Dalam Al-Qur’an tepatnya dalam surat An-Nisa banyak disebutkan tentang konsep pembagian harta warisan, termasuk juga bahagian yang diterima masing-masing ahli waris. Konsep ini kemudian dijadikan pedoman untuk mengkaji lebih mendalam tentang persoalan Mawarist dan dibahas secara mendetail. Dalam ilmu fiqih permasalahan ini dibahas dalam bab tersendiri yang dinamakan dengan bab Mawarist.
Konsep fiqih dalam Islam tentang kewarisan yang diadopsi dari Arab tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia, indikasi ini diperoleh dari keluhan masyarakat. keluhan ini dilatar belakangi oleh keragaman bentuk system kekeluargaan yang ada di masyarakat Indonesia, sehingga secara tidak langsung terjadi penolakan dalam masyarakat. Setelah sekian abad Islam masuk ke Indonesia, hukum fiqh kewarisan terasa sulit menawarkan diri dalam masyarakat terutama di daerah-daerah tertentu, seperti Aceh, Minangkabau, Banten dan daerah lainnya.
Untuk menyesuaikan perbedaan kultur tersebut, Para Ulama Indonesia kemudian mengadopsi hukum-hukum tersebut dan disesuaikan dengan kultur masyarakat Indonesia sehingga terbentuklah Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI dipandang sedikit banyak telah mengakomodir kultur masyarakat menjadi bahagian dari hukum, termasuk hukum mawarist. KHI menjadi salah satu landasan hukum yang digunakan masyarakat dalam mengatasi problema hukum yang terjadi, termasuk juga menjadi landasan hukum mawarist.
Baik fiqh mawarist dan KHI sama-sama diamalkan dalam masyarakat, namun intensitas pengamalannya tergantung dari masyarakat itu sendiri, kadang ada sebahagian masyarakat yang menerapkan hukum mawarist dengan mengacu pada fiqh mawarist, kadang ada juga sebahagian masyarakat yang hanya menggunakan landasan hukum formal dan penerapan permasalahan mawarist yang mereka hadapi. Kadang juga ada sebahagian masyarakat yang hanya berpedoman pada ketentuan adat yang berlaku di tempat tersebut.
Dalam karya ilmiyah ini penulis mencoba untuk meneliti secara mendalam tentang penerapan hukum mawarist dalam kehidupan mereka, dengan melihat sejauh mana kecenderungan mereka menggunakan hukum Islam atau hukum Formal. di samping itu juga, dalam karya ilmiyah ini penulis mencoba menemukan beberapa kasus yang berkaitan dengan mawarist dan bagaimana penyelesaiannya.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Samalanga, dipilih kecamatan Samalanga karena Kecamatan Samalanga identik dengan sebutan Kota Santri yang dipahami sebagai kota tempat digali ilmu-ilmu pengetahuan Islam. Indikasi ini menunjukkan bahwa segala permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Samalanga diselesaikan dengan mengacu pada hukum Islam. Namun, kenyataan di lapangan membuktikan bahwa ada sebahagian masyarakat Samalanga yang menggunakan landasan hukum lain, baik itu hukum formal atau hukum Adat.
B. PEMBAHASAN
- Pengertian Mawarist
Ditinjau dari bahasa mawaris berasal dari “miras” merupakan bentuk maf’ul bih dari kalimat warisa-yarisu-warsan yang memiliki arti perpindahan harta seseorang kepada orang lain setelah meninggal , yang dalam Bahasa Indonesia bermakna peninggalan orang meninggal yang diwariskan kepada ahli warisnya. Mawaris juga sering disebut dengan Ilmu Faraedh, yang secara bahasa faraidh jama’ faradhah yang dalam konteks ilmu waris adalah ilmu yang dalam telah ditetapkan oleh Syara, sedangkan ilmu mawaris sendiri dapat diartikan ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima harta pusaka/warisan, orang yang dapat menerima warisan, kadar pembagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris dan tatacara pembagiannya. - Sumber dan Azas Hukum Mawaris
2.1. Sumber Hukum Mawaris
2.1.1. Menurut Hukum Islam
Sumber hukum dalam Islam sering diistilahkan dengan Mashadirul Ahkam dalam ilmu Ushul Fiqh dinyatakan ada 4 Mashadir yang disepakati semua mazhab, yaitu : al-Qur’an, al-Hadist, al-Qiyas, dan al-Ijma’ selain dari empat ini, seperti Istihsan, Istishab Ashal, Maslahah al-Mursalah, Syar’u Man Qablana dan lainnya termasuk dalam sumber hukum yang berbeda pendapat mazhab untuk penerimaan sumber ini sebagai Mashadirul Ahkam.
