Design by @hayatullahpasee
Tiga hari lalu sepulang dari Taman Ratu Safiatuddin saya mampir ke Anjungan Tunai Mandiri di kawasan Jalan Pocut Baren. Saya hendak mentransfer uang untuk membayar buku Kura-Kura Berjanggut yang saya beli. Bukunya pun telah saya terima dengan selamat. Sampai di ATM, karena masih ada orang di dalam, saya pun mengantre.
Tak lama kemudian orang tersebut keluar, bersamaan dengan itu seorang anak muda yang sebelumnya hanya duduk di motor di seberang got tiba-tiba menyerobot masuk ke bilik ATM. “Bisa, Bang?” ujarnya berbasa-basi kepada nasabah yang barusan keluar. Ia sama sekali tidak acuh pada yang sudah mengantre.
“Anak itu tanpa mengantre main masuk-masuk aja,” sebuah suara di belakang bikin saya kaget. Baru sadar ternyata ada seorang bapak yang ikut mengantre. “rugi aja itu yang dipakai di kepalanya (peci),” sambung bapak tersebut.
Komentar itu membuat saya meringis. Harusnya benda yang dipakai di kepala pemuda itu tak turut disalahkan. Tapi ya... mau bagaimana lagi, itu bagian dari konsekuensi.
Mak tersayang
Sehari setelah itu, pemandangan yang juga bikin hati saya miris terjadi di depan mata. Kali ini di bank, saat saya sedang menunggu antrean untuk mengurus kartu ATM yang terblokir dua hari sebelumnya. Sehari sebelumnya saya sudah datang sekali, tapi melihat membeludaknya manusia yang mengantre saya putuskan pulang. Hari berikutnya saya datang lagi.
Saya duduk di kursi dekat pojok ruangan. Berselang satu kursi dari saya, duduk seorang perempuan paruh baya. Berjarak satu meter dengannya berdiri seorang remaja perempuan yang memegang buku tabungan warna abu-abu. Saya menduga, remaja itu pastilah salah satu anak penerima beasiswa yatim. Pasalnya sudah beberapa hari ini bank dipenuhi oleh anak-anak usia sekolah yang mengambil beasiswa yatim.
Kedua perempuan beda usia ini sepertinya punya hubungan karena mereka saling berkomunikasi. Karena berada dalam posisi yang sangat dekat, komunikasi mereka terdengar oleh saya.
“Coba bawa ke sini bukunya,” kata perempuan paruh baya itu dengan suara pelan.
Mungkin ia ingin memeriksa buku tabungan si gadis remaja itu. Namun jawaban remaja itu bikin saya ingin geleng-geleng kepala. Dengan wajah cemberut ia menggeleng cepat, pertanda tak ingin memenuhi permintaan itu. Suaranya mengeluarkan bunyi kecil akibat gesekan lidah dengan langit-langit atas di rongga mulut. Kalau istilah ibu saya, suara itu disebut ‘meucet’. Ibu akan sangat marah kalau tanpa sengaja kami mengeluarkan suara itu untuk membantahnya. “Nyan durhaka keuh nteuk,” begitu dulu Ibu sering mengingatkan ketika kami masih kecil. Saya pribadi memaknai suara ‘meucet’ itu bentuk lain dari kata ‘ah’. Kata yang sudah diwanti-wanti oleh Allah di dalam Alquran agar tak boleh diucapkan kepada orang tua. Konon lagi yang melebihi itu.
Teman-teman goweser
Dalam situasi yang lain saya pun pernah mendapati seorang anak mengatakan ibunya ‘bodoh’ sambil bercanda. Anehnya sang ibu pun sepertinya tidak merasa terganggu dengan ucapan anaknya yang spontan itu. Mungkin ia merasa dirinya memang benar-benar bodoh sehingga tak ingin menegur ucapan si anak, atau memang dia tidak sadar apa yang diucapkan anaknya barusan. Bisa jadi, sebab mereka sedang bercanda-canda ria saat itu.
Apa yang saya ceritakan di atas hanya contoh kecil dari sikap yang berkaitan dengan akhlak dan adab. Kita boleh sepintar apa pun, bersekolah/mengaji setinggi langit, tetapi kalau akhlak kita buruk, apa gunanya? Orang dengan akhlak yang buruk adalah pribadi-pribadi yang suka menyepelekan orang lain, tak suka menerima perbedaan pendapat, merasa benar sendiri, atau terserang penyakit hati.
