Untung rugi biasanya diukur dari seberapa besar pendapatan, dan seberapa besar pengeluaran. Nilai ekonomis selalu menjadi sebuah ukuran dalam kalkulasi setiap orang.
Dijaman moderen seperti ini, orang tak lagi peduli soal apakah takaran keuntungan dapat merugikan orang lain atau tidak, yang penting keuntungan bisa didapat meski harus dengan cara menzalimi orang lain.
Manusia sekarang ketika memahami nilai guna, pasti dan harus materialistik, hingga seakan-akan selain hal yang materialistik tidak disebut nilai guna.
Kalau orang berkumpul dalam forum diskusi keilmuan atau pengajian, itu berarti tidak bernilai guna dan hanya omong kosong belaka karena tidak menghasilkan keuntungan materialistik dalam bentuk uang, makanan jika kita lapar atau segala yang bersifat jasad.
Ditinjau dari dari filsafat ekonomi, hal ini seakan-akan sedang menguak tentang pertimbangan sosial masyarakat yang hanya bertumpu pada cost-bennefit sehingga berkubang pada jiwa ekonomisme. Manusia yang sudah tidak peduli akan reward-punnishment dalam bentuk harkat dan martabat.
Padahal sejatinya cost diusahakan hanya untuk kepentingan menunjang reward. Kerancuan mindset manusia yang seperti ini juga bahkan berdampak pada prinsip hukum yang dibangun, yakni pada prinsip untung-rugi bukan prinsip atas pertimbangan moral.
Nilai kerohanian seakan sudah menjadi sesuatu yang tak lagi dibutuhkan. Sementara ketika bangkrut, barulah seseorang tersedar, bahwa nilai kerohianlah yang menjadi penompang agar dia tetap bertahan hidup.