Hukum kewarisan Islam berasal dari al-Qur’an dan al-Hadist, walaupun berasal dari sumber yang sama, namun tidak sedikit para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan menafsirkannya. Hal ini terjadi karena zaman semakin modern dan kondisi masyarakat semakin beragam, baik dari suku, adat istiadat dan lain sebagainya, yang akhirnya sedikitnya akan berdampak pada hukum mawarist. Sebagai makhluk berakal, manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan dan meningkatkan daya akalnya dan sebagai makhluk beragama, manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan dan menyempurnakan hidupnya.
2.1.2. Menurut Hukum Formal
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terutama Pasal 528, tentang hak mewarisi diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan dari Pasal 584 KUH Perdata menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam buku ke-2 KUH Perdata (tentang benda), dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat para ahli hukum dalam penggolong kewarisan sebagai hukum benda saja, karena dalam kewarisan juga mengandung unsur hukum perseorangan juga hukum kekeluargaan.
2.2. Azas Hukum Mawaris
2.2.1. Azas Kewarisan Menurut Hukum Islam
Hukum kewarisan Islam mengandung beberapa azas dalam beberapa hal berlaku pula hukum kewarisan yang bersumber dari hukum adat. Di samping itu hukum kewarisan Islam dalam hal-hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukun kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum Islam yang digali dari keseluruhan ayat hukum dalam al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan olah Rasulullah SAW melalui hadisnya. Di antara azas-azas hukum kewarisan Islam adalah azas ijbari, azas bilateral, azas individual, azas keadilan, azas berimbang, dan azas semata
a. Azas Ijbari
Dalam Hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku sendirinya tanpa usaha dari orang yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Kata Ijbari secara harfiyah kata tersebut mengandung arti paksaaan, yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Diterapkan azas ijbari dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa perlalihan harta dari seseoramg ynag telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah, tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan ahli warisnya. Unsur paksaan sesuai dengan arti terminologi tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan pemindahan harta kepadanya sesuai dengan yang ditentukan.
b. Azas Bilateral
Azas bilateral dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa harta warsian beralih kepada ahli waris melalui dua arah, hal ini berarti bahwa setiap orang berhak menerima hak kewarisan itu dari dua arah garis kerabat, yaitu pihak kerabat dari garis pihak keturunan laki-laki dan pihak keturunan perempuan. Azas bilateral ini terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat: 7, yang menjelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya. Ayat ini merupakan azas bilateral bagi kewarisan. Selain dari surat an-Nisa’ ayat 7 juga terdapat dalam ayat 11,12 dan 176, yang menjelaskan bahwa kewarisan beralih ke bawah (anak-anak), ke atas (ayah dan ibu) dan ke samping (saudara dan saudari) dari kedua belah pihak garis keluarga yakni dari garis laki-laki dan garis perempuan.
i. Azas Individual
Hukum Islam mengajarkan kewarisan secara individual dengan arti bahwa warisan dapat dibagi-bagi untuk dapat dimilki secara perseorangan, masing-masing ahli waris menerima bahagiannya secara tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu
mungkin dibai-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.
ii. Azas keadilan berimbang
Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan, secara sadar dapat dikatakana bahw baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris yang mewarisi harta peninggalan, hal ini dapat kita cerminkan dari kandungan surat an-Nisa’ ayat 7, hanya saja bahagian laki-laki dua lipat bahagian perempuan. Hak warisan yang diterima oleh oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya merupakan kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya.
