Aku selalu menganggap umurku di tahun yang ke-25 ini bukanlah apa-apa. Menuju seperempat abad bukanlah suatu hal yang memiliki urgensi tinggi terhadap target apapun. Tapi ketika dua bulan terakhir ini hatiku terlanjur dipermainkan, aku merasa bahwa aku memang sudah seharusnya berhenti lari dari kenyataan. Umur 25 untuk perempuan Indonesia sudah bisa dinilai cukup matang. Sudah saatnya perempuan-perempuan pada umur itu untuk berhenti bermain-main dan mulai lebih lanjut memikirkan masa depannya.
Aku memang terlalu naif ketika aku masih menganggap bahwa hubungan percintaanku di umur ini akan semanis drama Korea yang dulu aku tonton. Tidak ada cinta semanis itu, terlebih untukku yang bukan siapa-siapa. Tidak mungkin ada seorang laki-laki muda tampan yang akan dengan mudah jatuh ke pelukanku begitu saja. Meskipun pada akhirnya benar-benar ada, ia hanya mampir sebentar dan meninggalkanku begitu saja. Dia hanya mempermainkanku seolah dia tahu bahwa aku memang tidak berharga dan tidak layak untuk dipilih.
Kekecewaanku sangat besar. Benar-benar menusuk sampai ke ulu hati. Ini bukan ungkapan hiperbolis atau apapun, tapi sakit itu sungguh terasa ketika hatiku sudah tidak mampu menanggungnya. Dadaku sesak dan yang ingin aku lakukan hanya menangis menyesali kebodohanku yang begitu nyata. Kenapa aku tidak membiarkan semuanya tetap di dalam mimpi? Kenapa aku harus nekat meraihnya dan membawanya ke duniaku?
Pada akhirnya aku berusaha mendewasakan diri dan menganggap semua pelajaran ini diberikan khusus untukku yang masih belum mengerti benar tentang percintaan di umur 25. Aku mulai berpikir bahwa percintaanku nantinya tidak akan secorny ketika masih muda. Khayalan tentang laki-laki sempurna seperti di drama Korea pun harus dibuang jauh-jauh karena mereka hanya sosok imajiner. Yang aku butuhkan sekarang adalah yang mau denganku, dengan semua hal mengesalkan dan kekurangan-kekuranganku.
Percintaan di umur 25 mungkin harusnya membawa hubungan ke jenjang final yaitu pernikahan dan sayangnya aku sungguh belum siap untuk itu. Sedangkan di sisi lain, aku sudah tidak mau lagi bertemu dengan laki-laki brengsek macam pemuda kemarin sore itu yang seenaknya saja mempermainkanku. Aku pikir mungkin memang sudah seharusnya aku sendiri dulu sampai aku menemukan orang yang tepat. Tapi di saat kesendirian ini aku berpikir keras sebenarnya orang yang tepat untukku itu seperti apa? Aku takut aku tidak akan menemukannya. Aku takut terjebak dengan orang yang salah dan pada akhirnya aku tidak bisa berbuat apa-apa karena semuanya sudah terlanjur.
Untuk saat ini, aku pun sebenarnya masih kebingungan dengan kriteria orang yang tepat bagiku. Aku sendiri tidak mengerti apa yang aku butuhkan dari seorang pasangan. Aku selalu teringat kalimat-kalimat nyinyir yang mengatakan bahwa penetapan kriteria-kriteria yang terlalu tinggi sama sekali tidak sesuai dengan kualitas diri yang ditawarkan. Misalkan seorang wanita yang menginginkan suami kaya yang minimal mampu menafkahinya 10juta perbulan sedangkan dirinya saja tidak bisa memasak ataupun terbiasa memegang sapu. Atau seorang wanita yang menginginkan suami sholeh dan alim sedangkan dirinya sendiri sudah tidak perawan lagi. Aku teringat dengan kualitasku yang nol besar ini, lalu apa yang bisa aku harapkan dari pasanganku nantinya? Urusan memasak saja aku tidak yakin apakah aku bisa atau tidak, kecerdasan pun biasa saja, dan aku begitu sulit dipahami oleh siapapun termasuk diriku sendiri. Dan yang paling parah, aku seperti roti yang sudah terbuka bungkusnya. Aku tidak tau apakah akan ada yang mau membelinya.
Aku yang cetek pemikirannya ini selalu berpikir bahwa pernikahan adalah komitmen dua orang untuk terus hidup bersama. Lalu kenapa hal-hal seperti pintar memasak dan keperawanan menjadi hal yang penting? Bahkan latar belakang keluarga pun jadi pertimbangan. Aku, ditinjau dari aspek manapun, tidak akan bisa mendapatkan orang yang tepat menurut kriteriaku. Lalu siapapun yang membaca ini dengan nyinyirnya akan berkata bahwa aku memang tidak berhak menentukan kriteria orang yang tepat untuk diriku. “Kau tidak punya kualitas apapun, jadi tolong berhenti menganggap dirimu berharga!”
Tapi kalau bukan diriku sendiri yang menghargainya, lalu siapa?
Pantaskah aku menentukan kriteria orang yang tepat itu? Setidaknya aku butuh sosok yang selalu bisa mengerti dan memahamiku karena aku yakin itu akan sangat langka. Aku menginginkan seseorang yang bisa diajak ngobrol denganku serandom apapun obrolannya karena kehidupan bersama tidak akan jauh dari obrolan-obrolan random kan? Bahkan itu jauh lebih sering penting dibandingkan kemampuan memasak.
Aku tidak tau, benar-benar tidak tau harus bagaimana dengan diriku yang sudah hampir seperempat abad ini. Bisakah aku tetap bersantai? Bisakah aku tetap menikmati hidupku dengan caraku? Bisakah aku menemukan orang yang tepat?
✅ @novitaullilalbab, I gave you an upvote on your post! Please give me a follow and I will give you a follow in return and possible future votes!
Thank you in advance!
Congratulations @novitaullilalbab! You received a personal award!
Click here to view your Board
Congratulations @novitaullilalbab! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!