/1/
Di saat matahari merangkak tertawa membawa cerita betapa dahsyat api neraka. Pepohonan mengadu-adu tak tertahankan retak pecah-pecah tangkainya. Hijau dedaunan, meminta ampun dari maut kering tanpa salam yang merambat cepat merasuk tubuh. Genangan air di kolam terbirit-birit lari bersembunyi ke balik benteng, menutup pintu serapat-rapatnya. Walau pada akhir tembok benteng tak kuasa membendung.
/2/
Dzat yang agung, menyengat ubun kepala. Namun tetap jua, aliran syaraf mata kepala meminta diri pada telapak kaki agar bertapak merekam segala dosa. Tergeraklah tubuh yang di kuasai ruh, menghantar segala kehangatan nafsu di tengah pilunya cerita. Tak mempan dengan segala jeritan semesta. Apakah sekisah matahari tak pernah menjajikan? Hendak kemana mereka?
/3/
Lembayung senja berkisah kelam malam akan segera menjemput. Langit kemerah-merahan, sebagai tanda teman untuk langkah di jalan setapak. Salam rindu pun tertitip dari segala ufuk. Pendosa abadi bersenda gurau dengan nafsu yang menyelimuti. Menutup rapat pesona pintu-pintu sorga.
Februari, 2018