Seminggu yang lalu aku menonton sebuah acara reality show di Australia yang mengadaptasi sebuah acara dengan nama sama di US. Namanya ‘married at first sight’. Ceritanya, para jones (jomblo ngenes) yang sudah lama gonta ganti pacar ataupun sudah cukup ‘desperado’ dalam mencari pasangan tapi tidak juga menikah bisa mendaftar ke pengelola acara ini. Lalu sebuah tim ahli yang terdiri dari ahli sosiologi, seksologi, psikologi dan penasehat spiritual berusaha menjodohkan orang yang pas. Setelah ketemu kira-kira seseorang yang pas, mereka akan dipanggil secara personal, diuji kesiapan untuk menikah resmi dan tiba-tiba dengan seseorang yang sama sekali tidak dikenal. Mereka juga diminta mengajak keluarga terdekatnya untuk bersiap-siap. Tidak ada tahap ta’aruf ataupun pacaran, mereka akan dipertemukan dalam sebuah ajang pernikahan, baik di gereja maupun di tempat lain, di depan altar, diminta menikah dahulu, lalu difasilitasi untuk bulan madu selama 6 minggu lalu memutuskan apakah akan tetap menikah ataupun akan bercerai.
Tentu adrenalin kita sebagai penonton akan naik dan mengikuti turbulensi emosi calon pengantin. Mereka tak tahu SAMA SEKALI tentang calon pasangan legal mereka. Mereka pasrah saat ditanya oleh keluarga, apakah ini main-main belaka ataupun sesuatu yang serius dan akan mempengaruhi hidup mereka selamanya? Apakah pernikahan itu legal secara agama atupun hanya untuk kepentingan TV dan popularitas? Tentu sangatlah menarik menyaksikan deg-degan-nya para pemain.
Ada banyak saat dimana jantung kita mulai deg-degan akibat kadar adrenalin memuncak. Puncak adrenalin pertama akan dicapai pada saat mereka bertukar janji di altar. Ada yang merasa langsung ‘connected’ tapi banyak juga yang merasa ‘have not got the personality cliqued’. Puncak adrenalin kedua adalah saat keluarga mempelai memperlihatkan rasa tidak suka terhadap anggota keluarga ‘baru’ yang dipaksakan masuk ke keluarga mereka. Puncak adrenalin ketiga adalah saat bulan madu mereka mulai bertengkar. Dan puncak terakhir adalah saat 6 minggu berakhir mereka memutuskan akan tetap menikah ataupun akan bercerai.
Bagiku secara pribadi, dengan pengalaman mencomblangkan 24 pasangan yang berakhir di pelaminan (dan 60 pasangan lain yang belum berhasil) tentu acara ini sangat menarik. Banyak pelajaran baru yang aku dapat. Kenapa aku berhasil ataupun gagal, yang selama ini masih diliputi misteri, karena aku pribadi merasakan ‘tangan Allah’ sangat banyak berperan daripada hanya seorang mak comblang perantara pernikahan. Pengalaman 15 tahun berprofesi sebagai mak comblang memang terkesan ‘mengagumkan’ bagi sebagian orang –orang yang baru mendengarnya ataupun kurang familiar dengan praktik ‘arranged marriage’. Tapi…secara rendah hati aku merasakannya sebagai pertolongan biasa dari seorang teman, untuk menjalani taqdir Allah dengan memilih taqdir terbaik yang bisa kita pilih (Ingat: taqdir itu ada yang tidak bisa diubah dan ada yang bisa dipilih: taqdir mubram dan mu’allaq).
Jadi secara prinsip, ‘I am not against this reality show’. Justru aku banyak belajar dari acara itu. Sayangnya sebagian besar pasangan yang mengikuti reality show tersebut bercerai kurang dari 1 tahun setelah acara selesai. Masalah utama yang aku temukan adalah: mereka tak siap untuk mengarungi gelombang pernikahan.
Nasehat yang berharga aku temukan saat mewawancarai pasangan-pasangan yang telah menikah lebih dari 30 tahun. Rata-rata mereka mengatakan bahwa ada saat-saat dalam pernikahan itu dimana mereka tidak bisa mencintai pasangannya lagi. Seperti yang dikatakan Ibu Nita (nama samara) berikut ini:
“Saya telah menikah lebih dari 40 tahun. Sudah ada 4 anak dan 6 cucu. Pelajaran terpenting yang saya dapat bahwa rasa cinta dalam pernikahan itu selalu berubah. Terkadang saya merasa sangat mencintai suami saya, tapi di saat lain saya hampir tidak sanggup menyukainya sama sekali. Sebal bukan main. Seperti lautan, ada pasang surutnya. Kadang kami bisa tertawa bersama, tapi tak jarang juga ingin saling berteriak bertengkar. Jadi jika saya merasa sedang kesal, saya berusaha bersabar dan meyakinkan diri saya bahwa akan ada saatnya perasaan kesal itu pergi dan berganti dengan perasaan suka. Jangan mudah menyerah dan bercerai.”
