Aku, Puisi, dan Rindu
Sebuah korelasi merdu dalam buku harian biru
Aku adalah kompor...
Aku abu yang tak lagi bara
Aku rindangnya pohon meranggas
Aku resapan hujan di retak dinding resahmu.
Dinding sebelah mana? Aku hampir rabun..
dinding sebelah utara di sisi takdir yang kaku.
Aku dinding yang tak berdinding. pudar.
Seperti kelu, padahal aku menghadap utara, tapi tetap buta.
Dan diriku terjebak dlm delema cinta kepalsuan..
Biar aku menyeka kepalsuan itu dengan kanebo lusuh.
Sederhana dan damai.
Dan aku duduk menatap rindu yang kuhapus sendiri..
Dinding kasih yg berarah.
Bingung tuk tentukan arah kemana harus melangkah..
Jangan melangkah. diam disini. disisiku.
Bilakah aku tegak disisimu, akankah bisumu tetap kaku?
Dinding kasih tak bertuan.Hanyalah ilusi di mimpi siang.
Entahlah, siangmu nampak gelap bagi hatiku yang mati.
Tentu tidak tuan, andaikan kita kembali di waktu dulu.
Saat janji terdengar manis meskipun akhirnya kini dirikupun menangis.
Memoar hanya berlalu satu arah
Tiada paradoks atau reroute
Hanya hampa dan sesal.
Tak pandai berpuisi hanya menyambung bait2 disayap burung.
lebih-lebih aku, mengukir bilah sembilu dengan tetes tebu.
Apalagi aku yang hanya mampu berdiri dalam belukar.
Terluka!
Seperti kau yang mengolah tatap dihati
Segera membadai serotonin di diri.
Pandai puisi bukanlah pandai besi,
Pandai puisi membuat kita lebih dari segalanya,
Pandai puisi kita bisa punya sayap,
Pandai puisi patah hati pun tak jadi,
Pandai puisi pasti banyak yang suka
Karena imaji,
Diksi bereaksi,
Kata-kata menjadi ekspresi.
Aku tak pandai berucap, nona
Jadi biarkan jemariku melukis idenya sendiri.
Mati dengan belati masih terasa matinya,
Tapi mati dengan puisi lebih meracuni.
Namun mati dengan dibunuh rasa rindu lebih pilu daripada sembilu.
Bagai candu yang tak terbuang.
Memberi nikmat walau sesaat.
Tanpa kau sadari dirimu tlah tersesat.
Jerat petaka di ruah gegap gempita bukan makananku, nona.
Tanyakan itu pada hati yang frustasi di lorong sepi.
Mati dibunuh rindu bagaikan terpenjara dalam sebuah lorong yang kedap udara tanpa hawa, Tanpa rasa dan harapan,
Semua harapan menjadi hampa.
Pun waktu tak berlalu semestinya,
Hanya nada-nada berisik mengacaukan pikiran yang tak lagi lurus.
Rindu memang tak pernah aku mengerti,
Bagaimana bentuk rindu,
Seperti apa gambar rindu,
Seberapa ukurannya.
Yang kutahu, rindu itu semu yang tak baku!
Rinduku bukanlah hal yang baku,
Rindupun tak pernah tahu jalannya,
Tiba-tiba datang ,
Tiba-tiba pergi,
Aku bisa terpukau karena rindu nan membuncah.
Rindu itu berasa namun tak berupa
Rindu itu terik namun tak berderik.
Rindu memang tak berderik.
Namun jangan lupakan ia diam diam kan mencekik
Dindu memang mencekik,
Mencekik suatu penghianatan akan cinta,
Cinta yang dalam namun hanya tertahan,
Karena hanya rindu yang menahan.
Rindu yg mencekik, seperti masalah pelik yg terpecahkan.
Ibarat bongkahan karang menggerus.
Ibarat daun ia merenggas.
Daun merenggas tak untuk selamanya, sayang
Maka eratkanlah dahanmu untuk musim berikutnya.
Daun paling mudah untuk melepaskan diri dari induknya, sekalipun pohon itu kuat.
Oh rindu, lepaskan aku dari jeratmu yang memukau hatiku akan hausnya cinta.
Rindu ini menahun.
Bahkan perpuluh-puluh ombak dilautan bersajak tentang rindu.
Saat camar bernyanyi disebalik senja.
Kala matahari kembali keperaduan.
Disana jua ada rindu yg gemuruh.
Bilakah kau cacah saja rindu akutmu, walau aku tak tahu semua itu, namun ku turut pilu
Cacah rindu?
Rinduku itu bulat,
Sebulat harapan aku menantikan cintaku
Apakah rindu itu bulat?
Ya mungkin saja, tanyakan pada hati.
Seberapa kuat ia bertahan disana,
Dari harapan penantian cinta tuk wujudkan bahagia bersama
Sudahlah,
Puisi dan rindu akan selalu manis
Walau tetes getir masih terasa sinis.
seluruh rindu yang berpadu menjadi satu,
melebur bersama manisnya cinta,
pahitnya penghianatan,
perihnya perselingkuhan,
Dan kenangan akan indahnya bercinta.
rinduku karena ada cintaku,
apakah rindu akan berbalas,
ahhh
aku rinduuuu.