Perjalanan ke Pulau Weh kali ini memang ga sia-sia. Sekalipun saya ga mendapatkan cerita komplit tentang legenda Pulau Rubiah dari penduduk setempat, tapi saya berkesempatan berkunjung ke sebuah makam. Yaitu makam suami Rubiah. Sayang sekali saya sendiri lupa namanya. Saya sempat bertanya sih ke seorang imeum (imam) mesjid di kampung Iboih, beliau sempat bercerita sedikit tentang Rubiah.
Rubiah adalah seorang wanita yang konon memiliki peliharaan anjing yang kemudian diusir oleh suaminya menggunakan kata “Weh!”. Yang menurut versi Pak Teungku tersebut Weh menjadi nama untuk pulau tersebut, yaitu Pulau Weh yang artinya “pergi” atau minggat (kata perintah). Rubiah mengasingkan diri ke sebuah pulau yang kemudian dikenal dengan Pulau Rubiah. Pulau ini sendiri terletak tepat di depan desa Iboih. Sebuah pemandangan yang akan terlihat setiap hari bagi warga di sini : Pulau Rubiah.
Penjelajahan saya mulai dengan melihat keunikan-keunikan binatang-binatang peliharaan yang bebas berkeliaran. Seperti kambing dan sapi yang bebas berkeliaran di sekitar bungalow. Saya menyebut mereka sapi dan kambing gunung. Soalnya mereka bebas saja nangkring di atas bebatuan di bukit-bukit Iboih.
Saya lebih senang mengikuti garis pantai yang berbatu-batu. Seru juga loncat-loncatan sambil mengintip keindahan taman bawah laut dari atas bebatuan cadas yang berjubel-jubel di pantai. Sumpah keren sekali melihat semuanya dari sini!
Sepanjang perjalanan saya ini, tepatnya di bawah dan di dalam laut itu (persis laut di dalam foto ini) adalah terumbu karang dan tempat snorkeling paling keren di Iboih. Ga perlu jauh-jauh dari bibir pantai, di dekat bebatuan itu saja sudah dipenuhi dengan berbagai terumbu karang dan ikan-ikan berwarna-warni. Keren!!
Selama treking ini pun saya menemukan beberapa hal unik. Saya menemukan banyak kepiting batu yang sudah mengering dan berwarna merah terbakar matahari. Nih saya foto, hitung-hitung belajar makro :p Uniknya dari kepiting-kepiting ini adalah mereka matinya di atas batu karang hitam itu. Mereka saya ketemukan sudah nangkring saja di situ dan siap dengan pose untuk difoto.
Setelah sejam loncat-loncatan di atas batu karang dan naik turun bukit, melewati semak belukar dan pohon-pohon tumbang, saya dapat beristirahat di sebuah pantai berbatu-batu dan berkarang. Sekalian deh foto-foto sebagai bukti kalo saya sudah ke sini. :p
Sekitar 150 meter dari tempat saya berdiri itu, ternyata ada sebuah makam yang dari informasi Pak Teungku Imeum adalah makamnya Teungku-suami Rubiah. Makamnya sendiri tepat di atas sebuah bukit kecil. Saya harus berjalan mendaki sebuah bukit melalui jalan setapak yang sepertinya baru beberapa hari dibersihkan. Kelihatan semak-semaknya masih sangat baru dibersihkan.
Makam Teungku (suami Rubiah)
Dari cerita versi Pak Teungku Imeum, Suami Rubiah ini memiliki saudara kandung yang tinggal di Sare dan beliau mengirimkan bibit durian kepada suami Rubiah yang hingga kini pohon durian tersebut masih hidup dan berbuah. Bagi warga di sini menyebutnya Durian Keramat. Karena buah durian ini tidak boleh dijual. Bisa celaka katanya. Sayang sekali saya ga bisa ke sana. Letaknya terlalu jauh sih dari tempat saya menginap. Ah tapi ga apa-apa lah. Yang penting bisa ke makam ini saja sudah luar biasa sekali perjuangannya.
Bagi yang suka treking atau jelajah dan sedang di Iboih, silahkan berkunjung ke makam ini dan nikmati pemandangan dan suasana hutan yang masih sangat asri sepanjang perjalanan.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://hananan.com/tag/pulau-weh/