Bicara punya bicara, ini tentang saya, dia, dan mereka yang berujung pada kata kami. Sepertinya di masa ini kebebasan kami bagaikan fatamorgana. Ibaratkan burung bukan lagi didalam sangkar seperti sediakala.
Bebas sudah memang, kami impikan bisa terbang kemana saja sesuka hati, ternyata dan ternyata ada seutas tali nilon yang mengikat kaki. Tak tampak namun membelenggu.
Begitulah gambaran kata kami yang sebenarnya adalah seorang perempuan penggerak feminisme. Zaman punya zaman, zaman yang ini telah berbeda namun serupa. Jika sejak zaman dahulu perempuan selalu menjadi bahan pemuas nafsu semata, kini pun sama namun telah dibalut dengan berbagai lapisan baja yang isinya serupa.
Wahai tiang negara, tak ada kata tak bisa untuk membuat perubahan. Walaupun perubahan terkadang memang menyakitkan dan menelan korban.
Kata demi kata jika tindakkan nyata tak mampu merubah nasip kita. Tak harus memegang toa di depan massa. Dari dapurpun kamu bisa melakukannya. Tulislah dengan aspirasimu dengan irus sebagai penanya dan minyak jelantah sebagai tintanya.
Zaman ini penuh dengan teknologii, jika meyuarakan langsung kita tak berdaya yang kemudian di perdaya. Maka tulisanmu yang di gores dengan jari dan tinta darah akan mampu melawan mereka yang kontra terhadap ruang partisipasi kita.
Banyak cara punya banyak cara, belajar dari membandingkan bagaimana cara meneriakan suara, buku Aceh Pungo dan buku Mati Ketawa Cara daripada Soeharto adalah guru terbaik kita yang menawarkan metode penyampaian aspirasi.
Menggelitik, Menusuk, mencabik-cabik, itu mungkin cara kematian yang lebih baik dari pada menembak langsung isi kepala mereka yang suka merendahkan martabat kita.
Teruntukmu wahai tiang negara jangan pernah menyiksa dirimu untuk kepuasan birahi mereka. Jangan pernah mengidamkan kesempurnaan fisik hanya untuk mendapat tepuk tangan dari mereka. Kepuasan sebahagian mereka hanya sementara, yang tersisa untuk kita hanya mitos belaka.