Sudah berkali-kali ia menjejakkan telapak kaki pada kamar tua ayah. Kamar tua yang di penuhi dengan kertas bercorat-coret, kamar tua yang sangat di penuhi dengan berbagai macam buku-buku, membuat diri ingin bercengkrama lebih lama dengan sejuknya pesona tiap-tiap rak. Ia suka berteman dengan suhu hangat yang menghinggap dalam kamar tua ayah. Sekawanan kertas, buku-buku, dan rak-rak yang menempel dalam ruangan, memanggil-manggil dengan suara lembut setiap kali ia mendatangi kamar tua ayah. Walau harum bau lembaran buku menarik tajam pikiran untuk bersinggah lebih lama. Tapi, ia tak menghiraukan, dinginnya sifat ayah bisa menghilangkan segala kenyamanan. Toh, ia hanya datang karena menanyakan beberapa hal saja.
Ia datang ke kamar tua dengan berbagai macam alasan tak penting. Padahal, melepas segala kerinduan yang terpaku dalam kalbu, menghilangkan khawatir yang membalut rasa setelah sekian lama tak bertatap muka. Ayah seorang ulama terpandang, kesibukannya dimana-mana, di panggil ke berbagai kota. Di atas mimbar suka berbicara dengan penuh kata-kata bunga menyentuh dada, serasa setiap kalimat merasuk menembusi dada menyentil-nyentil hati kecil.
Teuku Daffa Afiq. Namanya begitu manis di lafadzkan, serta indah dimaknakan. Ayah memberi nama dengan besar harapan syahdu, agar Teuku turut menggiring namanya ketika beranjak dewasa. Namun, semua harapan ayah menjadi sirna. Rajutan kasih telah hancur lebur. Sebenih cinta suci telah ternoda. Perjalanan Teuku menjadi seorang pemuda yang mulia hanyalah sia-sia.
"Betapa tak layak anakku menjadi seorang anak," Setiap kali terlontar ucapan itu dari bibir ayah, Teuku menangis seorang diri, tersedu-sedu dalam kelam malam, seorang diri. Mengapa bibir ayah hanya manis ketika di sentuh hangatnya kayu-kayu mimbar. Mengapa hati ayah hanya mulia ketika menjadi tontonan orang-orang asing. Padahal, kisah lama telah terbalut tebal oleh putaran waktu, sebercak cacat noda hitam pada tubuh Teuku tak pernah pudar di mata ayah.
Bibir ayah terjahit rapat untuk Teuku, terang hatinya berubah gelap mengingat paras Teuku. Segala cara Teuku coba untuk menghilangkan canggung dan sifat dingin ayah. Tapi percuma, Teuku mengira, mungkin ia di takdirkan mati tanpa kasih sayang ayah. Sementara berfikir, percuma saja setiap lembaran buku-buku yang duduk di atas rak-rak menemani hari ayah, apa gunanya. Biarlah rak-rak buku itu menjahit segala lembaran baru di setiap tahunnya.
"Biar... biar saja, aku pantas menerima." Pintu kamar tua ayah pun semakin gelap dalam pandangnya.