Malam teman - teman Stemian..bagaimana catatan ringan harian hari ini di @stemian.com, lancarkah?, semoga lancar ya.
Tadi Senin sore ketika berjalan - jalan ke ujung Desa Kilangan saya melihat mentari bersinar temaram di ufuk timur, sedikit silau memang namun karena sedikit tertutup awan, terlihat begitu menenangkan.
Ketika itu sekitar pukul 17.31 wib kurang lebih. Cahaya temaramnya memantul di sungai Rawa Singkil yang terlebar di Aceh itu. Didekat bantaran sungai yang dihuni beberapa perumahan warga Desa Kilangan, Aceh Singkil ini juga terletak Makam kuburan Syekh Abdurrauf(Ulama Aceh), tapi maaf saya tidak menuliskan panjang lebar tentang Wali Allah itu, lain kali saja kalau sudah ketemu narasumber yang cocok, walaupun manuskrip sejarahnya banyak tertuang di buku - buku sejarah penulis kawakan atau berbakat.
Tujuan saya bersama teman tadi berjalan - jalan hanya untuk mencari bahan tulisan untuk dipublikasikan di media sosial @stemit.com, namun yang ada hanya beberapa klik foto Sungai yang tenang menghanyutkan, tapi buayanya tidak ada ya, populasinya jauh di muara dan daratan Singkil lamo(lama).
Di Sungai ujung Desa Kilangan inilah harapan Masyarakat Kecamatan Kuala Baru, Aceh Singkil. Kenapa saya katakan demikian, Masyarakat Kecamatan Kuala baru bila ingin bepergian ke Aceh Singkil pusat pemerintahan menggunakan transportasi air perahu mesin sederhana melintasi rawa dan Sungai kurang lebih satu Jam, bahkan remaja yang bersekolah SMA, dan MAN selalu menggunakan transportasi ini setiap hari ke Singkil.
Harapan yang saya maksud di Desa kilangan inilah sedang dibangun jembatan penghubung Kecamatan kuala Baru menuju, Pusat kota Kecamatan Singkil, Aceh Singkil.
Jembatan penghubung antar Kecamatan sepanjang kurang lebih 350 Meter lebih itu keberadaannya sangat penting dalam upaya membuka keterisoliran beberapa kawasan yang masih dikategorikan terpencil, Kuala Baru dan Bulohsema, Aceh Selatan.
Aceh Singkil menuju Aceh Selatan melintasi dari Kuala Baru sangat dekat, bahkan bila ada masyarakat Aceh Selatan yang ingin ke Singkil menggunakan sepeda motor rela menitipkan kendaraannya ke rumah penduduk dan melanjutkan ke Singkil menaiki perahu.
Artinya bisa dibayangkan, bila sudah terbangun, dikala senja sinar temaram mentari di ufuk timur Kilangan semakin indah pantulannya menerpa sungai rawa Singkil.
Saya yakin do'a masyarakat yang ikhlas kepada Allah sangat sangat mustajab demi harapan pembangunan.
Gambar yang ke tiga Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan milik Koperasi Perikanan ini juga sudah lama tidak aktif berjalan, entah apa sebabnya, namun yang pasti menurut penduduk setempat, bahan bakarnya solar.
"Bahan bakar solar, hanya digunakan mesin perahu kapasitas besar, seharusnya bahan bakar bensin atau premium," kata Supri penduduk setempat kepada saya.
Kalau sekarang, katanya, bahan bakar Pertalite, karena Nelayan kecil lebih mayoritas menggunakan bahan bakar itu.
Demikian tulisan pengalaman saya yang tidak seberapa, salam Stemians Indonesia dan lainnya.
Paling enak sambil memancing
bisa juga
gabung mari bg
Ha ha ha, lagi kurang sehat bang