Setiap kali datang bulan Rabiul Awwal, jutaan umat Muslim di berbagai penjuru dunia menyambutnya dengan suka cita. Mereka selalu mengagungkan Baginda Nabi Muhammad SAW dengan membaca sirah (sejarah) perjuanganya bersama para Sahabat-sabahabatnya Radhiallahu‘anhum, dimulai dengan mengirimkan salam dan shalawat berulang-ulang berharap rahmat Allah akan datang kepada Baginda serta menyantuni anak yatim, fakir miskin sebagaimana yang Rasulullah SAW anjurkan.
Namun beberapa orang/golongan, tidak merasakan kegembiraan sedikitpun dengan datangnya bulan mulia ini, bahkan mereka mengkategorikan merayakan maulid Nabi Muhammad SAW sebagai “Bid’ah” yang menyesatkan, meskipun mereka sendiri merayakan hari kelahiran kerabat, keluarga dan pembesar golongan mereka lebih dari perayaan menyambut dan memperingati hari kelahiran Nabi yang menyelamatkan akidah mereka.
Penulis berusaha meluruskan kekeliruan tersebut dan mengambil sebuah kesimpulan hukum yang sebenarnya, bukan malah memberikan fatwa jauh daripada kebenaran didalam mengharamkan peringatan maulid Nabi besar Muhammad SAW yang disambut dengan gembira oleh mayoritas ummat Islam didunia.
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab Radhiallahu‘anhu, beliau berkata: Nabi Muhammad SAW ditanyakan tentang puasa Beliau pada hari senin, Beliau Bersabda “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu aku diutus menjadi Rasul (Nubuwah)”. (HR.Muslim).
Hadis ini secara jelas menggambarkan kebahagiaan Rasulullah SAW, atas hari kelahiran Beliau dengan memanjatkan syukur kepada Allah melalui Ibadah Puasa Sunnah pada hari senin. Bahkan para ulama salaf dan ummat Islam umumnya telah merayakan maulid Nabi Besar Muhammad SAW dengan berbagai kegiatan yang positif dan dianjurkan Islam, seperti menyantuni anak yatim, membaca al-Qur’an dan Zikir bersama, membaca sya’ir dan pujian kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang dinukilkan dari beberapa ulama besar seperti imam Ibnu al-jauzi dan Ibnu Kastir.
Al-Hafidz Ibnu kastir Menjelaskan didalam kitab Tarikh bahwasanya Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Irak sekarang yang mayoritas masyarakatnya berasal dari suku Kurdi), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabari, pada awal abad ke 7 hijriyah. Beliau berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya”.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut raja al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.
Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu. Ibnu Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibnu Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibnu Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.
Selain disepakati perayaannya oleh para ulama salaf, Landasan hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW sangat jelas disebutkan didalam dua kitab Sahih Bukhari dan Muslim, Bahwasanya Nabi Muhammad SAW masuk kekota Madinah lalu melihat orang-orang yahudi berpuasa pada hari ‘asyura, lalu Baliau bertanya tentang puasa mereka, mereka menjawab :”ini adalah hari dimana Allah SWT menenggelamkan fir’aun dan menyelamatkan Nabi Musa AS bersama kaumnya, dan kami berpuasa sebagai tanda syukur kami kepada Allah SWT.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘asqalaniy menjelaskan “Hadis tersebut menyimpulkan tentang puasa pada hari tertentu sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas kenikmatan ataupun keselamatan daripada sebuah musibah, ini dilakukan berterusan setiap tahunnya, bersyukur dapat diimplementasikan didalam berbagai bentuk ibadah seperti sujud, puasa, sadaqah, membaca al-Qur’an dan lainnya. Adakah nikmat yang lebih besar selain kehadiran Rasulullah SAW kedunia ini untuk menyelamatkan ummat ini, dimana rasa syukur kita kepada Allah SWT???
Meskipun Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat Radhiallahu‘anhum, tidak merayakan hari kelahirannya setiap 12 Rabiul awwal, ini tidak dikategorikan sebagai dalil haramnya perayaan maulid Nabi Muhammad SAW yang diperingati dan dirayakan oleh mayoritas ummat Islam didunia, apalagi menjadikannya sebagai hal yang mengada-ada atau Bid’ah yang tercela.
Imam al-Baihaqi Meriwayatkan dari Imam As-Syafi’i Rahimahumallah, beliau berkata: “ yang dikategorikan (ahdasa/mengada-ngada) didalam agama ada dua, yang pertama : bertentangan dengan dalil dari al-Qur’an, Sunnah, Astar, Ijma’, ini adalah Bid’ah yang tercela, dan yang kedua : Ahdasa yang sama sekali tidak bertentangan dengan semua dalil syari’at tersebut, ini merupakan bid’ah yang tidak tercela, bahkan Umar bin Khattab Radhiallau‘anhu telah mengatakan pada pelaksanaan Shalat dimalam Ramadhan “ini adalah ni’matul bid’ah”, atau ini adalah sesuatu yang belum ada sebelumnya, seandainya sudah ada tidak menjadi hal yang diperdebatkan. Ini adalah pendapat imam as-Syafi’I”.
