Nilam punya aceh singapura punya nama

in #nilam6 years ago

Nilam Aceh pernah mengalami masa kejayaan di tahun 20-an (Nad.litbang.pertanian.go.id, 2017). Pada masa itu Belanda mulai membangun unit-unit usaha untuk melakukan penyulingan tanaman nilam untuk diambil minyaknya. Minyaknya sangat laku dan bernilai ekonomi tinggi di pasaran dunia.

Sejak saat itulah masyarakat mulai mengenal minyak nilam. Sebelumnya tanaman ini hanya digunakan untuk mengharumkan pakaian atau tubuh di waktu mandi (Santoso, 1990 dalam Skripsi Rinny Rachmayanti, 2016). Masa kejayaan nilam Aceh kembali terulang di tahun 90-an.

Puncaknya di tahun 1998 di saat harga nilam Aceh Jaya mencapai harga Rp1,2 juta hingga Rp1,4 juta per kg dari harga sebelumnya. Sebelumnya minyak nilam hanya dihargai sekitar Rp25 ribu hingga Rp250 ribu per kg (Technology-indonesia.com, 2018).

Tulisan Sebelumnya: Aceh Punya Nilam, Singapura Punya Nama (Bagian I)

Nilam Aceh, salah satu jenis nilam yang berasal dari daratan Filipina dan Semenanjung Malaya ini memiliki ciri-ciri tidak berbunga, daun berbulu halus dengan kadar minyak 2,5-5,0%. Jenis nilam ini banyak dibudidayakan di Indonesia (Amik Krismawati, 2005).

Menurut Dr. Syaifullah Muhammad, Kepala Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syaih Kuala (Unsyiah), minyak nilam Aceh selalu dicari dunia karena aroma nilamnya tahan lama, memenuhi kualitas SNI dan ekspor. Nilai patchouli alkoholnya di atas 30% ditambah kandungan zat minyak di atas 3%, dan bilangan asam yang relatif rendah dengan kandungan Ph yang sesuai sehingga menjadi terbaik di dunia (Indopos.co.id, 2018).

Kualitas minyak nilam Aceh tidak terlepas dari tanahnya yang subur dan berada di jalur khatulistiwa. Tanaman ini terkena pancaran sinar matahari yang cukup. Luas lahan di Provinsi Aceh yang dipergunakan untuk perkebunan nilam hanya sekitar 2.010 hektare dengan jumlah petani di kisaran 6.248 KK dan poduktivitas mencapai 321 kg per hektare (Ditjenbun.pertanian.go.id 2015-2017).

Data statistik dari Direktorat Jenderal Perkebunan RI ini menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan nilam masih sangat terbatas, bila dibandingkan dengan luas lahan kering di Provinsi Aceh yang mencapai 530.638 hektare(Goaceh.co, 2017).

Saat ini Aceh dihadapkan pada kenyataan, walaupun minyak nilam Aceh menjadi primadona dunia dan dibangga-banggakan, tapi bagi petani sendiri tidak demikian. Penanaman nilam mengalami masa kelesuan. Banyak petani yang menjual nilam dalam bentuk tanaman kering yang sering dihargai dengan harga yang rendah.

Selain itu, keengganan masyarakat untuk menanam nilam disebabkan ketidaktahuan keunggulan dan prospek ekonominya. Ditambah kurangnya sosialisasi dari Pemerintah Daerah tentang pentingnya pengembangan komoditas ini. Melihat kenyataan itu maka dibutuhkan peran serta Pemerintah Provinsi maupun kabupaten dalam membenahi permasalahan tersebut.

Peran Pemerintah Melalui Konsep Triple Helix

Di pasaran global, harga minyak nilam mengalami fluktuatif. Fluktuatif harga dapat dipengaruhi oleh faktor internal, seperti kondisi cuaca dan faktor daerah (termasuk indikasi geografis). Di pasaran nasional harganya berkisar antara Rp450 ribu hingga Rp600 ribuan per kg, sedangkan di pasaran dunia dapat berkisar antara Rp1,1 juta hingga Rp1,7 juta per kg. Besaran harganya tergantung dari kualitas produk minyak nilam yang dijual.

Pada tahun 2014 mantan Duta Besar RI untuk Swiss, Djoko Susilo mengatakan, Singapura membeli dengan harga tertinggi Rp2 juta per kg, sedangkan harga beli terendah Rp200 ribu per kg. Jika dibandingkan dengan di pasaran dunia, harganya dapat mencapai hingga US$ 1.000 per kg.

Sebagai trader, Singapura cukup lihai. Indonesia dapat dibuat bergantung pada Singapura sehingga lemah dalam tawar-menawar harga. Jika tidak membeli, maka Singapura tidak rugi karena sudah ada persediaan hingga 4-5 bulan ke depan (M.detik.com, 2014).

Apa yang disampaikan oleh mantan duta besar tersebut sangat menyedihkan sekaligus memalukan kita. Betapa kita yang memiliki kekayaan dan keragaman hasil bumi yang melimpah, tapi karena kebodohan maka yang menikmati kekayaan kita justru negara yang cerdas seperti Singapura. Apakah kita mau terus seperti ini?

Konsep Triple Helix yang selama dua puluh tahun diimplementasikan, perlu untuk diperkuat kembali. Konsep ini merupakan metode sinergisitas antara pemerintah, akademisi, dan dunia usaha. Keberhasilan kerjasama ini akan bermuara pada peningkatan ekonomi petani dan pendapatan daerah.

Paradigma yang digunakan adalah Segitiga Pembangunan Berkelanjutan (Environmentally Sustainable Development Triangle) yang hasilnya bertumpu pada keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial (Eoearth.org, 2015).

Pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pembuat regulasi harus berpihak pada kemajuan riset. Keberpihakan ini yang akan mempermudah dalam memasarkan minyak atsiri jenis nilam yang berkualitas ke pasaran dunia. Pemerintah dapat membantu memutuskan mata rantai ketergantungan Indonesia pada Singapura.

Apa yang dilakukan oleh Dr. Syafullah Muhammad, Ketua ARC Unsyiah dapat menjadi contoh dan perlu mendapat dukungan penuh. Jerih payahnya untuk memajukan petani nilam sedikit demi sedikit telah membuahkan hasil. Klaster Inovasi Nilam Aceh yang diinisiasi Direktorat Jenderal Penguatan Inovasi Kemristekdikti (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi) sejak tahun 2017, pada September 2018 memasuki tahapan implementasi.

Kemristekdikti menempatkan perguruan tinggi, dalam hal ini Unsyiah, sebagai center of excellent untuk menghasilkan teknologi penyulingan minyak nilam dengan standar mutu yang tinggi. Jika mutu terjamin maka petani nilam yang diuntungkan.

Koperasi atau BUMG (Badan Usaha Milik Gampong) akan berkembang. Pemerintah Daerah harus mendukung pengembangan komoditas ini karena dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah (Jurnas.com, 2018). Jika konsep Triple Helix ini berhasil maka kita akan mampu mengembalikan masa kejayaan nilam Aceh tanpa bergantung pada Singapura.