Seorang laki-laki bertanggung jawab terhadap anak dan istrinya hal ini dijelaskan Allah dalam al-Quran Surah al-Baqarah ayat: 233, surah an-Nisa ayat 34, dan surah ath-Thalaq ayat 6
iii. Azas semata kematian
Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal dunia, ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Azas semata kematian dapat digali dari penggunaan kata waratsa yang banyak terdapat dalam al-Quran
2.2.2 Azas Kewarisan Menurut Hukum Formal
a. Hak dan kewajiban yang diwariskan hanyalah harta benda saja.
b. Apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika harta peninggalan akan beralih kepada ahli warisnya.
c. Pewarisan hanya terjadi dengan sebab kewatian pewaris.
d. Ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok (Pasal 832 Jo, 852, yang menentukan bahwa yang berhak menerima warisan adalah suami atau istri yang hidup terlama, anak beserta keturunannya).
e. Asas Bilateral, pewarisan seseorang bukan hanya dapat mewarisi dari bapak saja, tetapi juga dapat mewarisi dari saudara (pasal 850, 853 dan 856).
f. Asas Penderajatan, yang terdekat dengan yang meninggal dialah yang terbanyak mendapat bagian warisan. - Konsep Pembagian Harta Waris (Perbandingan Antara Hukum Islam dan Hukum Formal)
Pada dasarnya konsep pembagian harta warisan antara hukum islam dan hukum formal (KHI) masih berjalan searah dengan berpedoman kepada Al-quran dan Hadist. Namun demikian, kehadiran KHI di tengah masyarakat Indonesia juga memberikan pengaruh dalam ranah Hukum mawaris Indonesia, hal ini disebabkan oleh kepekaan masyarakat terhadap hukum yang telah diterapkan secara turun temurun oleh pendahulu mereka, diantaranya adalah hukum Adat
Adapun konsep pembagian harta warisan menurut hukum Islam khususnya di Aceh masih berpegang erat kepada Ayat Al-Quran dan Hadis serta ijmak para Ulama Mazhab yang empat yang termuat dalam Kitab-kitab Fiqh. Pada umumnya penerapan konsep mawarist menurut ketetapan syara’ diterapkan oleh masyarakat berdasarkan arahan dan penjelasan Tengku Dayah. Kenyataan membuktikan bahwa rasa fanatisme masyarakat Aceh terhadap Tengku Dayah masih sangat erat, khususnya masyarakat yang hidup di ligkungan pedesaan
Adapun konsep perumusan KHI pada dasarnya juga bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah, akan tetapi perumusannya terlepas dari ikatan berbagai Mazhab yang tertuang dalam Kitab-Kitab Fiqh. Tim perumus KHI menjelaskan bahwa KHI dalam perumusannya lebih mengutamakan pemecahan masalah yang timbul dalam konteks dunia modern. Selanjutnya KHI juga mengejar ketentuan dan ketetapan yang mampu mengatur dan memperbaiki tatanan serta ketertiban kehidupan masyarakat masa kini
Jika ditinjau sejarah pembentukan KHI banyak terjadi perdebatan antara para Ulama, terutama saat mengangkat persoalan kekinian yang tidak ada landasan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh klasik. Pada saat pengumpulan bahan-bahan KHI, tidak seorang Ulama pun yang dapat menerima status anak angkat menjadi ahli waris, barangkali peristiwa Zaid bin Haritsah sangat mendalam terkesan dalam ingatan dan penghayatan Para Ulama. Para Ulama yang menolak anak angkat dijadikan ahli waris berpedoman pada pemahaman fiqh klasik yang menutup celah untuk anak angkat dijadikan ahli waris. Sementara KHI yang sudah terbentuk sekarang memberikan kelonggaran bahwa anak angkat dapat dijadikan ahli waris dan mendapat bahagian sepertiga.
Kelonggaran KHI dalam perkara anak angkat didasarkan pada interpretasi surat Al-Baqarah ayat 180, ayat ini dianggap masih muhkam. Sebahagian Mufassirin menganggap ayat ini menjadi dasar hukum sahnya anak angkat dijadikan ahli waris, karena menganggap bahwa anak angkat sama hukumnya dengan wasiat kepada ahli waris (aqrabin). Wasiah wajiah adalah hal utama yang dijadikan landasan mengapa anak angkat mendapat warisan. Mengenai hal anak angkat mendapatkan harta warisan dibahas dalam pasal 209 ayat 2 KHI.