Aku sadar sekali bahwa nasehat itu adalah untuk diriku sendiri, seakan dikirim Allah special untukku. Karena pernikahanitu seperti apa yang dinasehatkan orang saat kita menikah: “selamat mengaruhi bahtera kehidupan pernikahan”. Benar sekali. Pernikahan itu seperti naik ke kapal bersama seorang asing, berusaha tetap bersama dalam badai dan gelombang, juga saat laut tenang dan menyenangkan. Tentu nasehat ini bisa juga untuk Anda semua, kan?
Hidup manusia memang terkadang naik dan sering juga turun. Kita kadang mendapatkan pekerjaan yang kita sukai, tapi juga pernah dipecat atau diberhentikan dengan hormat. Ada saat sehat, tapi juga ada saat sakit. Dapat uang banyak, ataupun juga kehilangan uang lebih banyak. Ada saat pindah rumah, pindah pekerjaan, pindah kesukaan. Demikian juga pasangan kita. Maka kita perlu belajar mengarungi gelombang kehidupan mereka juga, betapapun dahsyatnya badai. Dia juga perlu belajar bertahan dengan naik turunnya emosi kita, yang terkadang lebih dahsyat dari tsunami. Karena seperti lagu Chrisye: Badai pasti berlalu. Dan kita akan memandang si dia dengan tersenyum. Cie….
Ada beberapa tips yang aku kumpulkan selama perjalanan 17 tahun menikah (mohon doanya supaya kami bisa bertahan lebih lama lagi):
Tumbuhkan rasa hormat kepada pasangan. Jika dia sedang ‘all time low’ alias berada pada titik terendah kehidupannya, tetaplah jaga rasa hormat padanya. Ia masih manusia. Tiap manusia berhak dihormati. Walaupun tidak kita temukan perasaan cinta, rasa hormat dan menghargai pasangan akan memudahkan kita bertahan. Jika pun terpaksa bertengkar, bertengkarlah dengan tetap menghormati. Coba baca artikel tentang bertengkar dengan harmonis.
Tuliskanlah surat cinta untuknya di saat kita sedang berbunga-bunga. Tumpahkan semua perasaan cinta dalam surat itu. Lukiskan kebahagiaan kita. Boleh disampaikan kepada pasangan, tapi boleh juga kita simpan untuk diri kita sendiri. Supaya ada bukti, bahwa kita pernah mencintainya. Jika sedang kesal, bacalah lagi. Yakinkan diri sendiri, rasa kesal ini akan segera berganti, karena rasa cinta dan benci itu selalu dinamik, senantiasa berubah. Sabar aja.
Selalu focus pada pasangan kita, karena ia hadir lebih dahulu daripada anak-anak. Jangan prioritaskan anak dibanding pasangan. Ingatlah bahwa hadiah terbaik bagi anak Anda adalah sebuah pernikahan yang sehat dan bahagia. Anak kita tidak akan bahagia ketika melihat kita bercerai.
Pahami bahwa manusia itu selalu berubah. Pasangan kita juga akan terus berubah. ‘Each of you will continue to grow’. Jadilah orang pertama yang menerima perubahan dirinya, jika perubahan itu wajar. Terimalah bahwa ada keriput dan ubah ataupun kebotakan yang datang. Terimalah bahwa pekerjaannya tak menghasilkan uang sebanyak dahulu. Jangan bilang padanya ‘terima aku apa adanya’ karena itu tak sopan, seharusnya hal itu adalah seruan untuk diri kita sendiri: “terimalah dia apa adanya’.
Tetaplah bercinta walau dalam keadaan tidak suka. Seks bisa memperkecil masalah. Masalah besar berubah menjadi kecil, masalah kecil menjadi hilang. Jika kita menghindari seks saat kita ‘marahan’, konsekuensinya adalah masalah kecil jadi besar, masalah besar menjadi tak terhingga. Tak sanggup kita selesaikan. Jangan terlalu banyak syarat dalam bercinta. Jika seks belum dapat menyelesaikan, pergilah curhat pada orang yang dapat menyelesaikan masalah (konselor pernikahan, misalnya), bukan asal curhat pada siapa saja, apalagi di medsos. Supaya masalah tidak berubah menjadi gossip.
Semoga 5 tips ini bermanfaat ya. Let me know your opinion about it. Post some comments. Pertanyaannya: Siapkah Anda berlayar?
Wah dok.. Ilmunya bermanfaat sekali.. Wlopun blum nikah tp bisa dijadiin petunjuk ntar klo dah nikah.. Terimakasih dok @keluargabahagia.. 😊