Jika diibaratkan dengan rumah, akhlak itu adalah apa yang terlihat dari luar. Jika situasinya menyenangkan dan nyaman, tentu kita penasaran ingin masuk, ingin melihat-lihat apa yang ada di dalam rumah. Begitu juga dengan manusia, jika akhlaknya baik tentu kita pun bersemangat ingin menjalin pertemanan dengan orang tersebut. Tapi jika orang itu angkuh, sombong, sok, songong, syukur-syukur tidak pantengong pastinya akan membuat kita menjaga jarak dan menarik diri. Bukan tidak mungkin kita justru merasa risih dan was-was berada di dekat orang seperti itu.
Mendidik generasi Islam yang berakhlak mulia dan beradab
Akhlak tidak baik yang dipertontonkan di depan orang lain bukanlah perilaku terpuji. Selain mempermalukan diri sendiri juga akan membuat orang berpikiran negatif kepada kita. Lebih buruknya, akhlak buruk yang kita pertontonkan itu bisa berdampak pada orang lain, seperti orang tua kita. Bukankah cukup sering kita mendengar ungkapan, "seperti tidak diajar oleh orang tuanya". Padahal belum tentu orang tuanya tidak mendidik anaknya agar berakhlak atau berbudi pekerti yang terpuji.
Secara bahasa akhlak berarti perangai atau tingkah laku. Seseorang yang memiliki akhlak terpuji pasti akan memerhatikan adab-adab ketika berinteraksi dengan orang lain. Pandai membawa diri ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, tidak semena-mena pada yang lebih muda, dan tahu bagaimana memperlakukan teman sebaya. Semoga kita bisa terus berbenah diri. Aamin.[]
Aku menunggu ulasanmu tentangKura-Kura berjanggut :D
Aku belum baca, sampul plastiknya pun belum kubuka. Kupikir tak apa menundanya sejenak sampai aku benar-benar luang, sekarang sudah tanggung. Kupikir, setelah membacanya nanti aku tak akan bikin ulasa, terlalu tebal untuk disarikan hahahaha. Coba kamu sarikan Big Breast...biar aku berhasrat untuk membacanya hahahahah.
Kurasa Big breast itu walau yang mengulasnya adalah Ayu Utami, pasti kamu tidak akan mau juga membacanya... novel itu tentang perjuangan seorang wanita yang ingin membahagiakan suaminya dengan cara melahirkan anak lelaki, namun yang lahir perempuan semuanya, barulah di akhir si anak lelaki lahir... :D
hahahaha berbeda kalau kamu yang mengulasnya :-P
Aku tidak fokus mengulasnya, terjebak pada breastnya itu looh..
:-P
Baca tulisan Kak Ihan tapi ingatnya anjungan. Lagi aku siapin Kak, ya. Setengah lagi. Hehehe.
Siapkan terus ya, biar bisa kita bedah hari Sabtu ini. Biar ada tiga naskah...
Pernah sekali diingatin sama dosen tamu, kerjaan tenaga pendidik sekarang ( dalam hal ini di kampus) adalah mengajarkan akhlak pada mahasiswanya. Sebegitunya parahnya udah
Dalam sebuah artikel yang aku baca, para ulama mengatakan, mereka mempelajari akhlak selama 30 tahun, sedangkan mempelajari ilmu cuma 20 tahun, itu artinya akhlak memang sangat penting. tadi pun dengan Bibi kami baru bincangkan itu, jempol ke bawah sudah sekarang terkait akhlak. miris.
Sangat menginspirasi kami, thanks kak atas artikel renungannya.
terima kasih sudah berkunjung @yasliapoetry....
Mengajarkan sopan santun dan adab pada anak2 adalah tantangan tersendiri di zaman sekarang yang luar biasa ini, miris 😥
yang udah ngerasain jadi ibu tahu gimana tertantangnya ya kak?
Terimakasih telah menggunakan #ramadan-tkf, ditunggu artikel berikutnya, segala yang berkaitan dengan Ramadhan
Salam hangat dari Kanada,