Hal lain yang masih menuai perdebatan sampai sekarang adalah persoalan patah titi, dalam KHI patah titi tidak diakui menjadi hijab yang menghalangi seseorang untuk tidak mendapatkan harta warisan, sehingga anak patah titi juga mendapatkan bahagian harta warisan. Pertimbangan ini didasarkan bahwa jika anak patah titi tidak diberikan harta waris maka telah terjadi kezaliman bagi anak yatim (patah titi), padahal agama menganjurkan untuk menyantuni anak yatim. Dalam kajian hukum fiqh klasik, patah titi menjadi hijab untuk mendaptkan harta warisan karena dianggap bahwa pertalian wali telah terputus. patah titi juga diadopsi oleh sebahagian masyarakat Aceh, namun sekarang konsep patah titi tidak diterapkan lagi dalam kehidupan.
Harus diakui, meskipun KHI telah dapat mengakomodir kultur bangsa Indonesia namun KHI masih jauh dari sempurna, bahkan ada pendapat yang muncul dari kalangan perumus KHI bahwa KHI masih merupakan langkah awal dari pembentukan hukum Islam Indonesia. Mereka menganjurkan supaya KHI diterima secara realistis sebagaimana apa adanya, artinya menerima KHI dalam segala kelebihan dan kekurangannya - Pemahaman dan Penerapan Hukum Mawaris Dalam Masyarakat
Dalam penelitian ini, penulis mencoba menggali sejauh mana pemahaman masyarakat Kecamatan Samalanga tentang hukum Mawaris, serta sejauh mana implementasinya dalam kehidupan mereka. Untuk itu, peneliti telah melakukan sejumlah wawancara dengan para tokoh masyarakat dalam kecamatan Samalanga, baik dengan tokoh formal maupun tokoh non formal, dan juga beberapa orang masyarakat biasa
Sejauh ini harus diakui bahwa masyarakat masih belum begitu paham dengan hukum Mawaris yang sebenarnya, baik dengan sumber hukum Islam (Kitab Kuning) ataupun kompilasi hukum Islam, selama ini implementasi yang diterapkan dalam masyarakat hanya mengikuti pelaksanaan yang telah dilakukan oleh orang tempo dulu, atau fatwa-fatwa Tengku Dayah. Meskipun banyak tempat dalam masyarakat diadakan Majelis Ta’lim, namun pemnbahasan dalam Majelis ini hanya pada tahap fiqih yang sering diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. KUA Kecamatan Samalanga juga mengakui bahwa ada sebahagian masyarakat yang mengetahui tentang hukum Mawaris ini, walaupun pemahaman mereka masih pada tingkat dasar, dan tidak dapat dirinci berapa persen pemahaman mereka terhadap hukum Mawaris.
Disamping itu, keterbatasan pemahaman masyarakat tentang hukum Mawaris juga dipengaruhi oleh pelaksanaan hukum Mawaris didasarkan atas jalan damai, dengan konsep “boleh lebih kurang” atau bersifat kekeluargaan, konsep ini tentu konsekuensi hukum diabaikan, dan keputusannya pun tidak sepenuhnya sesuai dengan pedoman hukum sebab semua mereka yang telibat disini telah rela dengan setiap keputusan yang dikeluarkan. Lebih tegas beliau mengatakan bahwa di gampong sebenarnya tidak ada faraid yang ada hanya (weuk-weuk harta) atau bagi-bagi harta, alasan beliau karena pembagian harta warisan didasarkan pada pola turun- temurun dan juga kapasitas pemahaman masyarakat tentang hukum Mawaris. Faktor lain yang menjadi alasan beliau bahwa dalam pembahagian harta waris kadang lebih diutamakan (lebih banyak bahagiannya) perempuan, atau disamaratakan dengan pertimbangan bahwa yang memelihara dan memperhatikan orang tua selaku pewaris adalah perempuan, selama pewaris masih hidup
Mengenai kapan harta waris dibagikan, prakteknya dalam masyarakat sangat beragam, ada yang membagi harta warta waris setelah setahun, ada yang setelah empat puluh hari, dan ada juga menunggu sampai kedua pewaris (Ayah-Ibu) meninggal, ini didasarkan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Penundaan pembagian harta waris dalam artian bahwa harta waris tidak langsung dibagikan setelah pewaris meninggal, penundaan ini kadang membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Ini disebabkan karena sebagian dari ahli waris dipandang masih belum layak memperoleh harta warisan, baik dipandang belum cukup umur, serta kemampuan mengelola harta (Rasyid).
