk berhasil memenangkan perjuangan itu.
Miss uu athaya, aijes dan fathia :D
Miss u too Oomaji...kata Thatijaz
Saya akan baca nanti
Terima kasih atas perhatiannya
i like the smile of the boy beside the baby shark.. emm.. can he sing "baby shark" song kak? 😁