Kalau Gengsi, Jangan Jadi Entrepreneur!

in #life7 years ago (edited)

Part 1

Pada era globalisasi dan teknologi serta dukungan berbagai macam aplikasi saat ini, tak menutup kemungkinan isi dompet menjadi suatu tolak ukur seseorang itu sukses atau tidak. Bahkan sekarang ini, sudah muncul uang digital yang didapatkan secara virtual seperti bitcoin salah satu contohnya.

Kesuksesan seseorang tidak hanya dilihat dari hasil yang ia dapatkan, tapi bagaimana proses yang dijalaninya secara tahap demi tahap. Berusaha dengan tekad yang jujur dan semangat, tidak bekerja dengan perbuatan yang tak bermartabat.
Saya, yang bertempat tinggal dan dibesarkan di kawasan lingkar kampus Unsyiah baru menyadari 3 tahun yang lalu (tahun 2015), beberapa jurusan kampus memberi materi tentang kewirausahaan yang menuntut agar mahasiswa dapat menjadi seorang entrepreneur. Saya sangat salut melihat adik-adik yang semangat membuka usaha kecil-kecilan seperti es cincau, es bubble, voucher pulsa, nugget, dan masih banyak lagi.
Jadi tak usah heran jika Anda mengunjungi kota Banda Aceh, banyak cafe-cafe minimalis yang didesain secara unik. Pemiliknya?? Kebanyakan masih usia 20-an lho. Mereka benar-benar berani membuka usaha pada usia muda.
Tidak ada kata "gengsi" di kamus mereka.

image
(Source: http://www.meutiadiary.com/2016/06/bersantai-di-kedai-authentic.html?m=1)

image
(Source: https://kizuproculinary.blogspot.co.id/2017/04/gravity-coffee-bistro.html?m=1)

Baiklah, itu sekilas cerita tentang pengusaha kawula muda. Kali ini saya ingin menceritakan sejarah perjalanan perdagangan saya dengan saudagar kaya.
Sebelumnya, saya tidak pernah diajarkan atau ditanamkan "wejangan" terkait cara berdagang oleh orang tua saya. Entah mengapa, rasa "ingin berjualan" itu muncul pada diri saya sendiri.
Tepatnya pada saat saya kelas 5 SD. Saya yang hobby menggambar sering membuat gambar cupcake di kertas HVS dan mewarnainya.

Nah, kebetulan waktu itu ada mata pelajaran Keterampilan yang menugaskan siswanya bebas berkreasi. Maka, saya segera menggunting cupcake-cupcake yang telah saya warnai itu dan saya menempelkannya di buku gambar. Melihat perbuatan saya, akhirnya teman kelas saya meminta dibuatkan gambar cupcake juga. Lalu terbersit di kepala saya, saya jual saja per cupcake Rp 50 (saat itu nilai mata uang paling rendah adalah 25 sen). Awalnya saya memasang tarif dengan alasan karena saya tak sanggup menggambarnya. Kendatipun begitu, permintaan pasar semakin meningkat dari hari ke hari. Ada yang meminta dibuatkan gambar blackforest dengan lilin menyala di atasnya, dan ada yang meminta dibuatkan gambar kue donat. Mungkin teman-teman SD saya yang saat ini membaca tulisan saya bisa mengingat-ingat kembali pernah beli gambar saya atau tidak. 😊
Penghasilan saya saat itu bisa dikisarkan 1.000 sampai 1.500 rupiah. Uang tersebut saya tabung karena saya ingin sekali membeli kotak pensil yang jika dibuka terdapat sekat bertingkat di dalamnya.
Masa-masa keemasan berjualan gambar cupcake mulai meredup seiring pergantian semester dan naik ke kelas 6.
Saya mulai menghentikan usaha cupcake yang (tak) menjanjikan itu.

Hari-hari saya lewati dengan santai di sekolah dan kalau sudah pulang ke rumah, saya sering keasyikan membaca majalah Bobo dan komik Doraemon. Tidak seperti anak SD jaman now, pulang sekolah jam 13.00, setelah itu masuk lagi dari jam 14.30 sampai jam 18.00. Ransel sudah seberat cargo pesawat, jalan sudah bungkuk-bungkuk menahan beban, kacamata sudah tebal-tebal. Senangnya masa-masa SD saya, badan tidak sakit, kepala juga tidak ikutan sakit.
Jadi suatu hari, Ayah membelikan saya beberapa buah buku cerita horor Goosebumps karangan R.L. Stine. Saya sangat menyukainya.
Tanpa sengaja saya menemukan sebuah artikel tentang R.L Stine di majalah Bobo yang membahas tentang beliau tak bisa menggambar, sebab itu beliau membuat cerita horor yang tak bergambar.
Hal itu memotivasikan saya untuk membuat cerita horor karangan sendiri. Akhirnya saya menulis cerita horor di kertas HVS dengan kapasitas tulisan anak SD yang pasti anda tau bagaimana ke-khas-annya.
Saya menulisnya hingga 2 lembar.
Sampai saat ini, judul yang paling saya ingat adalah "Mesin Tik Tua", "Kursi Goyang", dan "Berbie Tidak Punya Kepala".
Judul lainnya saya tidak ingat.
Sungguh saya mempunyai imajinasi yang pas-pasan ketika menulis cerita tersebut.
Setelah saya tulis dan jepit rapi. Saya membawanya ke sekolah. Pada jam istirahat, saya mengeluarkan kertas cerita saya dan mengatakan kepada teman-teman siapa yang ingin menyewanya untuk dibawa pulang. Kalau diingat-ingat sekarang, saya merasa senang sebab teman-teman saya memiliki antusias tinggi. Mereka menyewa kertas cerita saya dengan harga Rp 50/judul.
Sekali lagi, mungkin teman SD saya yang saat ini membaca tulisan saya boleh diingat-ingat pernah menyewa cerita saya atau tidak. 🖒😂

Begitulah, meskipun usaha "kertas cerita horor" saya tak seviral tukaran kertas binder mickey mouse adinata, saya merasa senang dengan tabungan saya bertambah.

bersambung

Jangan lupa di vote ya teman-teman.

Sort:  

wah luar biasa.
skrg sudah ada tempat pelampiasan karya tulis.
terus lah menulis walaupun blk ada yg vote ya cousin @nadiaaldyza

Makasi supportnya uncle @haryadiglanggang 😊🖒

berawal dari yang kecil.. bagus,,

Terima kasih sudah mampir bang @arulkomand4n 😊

Ini kenapa Part 1 nya di sini, dan Part 2 di blog hahaha

Hihi..penulisnya galau bang.😂

Congratulations @nadiaaldyza! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

Click here to view your Board

Support SteemitBoard's project! Vote for its witness and get one more award!

Congratulations @nadiaaldyza! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 2 years!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!