Berbagai pertimbangan menjadi factor penting yang dipahami oleh masyarakat dalam pembagian harta warisan, baik pertimbangan adat, ekonomi dan social. Dalam faktor ekonomi, ahli waris yang miskin walaupun perempuan direlakan diberikna bahagian yang sama dengan laki-laki, bahkan kadang lebih banyak. Ini juga didasarkan pada upaya menumbuhkan ekonomi dengan harta waris. Dalam segi sosial, mereka yang punya andil besar dalam memperhatikan dan memelihara pewaris akan mendapat bahagian lebih, kendati memelihara pewaris (orang tua) adalah tanggung jawab seorang anak. Faktor adat yang
menjadi pertimbangan adalah diberikannya hak waris kepada anak angkat, kendati anak ini tidak memenuhi criteria penerima harta warisan.
Pembagian harta waris dalam masyarakat dilakukan oleh orang yang ditunjuk berdasarkan persetujuan keluarga, ada juga yang ditangani oleh Tuha Peut dan tokoh masyarakat lainnya yang mempunyai kapasistas dalam persoalan hukum Mawaris. Tidak hanya itu, penyerahan penyelesaian pembagaian harta waris juga sangat bergantung dari jumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, jika hartanya sedikit biasanya diselesaikan di Gampong dengan cara kekeluargaan. Namun jika hartanya banyak, biasanya pembagian harta waris diselesaikan di Tingkat Mukim dengan dibantu oleh Tengku-Tengku Dayah.
Penyelesaian Tingkat gampong dan Mukim tidak membuahkan hasil, serta menuai kontroversi dari para pihak yang terlibat maka penyelesaian diteruskan di Tingkat Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Samalanga, jika di tingkat KUA tidak selesai maka akan diteruskan sampai ke Mahkamah Syar’yah. Menurut pengakuan Kepala KUA Kecamatan Samalangan sepanjang tahun 2009 hanya satu kasus yang diteruskan hingga ke Mahkamah Syar’iyah, namun sampai penelitian ini dilakukan hasilnya belum diketahui, ini karena tidak ada lagi pemberitahuan dari pihak yang terlibat kepada Kepala KUA Kecamatan Samalanga.
Keterlibatan Pihak Kantor Urusan Agama kecamatan dalam pembagian harta waris maupun menyelesaikan sengketa yang diakibatkan olehnya tidak formal, jika ada pihak yang melibatkan KUA maka pihak KUA akan ikut di dalamnya, Kepala KUA Kecamatan Samalanga mengakui KUA tidak memiliki kewenangan khusus dalam pembahagian harta warisan, tetapi keterlibatan KUA sangat tergantung dari masyarakat.
C. PENUTUP
Konsep pembagian harta warisan antara hukum Islam dan hukum Formal (KHI) masih berjalan searah dengan berpedoman kepada Al-quran dan Hadist. Namun demikian, kehadiran KHI di tengah masyarakat Indonesia juga memberikan pengaruh dalam ranah Hukum mawarist Indonesia,yaitu terjadinya silih paham pendapat masyarakat tentag keberadaan hukum yang ditawarkan oleh KHI, hal ini disebabkan oleh kepekaan masyarakat terhadap hukum yang telah diterapkan secara turun temurun oleh pendahulu mereka
Masyarakat masih belum begitu paham dengan hukum Mawarist yang sebenarnya, baik dengan sumber hukum Islam (Al-quran dan Hadist) ataupun Kompilasi Hukum Islam, selama ini implementasi yang diterapkan dalam masyarakat hanya mengikuti pelaksanaan yang telah dilakukan oleh orang tempo dulu, atau penjelasan dari Tengku-Tengku Dayah.
Pembahagian harta waris di Kecamatan Samalanga lebih mengedapankan pada aturan kitab kuning melalui perantaraan Tengku Dayah, walau
demikian tidak luput juga ikut campur para tokoh masyarakat untukmembantu perdamaian para pihak yang terlibat, bahkan kadang mengabaikan konsep syara’, artinya, pembagian dilakukan menurut kesepakatan seiuruh ahli waris.
Congratulations @yusfriadi: this post has been upvoted by @minnowhelpme!!
This is a free upvote bot, part of the project called @steemrepo , made for you by the witness @yanosh01.
Thanks for being here!!