Ekonomi menjadi penggerak utama dalam roda kehidupan, asumsi ini sudah sangat mengkristal dalam kehidupan sehari-hari. Betapa tidak, beberapa teman saya berani mengambil kesimpulan bahwa ketiadaan ekonomi (uang) adalah hambatan besar dalam melangsungkan kehidupan, tidak ada uang tidak bisa melakukan aktivitas dengan lancar, asumsi ini semakin menjadi-jadi, apalagi pada zaman kontemporer ini tingkatan sosial semakin memudar.
Hal ini semakin terasa bagi yang berdomisili di kota, untuk biaya kehidupan sehari-hari sangat besar, semua harus dibeli, jiwa sosial semakin memudar, kota adalah tempat urban bernaung.
Namun, bagi yang berdomisili di kampung-kampung, umumnya di Aceh, nilai sosial, tenggang rasa masih terasa dan terawat. Bayangkan, untuk lauk-pauk yang dikonsumsi sehari-hari masih bisa dipetik di halaman rumah, atau mendapat dari tetangga dan warga kampung saling berbagi.
Memang biaya hidup di kampung lebih nyaman dibanding dengan beban hidup di kota dengan segala carut-marut dan ketersinggungan dalam perilaku perekonomian.
Misalnya juga, ketiga tidak mempunyai uang untuk membeli ikan, bagi masyarakat pesisir bisa menggunakan tenaganya untuk membantu perahu pukat nelayan dengan menarik pukat. Sudah adat para nelayan, akan memberikan ikan hasil tangkapan kepada yang membantu. Ikan yang didapatkan dari interaksi sosial yang masih terpupuk dengan baik bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari
Bukankah hal demikian itu suatu berkah bagi masyarakat yang tinggal di kampung atau desa-desa. Saya rasa nilai sosial yang saling membantu dan tegang rasa harus tetap dirawat sebagai warisan terhadap generasi selanjutnya. Lokal wisdom (kearifan lokal) yang patut dijaga dengan baik, suatu kebanggaan tersendiri tinggal di kampung dan interaksi sosial masih berjalan normal.