Imam as-Suyuthiy Menyampaikan: “Maulid Nabi Muhammad SAW sama sekali tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Pendapat para Sahabat dan Ijma’, ini bukanlah hal yang tercela, dinukilkan dari imam as-Syafi’i, bahwasanya merayakan Maulid merupakan bagian dari kebaikan/Ihsan yang belum ada pada abad pertama, maka memberikan makanan (kenduri Maulid) yang tidak membawa kepada kemaksiatan adalah sebuah kebaikan/Ihsan, ini merupakan bagian daripada bid’ah yang disunnahkan sebagimana dinukilkan dari sulthanul ulama’ al-Iz Ibnu Abdussalam”.
Imam as-Suyuthi juga menukilkan dari Imam al-Qurra’ al-Hafizd Syamsyuddin bin al-Jazariy dari kitabnya (Urfutta’rif bil maulid as-syarif) disebutkan: “Sesungguhnya benar, jikalau Abu lahab diringankan azabnya dari panas api neraka setiap malam senin, karena dia telah memerdekakan budaknya Stuwaibah ketika datang kabar gembira tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW, seandainya Abu lahab yang kafir yang telah Allah turunkan satu surat dari al-Qur’an yang mencelanya, Allah SWT meringankan azabnya karena kegembiraan terhadap kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Lalu bagaimana dengan ummat Islam yang telah beriman kepada Allah SWT kemudian merasakan kegembiraan terhadap kelahiran Beliau, lalu merayakannya dengan berbagai bentuk kebaikan semampunya? Sesungguhnya surga adalah janji Allah SWT kepadanya bersama orang yang dia cintai”.
Kita merayakan maulid Nabi Besar Muhammad SAW karena kecintaan kita kepada Baginda Nabi, bagaimana tidak! seluruh alam saja mencintai Beliau, sebatang kurma yang merupakan benda mati dan tidak bergerak, sangat mencintai Nabi Muhammad SAW dan selalu ingin didekatnya, bahkan dia menangis meraung karena kerinduan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Diriwayatakan dari Ibnu Katsir dari Sahabat Rasulullah SAW: “Ketika Rasulullah SAW memberikan khutbah, Beliau berdiri dengan berpangku pada Potongan batang kurma, apabila Beliau berdiri agak lama Beliau berpangku pada batang tersebut, ketika jumlah sahabat Rasulullah SAW bertambah ramai, Para Sahabatpun membuat sebuah mimbar, ketika Rasulullah SAW masuk dari pintu kamarnya pada hari Jum’at menuju mimbar, Beliau melewati batang kurma tersebut yang selalu Beliau gunakan ketika berkhutbah sebelumnya, sontak batang kurma itu menangis dengan keras dan tersedu-sedu, seolah-olah dia merasakan kesakitan yang amat dalam menimpanya, Tangisannya menggemparkan seluruh bangunan Masjid dan orang-orang yang berada didalamnya, dia tidak berhenti menangis sampai Baginda Nabi turun dari mimbar lalu mendatanginya, Beliau meletakkan kedua tangan diatas batang kurma tersebut kemudian mengusapnya, lalu Beliau merangkul dan memeluknya sampai dia terdiam. Rasulullah memberikan dua pilihan agar dia merasa gembira; apakah dia mau menjadi sebatang pohon yang akan berada selamanya didalam surga, dimana akar-akarnya akan menyerap air dari sungai-sungai yang mengalir didadalam surga, ataupun dia akan menjadi sebatang pohon yang akan selalu berbuah didunia, batang itupun memilih untuk menjadi pohon yang akan tumbuh didalam surga bersama Rasulullah SAW dan seluruh Penghuni surga, Rasulullah Bersabda “Aku akan melakukannya, aku akan melakukannya, aku akan melakukannya,” batang itupun diam, lalu Rasulullah bersabda “Demi Allah yang hidupku didalam genggaman-Nya, seandainya aku tidak selalu bersamanya maka dia akan selalu menangis sampai hari kiamat karena kecintaannya kepada Rasulullah SAW”. (Hadis mutawatir diriwayatkan dari Imam Ahmad 3/293, Imam Bukhari 3/1313, Imam Turmudzi 5/594, Ibnu Majah, 1/454, ad-Darimiy 1/30, Ibnu Hibban, 14/435, Ibnu abi Syaibah, 6/319, at-Thabraniy, 2/367, Abu Ya’la, 6/14).
Kesimpulan
Pendapat ulama-ulama besar diatas, seperti ibnu al-Jauzi, imam ibnu Katsir, Hafizd Ibnu Hajar al-‘asqalaniy, imam Suyuthiy dan lainnya, dengan jelas menyebutkan bahwasanya hukum merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan Shalawat, Zikir dan segala bentuk Taqarrub dan Ihsan kepada Allah SWT adalah Mustahab/dianjurkan, ini meurupakan bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah SAW, karena tiada kegembiraan dan nikmat yang lebih besar dari Allah SWT selain dilahirkannya Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul ummat akhir zaman, sebesar apapun yang kita korbankan, baik harta maupun lantunan zikir dan shalawat kepada Beliau adalah bukti syukur kita kepada Allah SWT karena menjadikan kita ummat Nabi Rahmatanlil’alamin. Mudah-mudahan Allah mengumpulkan kita bersama Beliau kelak, karena Beliau Bersabda: ”Kamu bersama orang yang kamu cintai didalam Surga”. Amin ya Rabbal ‘Alamin!.
Diupvote ya..