5 September 1993, udara stadion El Monumental di Buinos Aires semakin dingin. Dari tribune, ada dua pemandangan kontras. Valderama, Asprilla, Cordoba dan seluruh tim Kolombia berpesta. Di sudut lainnya, Batistuta seperti tidak percaya. Diego Simoene pemilik nomor 10 Argentina sejak tahun 1991 pun tertunduk lesu. Bagaimana mungkin, pemilik dua gelar piala dunia dan pemuncak Copa America 1991-1993, dikalahkan dengan tragis, lima gol tanpa balas.
Setelah pertandingan, seluruh mata memandang satu titik di tribune. Semua mencari satu nama: Maradona. Ada rasa takut yang menyelinap di seluruh pendukung Argentina yang saat itu hadir. Takut hanya menjadi penonton di gelaran piala dunia di USA satu tahun berikutnya. Seluruh penonton tahu. Bahkan seluruh warga Argentina sadar, kalau perasaan itu yang hanya dapat disembuhkan oleh satu nama yang telah membawa Argentina menjadi tim elit dunia. Maradona memang hadir di stadion tersebut. Memberi dukungan kepada negaranya itu. Dia memakai jersey no 10. Walau telah diabaikan.
Selama tiga tahun, Maradona tidak lagi menjadi pilihan di tim nasional. Setelah kasus dopingnya mengemuka di Italia di tahun 1991, Alfio Basile lebih percaya kepada pemain-pemain baru, yang bermain di liga lokal dan beberapa di liga Eropa. Tim baru tersebut didominasi oleh pemain yang tidak terlibat pada piala dunia 1990 di Italia. Diantaranya ada Batistuta, Simeone dan Redondo.
Eksperimen Basile awalnya terlihat berhasil, sebelum kiamat kecil di El Monumental terjadi. Argentina menjuarai dua gelaran Copa America. Setelah sebelumnya gagal di final Piala Dunia di Italia 1990. Namun begitu, Maradona tetap dibutuhkan. Dia tidak menolak setelah tidak dipanggil. Baginya, Argentina adalah tumpah darah. Tidak dapat diganti oleh apapun.
Hal itu yang dirasakannya ketika menjadi penendang penalti di San Paulo Stadium, markas klubnya, Napoli, 6 Juni 1990. Pada partai semifinal yang paling mengurasa emosi. Tidak hanya bagi Maradona. Namun juga bagi warga Napoli, yang harus memilih antara nasionalismenya, atau kecintaan mereka kepada pemain yang telah membuat wajah Italia bagian Selatan tegak, di hadapan para borjuasi bagian Utara.
Di Napoli dia menjadi dewa. Klub itu dibuatnya menjadi raja di tengah himpitan klub-klub elit dari Italia bagian utara, seperti AC Milan, Inter Milan, Roma dan Juventus. Hadir sebagai klub yang tidak diperhitungkan, karena berasal dari wilayah selatan yang miskin dan terbelakang, membuat mereka menjadikan Maradona sebagai poros perlawanan dominasi klub-klub tersebut.
Karena menjadi simbol perlawanan, Piala Dunia 1990 memiliki banyak cerita tentang perlakuan Italia Utara kepada Maradona. Baik ketika publik di San Siro di Milan bersorak kegirangan, ketika Omam Biyik menjebol gawang Nery Pumpido pada partai pembuka Piala Dunia 1990. Pun ketika lagu kebangsaan Argentina mendapat cemoohan di partai final yang berlangsung di Roma.
Begitulah Maradona menulis sejarahnya. Dua tahun, setelah FIFA membunuhnya dengan kasus doping di USA, pada Piala Dunia yang diperjuangkannya, diapun mundur dari sepakbola.
Pertandingn di laksanakan di La Bombonera. markas Boca Juniors, klub yang sangat dia cintai. Seluruh pemain yang hadir, baik dari masanya maupun yang lebih muda memberikan penghormatan. Setelah itu Argentina tanpa maradona.
Akan tetapi Argentina terus mencari Maradona. Lalu, setiap pemain yang berbakat yang lahir di bumi Argentina selalu didengung-dengungkan sebagai pengganti Maradona. Mulai dari Ariel Ortega, Galliardo, Pablo Aimar, De Alesandro, Juan Roman Riquelme dan Carlos Tevez. Para pemain diberikan beban di kakinya, bahwa bila hendak menjadi terbaik di Argentina, maka jadilah seperti Maradona.
Namun, tidak ada yang menyamai Maradona. Mendekatipun tidak. Kecuali setelah satu bakat yang lain muncul kemudian: Lionel Messi.
Di awal kemunculannya, dia dijuluki Messidona. Karena kemiripan yang otentik. Mungil, lincah dan cepat. Terlebih, Messi menciptakan dua gol legendaries yang dimiliki Maradona ketika melawan Inggris, di Meksiko 1986. Bedanya,Messi melakukannya tidak dengan jersey Argentina, melainkan sebagai pemain Barcelona. Akan tetapi, hal ini, makin lama menjadi ganjalan besar untuk Messi dan juga Argentina. Messi dianggap memiliki dua kepribadian. Menggila di Barcelona. Melempeng ketika berkostum tim nasional.
Ukurannya terang benderang. Untuk Barcelona, Messi memberikan segalanya. Namun, untuk tim nasional, tidak ada satupun gelar mayor yang dipersembahkan. Begitupun keras dia berusaha.
Lagipula, sepakbola kini berubah di zaman Messi. Olahraga ini penuh ketamakan, keculasan dan kehilangan aspek human. Bahkan, sepakbola malah menjadi sekadar bilangan statistik.
Sepakbola telah kehilangan hasrat dan kegembirannya. Celakanya Messi menjadi bagian dari kegilaan ini.
Tidak seperti Maradona, yang menjadikan sepakbola lebih dari sekedar olahraga, karena ada cerita dan legacy. Messi menunjukkan sepakbola dengan angka. Seperti capaian harga transfer, rekor yang dipecahkan dan medali yang dia kumpulkan. Messi, dengan segala bakat yang dimilikinya, berada dalam nestapa zaman. Ketika rasa diganti dengan statistik.
Maka ketika nanti, Messi pensiun dari sepakbola. Sejarah pun menjejerkan dia dengan Maradona. Lalu hasilnya akan berkata, “Messi, terima kasih telah mewarnai jagat sepakbola sebagai pemain. Namun, Maradona adalah sepakbola itu sendiri.”
Bereh that ulasan....
Bacut-bacut
Meunyoe awai na Messi dudo Maradona kiban ?
Maka hana sepakbola
Hahaha