Perih,
Tirai awan kusut berjatuh menutup matahari, seketika cerah langit menjadi gelap. Hatiku dirunduk sunyi keranamu. Kau ucap segala kata yang kau mau. Rintik air hujan berlomba-lomba tertuju padaku seorang, begitu tajam hendak mencabik-cabik isi hati. Alam bergemuruh seketika, jiwaku kian mengecil terbungkus. Tapi kau, tanpa pernah berfikir menggunakan akal sehatmu. Tak kau biarkan hembus angin meniup lembut guratan wajahku. Biar, biarlah aku sunyi seorang saja. Walau relung hati sakit mengadu, tentu bukan pada kau.
Kesal,
Aku terjebak di lintas waktu, batin ku terbujur kaku. Tak mengapa. Memang bibirku tak berucap, ia sudah lelah kugunakan untuk berkeluh kesah melulu. Tapi merah merona suasana hati lahan-perlahan terus memudar. Saat kau mengingkari janji yang kurajut dulu. Saat kau dustai janji setiamu. Dengan sumpah serapah yang kau ucap, letup menghilang segala rasa padamu.
Maaf,
Pahit wewangi hujan telah berlalu. Bunga mawar tak lagi layu. Maaf, aku menyembah Tuhan yang ada di segala hamparan jiwa. Ragaku terbangun dari tidurnya di bawah kaki langit. Matahari mulai tampak melenggok hangat dan menyinari menyeruak dari balik tirai-tirai kusut. Hatiku perlahan cerah dari pudarnya. Sayup-sayup angin mulai membelai wajah halusku. Aku mampu berteriak layaknya gemuruh alam yang menuding hati. Tanpa kuhujam, kau hilang berlalu. Tuhanku benar!
Jangan kau menatap aku dengan kesalmu. Sedangkan aku sibuk menari-nari bersama biru udara tepat di atas kepalamu.
Feb 2018, Banda Aceh