idealism, money and popularity
Considering the account of Ryan Holiday, in Trust Me, I'am Lying seems to have a point. Especially if it is related to the political affairs of the Indonesian context, as well as Aceh. Similarly, in terms of writing thoughts in the media.
Public confidence can be compromised by a paid-political survey (read: by order) or a politician's debate in the media.
It is said again when public personal information can be turned into a winning medium, as in the horrendous case of Donald Trump. Mark Zuckerberg had to publish his apology in the New York Times and three other famous media, for his helplessness could not prevent a media manipulation. Nor should pour millions of dollars 'clean up' debris of facebook data theft for the controversial Trump winner.
When Ryan Holiday outspokenly proclaimed himself as a media manipulator, Tim Ferriss was the # 1 New York Times bestseller, The 4-Hour Workweek called it, half Machiavelli, half Ogilvy. That's no more because Niccolò Machiavelli is an Italian diplomat, politician and philosopher, a key figure in the reality of political theory, the Renaissance of Europe. The thoughts and adherents (read: MACHIAVELIS or Makiavelis) become symbols for people who do bad things by making every means possible in obtaining or maintaining power).
In the political context, seizing power through voting is pouring massive funds to "buy" the voice of the people, make lies to the public, and commit criminal acts to obtain maximum elektabilitas is the real form.
In the context of the media, it may be described as an idealism wrapped in news manipulation with certain spices to mask hidden meanings; popularity. Although it may not completely put aside the truth. As David Mackenzie Ogilvy, widely known as "The Father of Advertising," according to the New York Times. In 1962, Time magazine called it "the most sought after magic in the advertising industry." He believes in Ogilvy's principles, especially that the advertising function is "to sell and that advertising of any successful product is based on information about its customers". When all estuaries of information put forward the 'lust' of the crowd then the information becomes popular and correct ?. It does not matter if it will "hurt" or just search for justification to be popular. The important thing to do just what the audience wants !.
So when Ryan talks open, it's like opening up the disgrace of anyone who is intentionally or unintentionally speechless or writing for the sake of popularity and of course, money aka "tumpok", no matter moral. Just like Machiavelli says when 'wetting' (political talk), he says; "there is no political affair with morals!".
Though consciously and unconsciously, we silently approve Ryan's utterance, because between idealism, money and popularity become as thin as membranes. When writing ideas representing idealism, perhaps we secretly expect popularity. And while waiting for popularity, we secretly expect money. Though it feels awkward, but at least we still think honestly, the idealism behind all the speeches and writings we put into the media. It's more like 'curhatan' bang Risman A. Rahman, when writing about Ryan Holiday and his phenomenal book. :)> @ rismanrahman
Menimbang-nimbang penuturan Ryan Holiday, dalam Trust Me, I'am Lying rasanya ada benarnya. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan urusan politik konteks Indonesia, dan juga Aceh. Begitu pula dalam kaitan menuliskan pikiran di media.
Keyakinan publik bisa diacak-acak oleh survey politik-berbayar (baca: by order) atau debat kusir para politikus di media.
Konon lagi ketika informasi personal publik bisa dicatut menjadi medium pemenangan, seperti dalam kasus Donald Trump yang menghebohkan. Mark Zuckerberg sampai harus memuat kata maafnya di New York Times dan tiga media kondang lainnya, atas ketidakberdayaannya tidak bisa mencegah kebobolan manipulasi media. Pun harus menggelontorkan jutaan dolar 'membersihkan' puing-puing pencurian data facebook untuk pemenangan Trump yang kontroversial itu.
Ketika Ryan Holiday blak-blakan memproklamirkan dirinya sebagai manipulator media, Tim Ferriss penulis buku terlaris #1 versi New York Times, The 4-Hour Workweek menyebutnya, setengah Machiavelli, setengah Ogilvy. Itu tidak lebih karena Niccolò Machiavelli adalah diplomat, politikus dan filsuf Italia, figur utama dalam realitas teori politik, era Renaisans Eropa. Pikiran-pikiran dan penganutnya (baca: MACHIAVELIS atau Makiavelis) menjadi simbol untuk orang yang melakukan hal buruk dengan menghalalkan segala cara dalam mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan).
Dalam konteks politik, merebut kekuasaan melalui pemungutan suara adalah menggelontorkan dana besar-besaran untuk "membeli" suara rakyat, melakukan berbagai kebohongan terhadap publik, dan melakukan tindakan kriminalisasi untuk memperoleh elektabilitas maksimal adalah wujud nyatanya.
Dalam konteks media, mungkin bisa digambarkan sebagai idealisme yang berbalut manipulasi berita dengan bumbu tertentu untuk menutupi maksud tersembunyi; popularitas. Meskipun mungkin tidak sepenuhnya mengenyampingkan kebenaran. Seperti kata David Mackenzie Ogilvy, yang dikenal luas sebagai "Bapak Periklanan" menurut New York Times. Pada tahun 1962, majalah Time menyebutnya sebagai "penyihir yang paling dicari di industri periklanan." Ia berkeyakinan dengan prinsip-prinsip Ogilvy, terutama bahwa fungsi periklanan ialah "menjual dan bahwa periklanan produk apapun yang berhasil berdasarkan pada informasi mengenai konsumennya". Ketika semua muara informasi mengedepankan 'syahwat' orang banyak maka informasi itu menjadi popular dan benar?. Tidak peduli apakah itu akan "melukai" atau sekedar mencari pembenaran agar populer. Yang penting turuti saja apa maunya khalayak!.
Maka ketika Ryan berbicara terbuka, seperti membuka aib setiap orang yang sengaja atau tidak sengaja berkata-kata atau menulis karena kepentingan popularitas dan tentu saja, duit alias "tumpok", tidak peduli moral. Persis seperti kata Machiavelli ketika 'ngompol' (ngomong politik), katanya; "tidak ada urusan politik dengan moral!".
Meskipun antara sadar dan tidak, diam-diam kita meng-amini ujaran Ryan, karena antara idealisme, duit dan popularitas menjadi setipis membran. Ketika menuliskan gagasan mewakili idealisme, mungkin diam-diam kita mengharap popularitas. Dan ketika menunggu popularitas, diam-diam kita mengharap duit. Meski rasanya menjadi serba salah, tetapi setidaknya kita masih memikirkan dengan jujur, idealisme di balik semua ujaran dan tulisan yang kita sodorkan ke media. Kurang lebih seperti 'curhatan' bang Risman A. Rahman, ketika menuliskan tentang Ryan Holiday dan buku fenomenalnya. :)>@rismanrahman
hanif sofyan-hansacehdigest[2018]