Ironi Banda Aceh dan kota-kota besar lainnya di dunia
Di samping populasi, jika dibandingkan dengan tipografi wilayah lainnya yang lebih kecil, salah satu yang luput dari perhatian banyak orang adalah persoalan membanyaknya orang-orang yang tidak menemukan tambatan hati.
Banyak pemuda di kota yang masih melajang sampai usia nyaris kepala empat. Sebaliknya perempuan sulit menentukan pilihan saking banyaknya pilihan yang tersedia. Akibatnya jomblowan dan jomblowati semakin banyak. Soalan ini pernah disinggung beberapa teman saat saya masih melajang dan si teman masih melajang. Kehidupan kemudian menentukan bahwa dari sekian kami, kami harus melangkah dan tidur ditemani seorang yang sah secara agama.
Apa yang disinggung si teman saya? Bahwa pemerintah sebaiknya mempergubkan ihwal mahar dibatasi maksimal 10, minimal ya boleh seperangkat alat shalat. Atau, pemerintah menfasilitasi kawin silang antara Pemkab Pasaman yang perempuannya justru yang menyerahkan mahar kepada laki-laki -- yang disebut uang jemputan. Jika inisiatif ini dapat dilakukan, baik laki-laki Aceh tidak usah menyerahkan mahar, pun juga perempuan Pasaman tidak perlu memberi 'uang jemputan' kepada mempelai laki-laki.
Ide ini tidak pernah 'diteriakan' kepada Pemda Aceh karena dikhawatirkan akan melukai perasaan wanita-wanita asal Pidie dan kedua akan menyulitkan perempuan Aceh mendapatkan suami jika proses kawin silang menjadi 'kebiasaan' yang terus berlangsung.
Menarik jika ditelusuri, mengapa populasi jomblo/jomblowati semakin bertambah. Saya rasa ada perasaan anti-plasebo dari diri setiap anak muda tersebut. Jika dalam ilmu pengobatan, yang disebut plasebo yaitu sugesti terhadap obat yang dapat menyembuhkan menguatkan upaya untuk sehat dalam semangat seseorang yang sakit. Sebaliknya anti-plasebo membuat orang dibuat samar-samar oleh data statistik antara kota dan desa. Di kota, Banda Aceh misalnya, banyak muda-mudi usia pernikahan tertipu oleh penilaiannya sendiri.
Si pemuda mau perempuan level 8, padahal ia hanya layak untuk level 5 atau 6. Begitu juga perempuan, karena banyaknya pilihan -- apalagi Banda Aceh kota mahasiswa -- ia berharap untuk mendapatkan laki-laki level 8 (kategori tampan dan menjanjikan secara status sosial), padahal ideal untuknya hanya laki-laki kisaran level 5 atau 6. Akibat anti-plasebo ini adalah semakin banyak muda-muda yang melajang di atas 35 tahun. Saat usia mereka di angka itu baru sadarlah mereka bahwa monopause hanya hitungan tahun, anak-anak masih usia remaja saat mereka pensiun dan lainnya.
Celakanya lagi, hal ini banyak diperbincangkan dan paham penyebab-penyebabnya, tapi gagal untuk dipergubkan -- jangankan Pergub, sosialisasi juga tidak. Kondisi ini barangkali telah terjadi di kota-kota modern seperti Paris, Milan, Madrid, New York, Tokyo, Beijing, dan lainnya. Pergeseran nilai dan kejahatan seksual menikmati dan kita menjadi aneh manakala membaca bahwa Messi, Ronaldo, dan lainnya memiliki anak bukan dari istri, tapi dari pacarnya. Sementara jika kita telusuri lebih jauh -- lewat fiksi-fiksi Eropa abad ke-18, sejarah mengungkapkan bahwa kondisi sosial kita saat ini persis kondisi sosial Perancis, Inggris, dan lainnya agak mirip. Perempuan yang diperkosa atau tanpa keperawanan akan hina di mata masyarakat. Anda bisa membaca cerpen Guy dengan Maupassant berjudul 'Madame Baptiste' salah satunya.
Apa yang dilakukan?
Jangan tanya sama saya. Saya tidak menganjurkan kalian mengikuti pendapat saya. Persoalan hati tidak mudah dijelaskan kepada semua orang bahwa mengapa kita mencintai seseorang dan beberapa lainnya. Itu terlampau privasial. Nilai tidak terbentuk dalam satu dua tahun. Tapi lebih lama lagi.