Hingga datang suatu masa manusia menemukan pohon HAM berdaun demokrasi sebagai tempat bersandar dan berteduh untuk melepas lelah sambil memakan buah kapitalis yang jatuh menimpa kepala mereka.
Saya rasa semua sudah paham apa itu manusia. Mudah untuk dimengerti seperti apa sebenarnya manusia jika dilihat hanya fisiknya saja. Tidak masalah seperti apapun penjabaran manusia di wilayah fisiknya. Spesies yang satu ini sudah tersebar hampir di belahan muka bumi ini. Manusia berdampingan dengan berbagai makluk -makluk tuhan lainnya, baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Ciri-cirinya beragam agar mereka saling tahu. Untuk memudahkan satu sama lain saling mengenal pada dasarnya menggunakan klasifikasi suku saja. Istilah bangsa baru-baru muncul belakangan dan sudah lumrah digunakan di era modern. Istilah bangsa pemakaianya lebih lebar dari suku. Adakalanya kita, maksudnya saya, kadang mencampur dan menyamakan definisi bangsa, masyarakat, dan umat. Ada baiknya anda merujuk ke KBBI atau kumpulan-kumpulan istilah dengan harapan agar tidak sembrono menggunakan istilah-istilah dalam komunikasi masal atau umum.
Tuhan telah melabeli manusia sebagai mahluk ciptaannya yang paling mulia. Keadaan ini tentunya membuat kebanyakan manusia senang mendengarnya, apalagi Tuhan yang memberikan gelar mahluk paling mulia di antara mahluk ciptaanNya yang lain. Tentunya kita harus bersyukur atas kehendakNya ini. Tuhan telah memberikan anugrah-anugrah lain dari pada yang lain kepada manusia. Menjadi khalifah bumi kedengarannya begitu bergengsi bagi manusia. Memiliki akal yang paling sempurna, hal yang membanggakan juga sepertinya. Namun keadaan seperti ini memposisikan drajat manusia dalam kondisi dinamis sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia.
Pada dasarnya kemulyaan manusia merupakan settingan default dari tuhan kepada manusia. Gelar kemuliayaan ini melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang harus diterima manusia. Konsekuensi-konsekuensi ini mengisyaratkan manusia selalu membawa, mendukung, dan memperjuankan mekanisme kasih-sayang, keselamatan, kemakmuran, dan kesejahteraan di alam sebagai bentuk ketundukkannya kepada Tuhan agar manusia memiliki drajat yang pantas di hadapan tuhan dan memiliki martabat, kehormatan dan harga diri yang tinggi di hadapan makluk-makluk lainnya. Beberapa manusia tekun dan senang menjalani konsekuensi-konsekuensi itu. Namun ada beberapa manusia yang merasa lelah dan mengabaikan settingan default-nya karena merasakan beratnya konsekuensi-konsekuensi yang harus diterima sebagai mahluk mulia.
Sejarah telah mencatat berbagai peristiwa perjalanan umat manusia yang menggambarkan rasa lelah manusia menjalani dirinya sebagai manusia. Penindasan, kekejaman, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan keserakahan menjadi istilah yang seolah-olah wajib digunakan dalam buku-buku sejarah. Pihak pemenang secara mutlak tidak mampu menghindari istilah-istilah itu di dalam sejarahnya. Tragedi mengerikan menjadi komoditas yang paling laku di dalam peristiwa sejarah. Lelah yang amat parah membuat manusia tidak sadarkan diri hingga tanpa rasa malu mengubah fakta sejarahnya.
Manusia sangat sempoyongan merasakan kelelahan ini. Kondisi sempoyongan membuat mereka salah membawa nilai-nilai yang dibawa utusan-utusan terbaik Tuhan. Jangankan nilai-nilai itu, gara-gara sempoyongan, ilmu pengetahuan pun berserakan di mana-mana hingga menjadi makanan empuk bagi nafsu, kesombongan, keserakahan dan ambisi busuk mereka. Nilai-nilai itu dan ilmu pengetahuan yang keduanya seharusnya menjadi obat pelepas lelah bagi mereka menjelma menjadi faktor penyebab lelah.
Manusia begitu kagum dengan potensinya memiliki kedudukan mulia. Banyak peradaban yang digarap mereka untuk mengantarkan mereka kepada kedudukan mulia. Sama halnya dengan nasib nilai-nilai yang dibawa utusan tuhan dan ilmu pengetahuan, peradaban pun mengalami nasib yang sama seperti keduanya bahkan lebih parah peradaban yang semerta-merta ditinggalkan begitu saja hanya karena memberatkan dan dirasa terlalu kuno walaupun peradaban itu luhur. Hingga datang suatu masa manusia menemukan pohon HAM berdaun demokrasi sebagai tempat bersandar dan berteduh untuk melepas lelah sambil memakan buah kapitalis yang jatuh menimpa kepala mereka.
Masa ini bagaikan dunia virtual mereka, dunia yang mereka kira tuhan tidak terlibat banyak di dalamnya. Mereka semena-mena menggarap konsep kemuliaan dirinya secara ngawur. Tanpa disadari mereka telah menganggap dirinya hanya satu-satunya makluk yang ada di alam semesta. Mereka tidak sadar sedang telanjang bulat di hadapan mahluk-mahluk Tuhan yang lainnya bahkan di hadapan spesiesnya sendiri. Mereka menelanjangi dirinya dengan kepalsuan, kebebasan tanpa batas, dan ketamakan. Masa ini hanyalah tempat pelarian mereka atas ketidaksanggupan dirinya menanggung konsekuensi-konsekuensi mahluk mulia versi Tuhan. Mereka bebas menyakiti alam dan makluk-makluk lainnya semau-mau mereka. Mereka berlarian kesana-kemari mengejar eksistensi dan prestise tanpa menyadari mereka sedang kelelahan menjadi manusia.
Mungkin kita tidak perlu terlalu ikut-ikutan ngamuk-ngamuk kepada iblis atas protesnya beliau kepada tuhan tentang Tuhan menciptakan kita. Ada baiknya kita selalu fokus berkaca kepada diri kita sendiri saja. Mudah-mudahan kita diarahkan tuhan untuk melahirkan peradaban yang layak di hadapan Tuhan walaupun kita tidak tahu peradaban yang layak di hadapan tuhan itu seperti apa. Kita hanya bisa berharap atas ampunan Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu segalanya.
Iya pak aturan-aturan kemanusiaan sekarang lebih menggiring manusia untuk tidak dapat membedakan dan mengklasifikasikan pribadi-pribadi antar manusia. Untung aja Samson tidak lahir di abad ini. Kalau lahir di abad ini gak sakti lagi pak samsonya. soal e pas sekolah di potong rambutnya pak. kalau mau sekolah tidak boleh gondrong.
Atas nama kemanusiaan versi zaman ini menjadikan manusia seolah-olah sebagai lalat-lalat yang mengerubungi luka-luka alam karena terluka oleh ulah manusia sendiri. Tentunya samson sangat beruntung tidak lahir di zaman ini, kalau lahir di zaman ini tentunya membintangi iklan obat kuat.