Aku mendengar siulan kabar tentang kau kemarin malam. Banyak insan beramai-ramai ingin melihat sosokmu, begitu jua aku. Ada titik temu, ada tampang-tampangmu menyambut di depan pintu, tentu saja ada temanmu yang tak pernah bertatap muka; yang katanya dulu, ia begitu mengenalmu. Tarikan hembus nafas kupanjangi setiap penggalnya. Aku siap bertemu, walau hanya dalam hawa mimpi saja. Tak ku bawa setangkai bunga pun, sebab kau hilang tak tentu rimba. Jangan berharap yang putih, hanyalah merah: darah. Tenang saja, ini adalah pertanda suci.
Dari balik layar kau berkata,
"Kemerdekaan itu adalah nasi, dimakan jadi tai."
Ya, ya, aku sedikit teringat puisi yang kau baca di kampungmu pada kemerdekaan Agustus delapan dua lampau. Ku pandangi kiri dan kanan, seisi gedung pun tertawa. Tapi mengapa tulangku bergetar menyedih? Ku sangka, merah senja selalu setia menemani jalan setapakmu. Kini aku tahu bahwa kau cemas, takut, gelisah, bingung. Tapi kau sepakat pada semesta untuk tak saling menjadi akut. Bukan kita, hanya aku yang termangu. Desau angin saling bertanya mengapa tak bersua? Tanpa ada yang mengerti. Semalaman itu aku bersamamu, entah mau atau tidak kau datang menghampiri hawa mimpi. Sehingga kursi yang kutindih pun bisa merasakan mendidihnya aliran merah darah suci.
Sepertinya, hanyalah menjadi 'sia-sia' puisi ini kusampaikan padamu
Tepat sekali! Malam itu aku telah mampus, dikoyak-koyak sunyi.
Teruntuk : Widji Thukul
empat belas Februari dua ribu delapan belas
source