Kamu mungkin pernah terlalu berharap, lalu kamu merasakan hanyalah keputusasaan. Sirna, tak berbekas.
Kamu mungkin pernah ingin menggenggam angan. Tapi seperti angin, ia terlepas. Tak bermetamorfosa.
Kamu mungkin hanya ingin membuat sejumlah rerumputan bergoyang kegirangan, kala kamu menjadi angin. Tapi lihatlah. Porak poranda desa itu kau jadikan dengannya.
Apa itukah gunanya harapan. Sampai kau bertanya masih pantaskah sekedar berharap.
Aku berusaha menjejak di setapak. Aku ingin kamu melihatku dari balik pagar rumahmu sampai bayangku hilang. Tapi tak tahunya tidak begitu.
Aku ingin menjadi begitu berarti bagimu tapi itu hanyalah angan-angan tak bermetamorfosa, tak berbentuk, tak pernah serupa olehmu. Anganku bukan anganmu dan biarlah ia menari-nari saja alam yang tak tersentuh oleh mata kepala.
Menghilang. Aku tiba-tiba tak ingin meneruskan kata-kataku. Lidahku kelu mengingat kamu yang seakan membisu. Dan anganku bukanlah anganku.
Kita berjalan di jalan setapak yang sama. Tapi mengapakah dan mengapa semua harus aku mencari tahu jawabnya.
Aku mulai seperti benar-benar hilang kendali. Aku tertunduk sejenak di depan perigi. Kutatap wajahku dalam gelombang riak yang dikreasikan oleh sebuah kerikil yang aku celupkan dengan kasar.
Aku bercermin pada perigi itu. Lalu dengan nada penuh hampa aku bertanya, mengapa harus aku yang memanggul beban gembala. Bukankah ia sudah purna memahami tugas semesta padanya?
Dan tidak bolehkah aku mengeluh walau sebentar saja. Apakah bagimu keluhku adalah dosa sementara si durjana dengan segenap fasilitas dan kemewahan telah lena. Apa harusnya aku diam saja?
Lalu apa gunanya harapan, sekali lagi kubertanya. Dan apakah aku masih pantas berharap, dan sekali lagi aku mengulang kalimat itu.
Kamu tidak bisa hidup tanpa harapan, suara itu datang entah dari mana. Lalu aku memperhatikannya, hanya burung camar yang pulang ke sarangnya petang itu.
Adalah hal bodoh untuk berhenti berharap, katanya lagi. Tapi masih dalam batinku. Tak seorang pun yang bisa menghalangimu selama kamu percaya, ia lagi-lagi menggumam keras dalam batinku.
Aku datang dari masa lalumu, kata suara yang satunya. Dan aku dari masa depanmu, suara satunya lagi menyahut.
Mereka sepertinya begitu perhatian padaku. Pantas saja. Ternyata mereka adalah bagian dari hidupku.
Aku tidak ingin kamu berlama-lama begitu. Kamu, tak seorang pun yang dapat memperdulikanmu saat kamu terjatuh, selain ia mengantarkanmu ke tempat peristirahatanmu. Kata ia wujudku dari masa laluku.
Wajar saja kamu terjatuh, tapi jangan berlama-lama, pinta wujudku dari masa depanku memotivasi.
Kamu hanya lelah, mereka berdua melanjutkan, hampir serempak.
Mungkin kamu perlu liburan, kata wujudku dari masa laluku menggumam sambil bergaya memegangi janggutku yang tipis itu.
Atau mungkin kamu hanya butuh dua jam bermain di depan playstation kesukaanmu, aku dari masa depanku mencoba menghiburku.
Tidak, aku hanya butuh menyendiri, pergi kalian semua. Aku yang sedari tadi tertunduk dalam kehampaanku mulai berkata tak ramah. Aku ingin bergegas keluar dari lamunanku.
Aku rasa aku benar-benar mulai gila, gumamku lagi.
Dasar racun, teriak sisi baikku pada sisi kelamku. Kamu dan kamu lagi, selalu saja mencari masalah. Apa kamu tidak bisa sedikit lebih tenang dan menanggapi segala sesuatunya dari sisi positif?
Sisi kelamku seakan tak berkutik. Ia seperti terkunci jurus maut kelas menengah.
Aku akan kembali, ia berjanji untuk membawa dirinya kembali padaku.
Sampah! Makiku dan seketika aku terjaga. Tak lagi menghiraukan sumpah serapah yang dilemparkan kepadaku.
Kini duniaku pun kembali, bersama mentari di pangkal fajar. Lalu sayup-sayup burung camar menyambut hari.
Banda Aceh, 18 Februari 2018
Azhar Ilyas @azharpenulis
Hello @azharpenulis, apa kabar? Ini postingnya keren.. telah kami upvote yaa..
Terima kasih ya, selamat berakhir pekan...
Puisinya menggugah perasaan keren. Lanjutkan @azharpenulis. Saya menunggu karya berikutnya. Terimakasih
Iya, mungkin Anda sedang lelah.
Tidur, makan, jalan-jalan plus jauhi gadget.
Obat lelah yang sangat munjur.
Yuhu, apalagi berjalan-jalan ke luar kota naik delman istimewa dan duduk di muka di samping pak kusir yang sedang bekerja.
Coba belik cheese cake, Bang. Pasti semua galau sirna bagai angin meniup kapas-kapas jauh dari pohonnya. Terbang lepas sejauh angin bertiup.
Bener. Ini keluarga baru bawa lapis cake bogor. Ini maknyess kali.
Puisi yang mewakili perasaan kayaknya ne, hehehe.
Hati2 bg, jangan sampai terhanyut dengan suara2 aneh itu, ntar jadi halusinasi. Banyak2 besyukur dan berdoa supaya terhindar dari gangguan jiwa.
Hmm, iya ni. Makin lama ditulis makin khawatir juga. Makanya diakhiri begitu endingnya rasanya udah agak beres. Makasih, Yelli sarannya.
Gimana rasanya ngobrol dengan diri di masa lalu, sekarang ..dan masa depan, Dek?
seru kayaknya yaaa
Bukankah hidup adalah lebih fiksi dari fiksi itu sendiri. Kek mana juga ya rasanya. Ngga tau bilang lagi deh. #eh :D
Luapan suasana hati yang sedang digelayuti mendung kelabu. Ambil pewarna dan ubahlah iya ke warna warni pelangi. Eits, tak harus sekarang, nanti saja, setelah kenikmatan menikmati warna kelabu ini usai.
Terkadang, kita butuh berdialog dengan self dan shadow di dalam diri kita. Yang penting, ingatkan pikiran untuk tetap waspada. Jadikan dia the controller yang akan bunyikan alarm kapan kita harus berhenti dan kembali ke masa kini.
Iya kak, ada masanya seseorang butuh kontemplasi untuk mengkaji apa yang sebenarnya dicari dalam rutinitasnya menjemput pagi dan melepas malam. Namun masa itu tentunya tak dapat berlama-lama, apalagi sang kehidupan akan terus berjalan. Terima kasih kunjungannya. (-: